Veritas

Belajar dari Perang Agustus 2008, Ukraina tak Ingin Bernasib Seperti Georgia

  • Rusia pernah sukses mengakhiri upaya Georgia bergabung dengan NATO dan Uni Eropa.
  • Menggunakan Pedoman Kremlin, Rusia melakukan hal serupa terhadap Ukraina.
  • Namun Ukraina telah belajar dari kesalahan Georgia, yang terjerumus ke dalam perang yang diinginkan Rusia.

JERNIH — Kamis 24 Februari, ketika Rusia mengawali invasi ke Ukraina, orang-orang di Tbilisi — ibu kota Georgia, salah satu negara pecahan Uni Soviet — hanya bisa menarik nafas dan berkata; “Kami pernah mengalami peristiwa serupa tahun 2008.”

Rusia, South Ossetia, dan Georgia

Jauh sebelum Ukraina, Georgia — republik kecil eks-Uni Soviet — berupaya keluar dari orbit Rusia dan mencoba menempatkan diri di lembaga-lembaa Euro-Atlantik. Moskwa Si Beruang Obes keberatan dan mencari cara menggagalkannya.

Gerard Toal, dalam tulisan berjudul In Ukraine, Georgia Analogies Fall Short di situs The Moscow Times, menulis Rusia menggunakan tipu daya dan penyamaran untuk memancing Georgia masuk ke dalam pertarungan terbuka yang tak mungkin dimenangkan.

Caranya, Rusia membentuk milisi pro-Moskwa di South Ossetia dan memberi latihan militer. Setelah pengerjaan konstruksi kereta pi di Abkhazia selesai, Rusia menarik pasukannya dari South Ossetia.

Matthew Bryza, yang pada tahun 2008 menjabat wakil asisen Menteri Luar Negeri AS untuk urusan Eropa dan Eurasia, menulis di Twitter-nya; “Peringatan Merah: #Rusia menggunakan serangan artileri bertahap oleh separatis South Ossetia untuk memancing serangan balasan militer Georgia. Ketika Georgia membalas serangan, Rusia menggunakannya sebagai pembenar bagi invasinya ke Georgia, Agustus 2008.”

Berikutnya adalah perang terbuka Rusia/milisi South Ossetia versus militer Georgia. Kalah kuantitas pasukan dan persenjataan, Rusia mengakhiri perlawanan Georgia dalam lima hari.

Ukraina Belajar dari Georgia

Rusia sekilas menggunakan cara serupa seperti diterapkan di Georgia untuk mencegah Ukraina bergabung dengan Barat. Di Ukraina, Moskwa menyokong dua kelompok separatis pro-Rusia; Republik Rakyat Donbass (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR), yang melakukan perlawanan sejak 2014.

Namun, Ukraina belajar dari kesalahan Georgia terjerumus ke dalam Perang Agusuts 2008. Mungkin, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky membaca laporan Byrza tentang keputusan Presiden Georgia Mikheil Saakashvili melancarkan serangan ke Tskhinvali — ibu kota South Ossetia.

Selain membaca laporan Byrza, Presiden Zelensky kemungkinan mempelajari Laporan Tagliavini yang sangat rinci menggambarkan serangan Mikheil Saakashvili ke Tagliavini pada 7 dan 8 Agustus 2008, dan memicu serangan bersenjata skala besar oleh Rusia ke Georgia.

Presiden Rusia Vladimir Putin berharap Ukraina melakukan kesalahan sama, dengan menyerang habis-habisan pemberontak Donbas dan Luhansk agar Rusia punya alasan untuk menginvasi.

Ukraina tahu dan tidak melakukannya. Kiev menjadikan perang Donbas dan Luhanks sebagai perang panjang seraya terus mendekatkan diri ke NATO dan Uni Eropa. Para pemimpin militer Ukraina seolah tahu Rusia akan tidak sabar dan menginvasi Ukraina.

Maria Zakharova, juru bicara Kemenerian Luar Negeri Rusia, membenarkan kemungkinan ini dalam komentarnya yang dipublikasikan Russia Today. Menurut Zakharova, serangan Rusia ke Ukraina dalah kulminasi perang Ukraina delapan tahun.

Pedoman Kremlin dan Perang Agustus 2008

Sulit membandingkan Perang Agustus 2008 dengan invasi Rusia ke Ukraina saat ini. Bagi banyak orang, Perang Agustus 2008 bukan peristiwa tak terduga, tapi konflik yang sesuai skenario Rusia.

Menggunakan taktik dan strategi seperti tertulis dalam ‘buku Pedoman Kremlin’, seperti tekanan maksimum dan kontrol refleksif, pemimpin Rusia memancing Georgia terjerumus ke dalam perang yang diinginkan Kremlin. Semua itu berjalan sesuai rencana.

Belajar dari Perang Agustus 2008 sebagai bukan peristiwa tak terduga, Ukraina sadar Rusia punya rencana darurat perang dengan semua negara pecahan Uni Soviet. Moskwa berupaya mendesain konspirasi dengan kelompok-kelompok nasionalis Rusia di negara pecahan Uni Soviet dan menumpuk senjata di wilayahnya.

Itulah yang terlihat di South Ossetia, Donetsk, Luhansk, dan Krimea. Khusus di Krimea, Rusia melakukannya untuk menjalankan politi revanchisme teritorial, yaitu merebut kembali wilayah yang pernah dimilikinya.

Analogi Perang Agustus 2008 menjadi penting untuk dianalisis karena beberapa hal. Pertama, bahwa pemikiran semua pemain dalam krisis Ukraina saat ini; kepemimpinan Rusia, Ukraina, separatis Donbass dan Luhansk, NATO, pembuat keputusan di AS dan Eropa, dibentuk oleh Perang Agustus 2008.

Joe Biden adalah senator yang melakukan perjalanan ke Georgia setelah Perang Agustus 2008 berakhir. Ia tahu betul apa yang terjadi di negara itu.

Kedua, keputusan Ukraina untuk tidak menanggapi politik revanchisme Rusia saat menginvasi Krimea tahun 2014. Keputusan yang menyelamatkan banyak nyawa, dan menghindari Ukraina dari Perang Terbuka yang diinginkan Kremlin.

Ketiga, Putin melihat keterlibatan Washington dalam berbagai peristiwa di negara eks-Uni Soviet. Keempat, Rusia adalah negara kekaisaran dengan taktik pengaruh, kontrol, dan dominasi yang berkembang dengan baik di lingkungannya sendiri.

Kelima, Rusia tidak menginginkan aliansi yang bermusuhan dengannya hadir di perbatasannya. Moskwa sedang menggunakan kekuatan luar biasanya untuk menggagalkan kehadiran NATO di Ukraina.

Back to top button