SolilokuiVeritas

Radikalisme, Agama dan Politik

Webber & Kruglanski (2017) menyatakan, radikalisme sering ditimbulkan oleh krisis sosial-ekonomi, deformasi institusi politik, penurunan standar hidup masyarakat, memburuknya keharmonisan dan keserasian sosial, ketakutan akan masa depan. Selain itu, bisa juga karena penindasan oleh penguasa atau oposisi, pertikaian ideologis, ambisi pemimpin partai politik, dan orientasi mereka pada cara politik ekstrem.

Oleh   : Fahmy Lukman*

JERNIH–Di tengah isu kelangkaan minyak goreng, penundaan pemilu, pemindahan ibu kota yang pro-kontra, Presiden Jokowi pada 1 Maret 2022 memberikan pengarahan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri.

Pesannya, jangan mengundang penceramah radikal, kuasai teknologi digital, tidak ikut memperdebatkan Ibu Kota Negara (IKN), dan kedisiplinan tinggi. Sebelumnya, viral di grup Whatsapp nama 180 penceramah (yang diduga) radikal tanpa menyebut lembaga perilisnya.

Fahmy Lukman

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) lalu merilis lima indikator penceramah radikal (5 Maret 2022). Pertama, mengajarkan ajaran anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri, yaitu mengafirkan pihak lain yang berbeda agama atau paham.

Ketiga, menanamkan antipemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan ataupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian, dan hoaks.

Keempat, bersikap eksklusif terhadap lingkungan ataupun perubahan dan intoleran, baik pada perbedaan maupun keragaman. Kelima, antibudaya atau antikearifaan lokal. Hal di atas memicu perdebatan. Lalu, bagaimana radikalisme dalam perspektif agama dan politik?

Radikalisme dan agama

Kata ‘radikalisme’ dan ‘radikal’ bermakna berbeda. KBBI mendefinisikan radikalisme sebagai (a) paham atau aliran yang radikal dalam politik, (b) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, dan (c) sikap ekstrem dalam aliran politik.

Radikal didefinisikan (a) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), (b) amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), (c) maju dalam berpikir atau bertindak, (d) gugus atom yang dapat masuk ke dalam berbagai reaksi sebagai satu satuan, yang bereaksi seakan-akan satu unsur saja.

Berdasarkan definisi di atas, Islam dan agama lain di Indonesia tak satu pun mengajarkan radikalisme. Dalam tujuan keberadaan hukum syariat, terdapat pokok pikiran terkait kesejahteraan dan melindungi manusia yang dipandang sama dalam perspektif hukum.

Islam tak mengajarkan radikalisme ataupun moderatisisme dalam pengertian a political philosophy of avoiding the extremes of left and right by taking a moderate position (www.vocabulary.com), yaitu filosofi politik menghindari ekstrem kiri dan kanan dengan mengambil posisi moderat.

Kedua terminologi di atas, lahir dari cara pandang Barat yang berpaham sekuler dalam politik dan kapitalisme dalam ekonomi. Mengaitkan Islam dengan radikalisme dan moderatisisme adalah bentuk aktivitas politik dengan berbagai tujuan dan kepentingannya.

Radikalisme dan politik

Radikalisme terkait paham yang menganut cara-cara ekstrem mencapai tujuan (Maskaliƫnait, 2015). Aktor radikalisme bisa perorangan dan kelompok, pengusaha, penguasa, atau gabungannya (oligarki) yang beragama dan bergender apa pun.

Penguasa dan pengusaha yang berpolitik dapat memanfaatkan perangkat yang dimilikinya untuk menjaga stabilitas ekonomi atau menciptakan kondisi usaha yang menguntungkan. Karena itu, saat krisis sosial-ekonomi-politik, aktor politik jauh lebih aktif.

Aktor radikalisme bisa perorangan dan kelompok, pengusaha, penguasa, atau gabungannya (oligarki) yang beragama dan bergender apa pun. Tak dapat dikatakan pengusaha berada di “ruang hampa” sebab faktanya di banyak negara mereka pelaku politik.

Di Indonesia, riset MA Azhar (2012), Kunio (1990), Hefner (1998), serta Robinson dan Hadiz (2004) mengonfirmasi pola di atas. Pengusaha adalah pemburu rente dari hasil “selingkuh kepentingan” dengan penguasa.

Webber & Kruglanski (2017) menyatakan, radikalisme sering ditimbulkan oleh krisis sosial-ekonomi, deformasi institusi politik, penurunan standar hidup masyarakat, memburuknya keharmonisan dan keserasian sosial, ketakutan akan masa depan.

Selain itu, karena penindasan oleh penguasa atau oposisi, pertikaian ideologis, ambisi pemimpin partai politik, dan orientasi mereka pada cara politik ekstrem. Meskipun terkadang pada kondisi sosial politik tertentu, radikalisme dapat memberikan kontribusi (Lucini, 2017).

Itu bergantung pada sifat perubahan sosial, radikalisme dapat konstruktif atau destruktif. Yang konstruktif, radikalisme revolusioner, yang ditujukan pada transformasi kualitatif dan progresif dari sistem sosial, yakni pembangunan masyarakat baru yang lebih baik.

Radikalisme destruktif, melestarikan relasi sosial melalui tindakan agresif merusak terhadap sistem sosial (Bartlett & Miller, 2012).

Jadi, dakwah penceramah adalah penyampaian pandangan agama yang mengajak kepada kebaikan dan menolak kekerasan. Maka itu, tak bisa dikategorikan aktivitas radikalisme atau ajakan kepada radikalisme.

Jelas, radikalisme terkait aktivitas politik saat terjadi krisis dalam masyarakat. Kesimpulannya, radikalisme itu kategori politik bukan kategori agama. Kalangan yang mengaitkan radikalisme dengan agama (Islam) melakukan “kekeliruan besar”, yang patut diduga memiliki motif memecah-belah bangsa ini. [Republika ]

* Associate Professor pada Departemen Linguistik FIB Unpad

Back to top button