AS: Cina Sudah Persenjatai Penuh Tiga Pulau di Laut Cina Selatan
Aquilino mengatakan pembangunan sistem rudal, hanggar pesawat, sistem radar, dan fasilitas militer lainnya di Mischief Reef, Subi Reef, dan Fiery Cross tampaknya sudah selesai, tetapi masih harus dilihat apakah Cina akan melanjutkan pembangunan infrastruktur militer di tempat lain kawasan tersebut. “Fungsi pulau-pulau itu adalah untuk memperluas kemampuan ofensif Cina di luar pantai kontinental mereka,” kata Laksamana Aquilino, “Mereka bisa menerbangkan pesawat tempur, pesawat pengebom ditambah semua kemampuan ofensif sistem rudal.”
JERNIH—Amerika Serikat mengatakan, militer Cina sudah mempersenjatai penuh setidaknya tiga pulau di Laut Cina Selatan yang saat ini dipersengketakan. Upaya mempersenjatai yang dilakukan Cona di atas wilayah yang bukan haknya itu dilakukan dengan membangun sistem rudal antikapal, rudal antipesawat, peralatan laser tempur dan pengacau radar, serta jet-jet tempur canggih.
Hal itu dikatakan Komandan Indo-Pasifik Amerika Serikat, Laksamana John C Aquilino. Aquilino mengatakan, tindakan China masuk kategori agresif dan tindakan yang disebutnya penuh permusuhan itu sangat kontras dengan jaminan masa lalu Presiden China Xi Jinping, bahwa pulau buatan di perairan yang diperebutkan itu tidak akan diubah menjadi pangkalan militer.
“Saya pikir selama 20 tahun terakhir kita telah menyaksikan penumpukan militer terbesar sejak Perang Dunia II oleh Cina,” kata Aquilino kepada The Associated Press, dalam sebuah wawancara, Ahad (20/3).
Laksamana Aquilino menggarisbawahi bahwa Cina meningkatkan seluruh kemampuan militer mereka di area penuh klaim dari berbagai negara, termasuk Indonesia itu, dan penumpukan persenjataan tersebut membuat kawasan itu menjadi tidak stabil.
Belum ada komentar langsung dari pejabat Cina. Beijing berkeras postur militernya murni defensif, diatur untuk melindungi apa yang dikatakannya sebagai hak kedaulatan mereka.
Tetapi setelah bertahun-tahun lonjakan anggaran pertahanan, Cina punya anggaran pertahanan terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat dan dengan cepat memodernisasi kekuatan militernya dengan sistem senjata terbaru, termasuk pesawat tempur siluman J-20, rudal hipersonik. Cina juga membuat dua kapal induk, dengan kapal induk ketiga sedang dalam penyelesaian.
Aquilino berbicara dengan Associated Press di atas pesawat pengintai Angkatan Laut AS yang terbang di dekat pos terdepan yang dikuasai Cina di Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan, salah satu wilayah yang paling diperebutkan di dunia.
Selama patroli, pesawat P-8A Poseidon berulang kali diperingatkan oleh operator Cina yang mengklaim pesawat itu secara ilegal memasuki wilayah yang mereka katakan adalah wilayah Cina dan memerintahkan pesawat untuk menjauh.
“Cina memiliki kedaulatan atas pulau-pulau Spratly, serta wilayah maritim di sekitarnya. Segera menjauh untuk menghindari salah penilaian,” kata salah satu pesan radio dengan ancaman terselubung itu.
Namun pesawat Angkatan Laut Amerika Serikat itu mengabaikan berbagai peringatan dan terus melakukan pengintaian yang berlangsung cukup singkat namun menegangkan, disaksikan dua jurnalis AP yang diundang ikut terbang dalam pesawat tersebut.
“Kami adalah pesawat angkatan laut Amerika Serikat yang punya imunitas dan berdaulat, sedang melakukan kegiatan militer yang sah di luar wilayah udara nasional negara pantai mana pun,”kata pilot P-8A Poseidon, membalas melalui radio.
“Melaksanakan hak-hak ini dijamin oleh hukum internasional dan saya beroperasi dengan memperhatikan hak dan kewajiban semua negara,” kata pilot P-8A Poseidon, menceramahi.
Landasan terbang buatan Cina terlihat di samping struktur dan bangunan di pulau buatan di Mischief Reef di gugusan Pulau Spratlys di Laut Cina Selatan, sebagaimana terlihat pada Ahad, 20 Maret 2022.
Komandan Angkatan Laut Joel Martinez, yang memimpin kru P-8A Poseidon mengatakan, pernah terjadi insiden ketika sebuah jet tempur Cina terbang dekat dengan pesawat militer AS, melakukan manuver berbahaya di wilayah yang disengketakan. Awak pesawat AS, kata Joel Martinez, dengan tenang mengingatkan Cina untuk mematuhi peraturan keselamatan penerbangan.
Saat pesawat intai P-8A Poseidon terbang serendah 15.000 kaki atau 4.500 meter di dekat terumbu yang diduduki Cina, terlihat di layar monitor kawasan yang terkesan seperti kota kecil di pulau tersebut, dengan gedung bertingkat, gudang, hanggar, pelabuhan laut, landasan pacu. “Struktur bulat putih itu,”kata Laksamana Aquilino,” Adalah radar.”
Di dekat Fiery Cross, lebih dari 40 kapal yang belum ditentukan jenisnya terlihat membuang sauh.
Aquilino mengatakan pembangunan sistem rudal, hanggar pesawat, sistem radar, dan fasilitas militer lainnya di Mischief Reef, Subi Reef, dan Fiery Cross tampaknya sudah selesai, tetapi masih harus dilihat apakah Cina akan melanjutkan pembangunan infrastruktur militer di tempat lain kawasan tersebut.
“Fungsi pulau-pulau itu adalah untuk memperluas kemampuan ofensif Cina di luar pantai kontinental mereka,” kata Laksamana Aquilino, “Mereka bisa menerbangkan pesawat tempur, pesawat pengebom ditambah semua kemampuan ofensif sistem rudal.”
Aquilino mengatakan setiap pesawat militer dan sipil yang terbang di atas perairan yang disengketakan dapat dengan mudah masuk ke dalam jangkauan sistem dan jarak tembak rudal Cina yang ditempatkan di pulau-pulau tersebut.
“Jadi itu ancaman yang ada, makanya sangat memprihatinkan adanya militerisasi pulau-pulau tersebut,” katanya, “Mereka mengancam semua negara yang beroperasi di sekitarnya, termasuk wilayah laut dan wilayah udara internasional.”
Cina berusaha untuk menopang klaim teritorialnya yang luas atas hampir seluruh Laut Cina Selatan dengan membangun pangkalan pulau di atol karang hampir satu dekade lalu. Amerika Serikat menanggapi dengan mengirimkan kapal perangnya melalui wilayah yang disebutnya misi kebebasan operasional.
Amerika Serikat tidak mengklaim dirinya sendiri, tetapi telah mengerahkan kapal dan pesawat Angkatan Laut selama beberapa dekade untuk berpatroli dan mempromosikan navigasi bebas di jalur air dan wilayah udara internasional.
Cina secara rutin menolak tindakan apa pun oleh militer AS di wilayah tersebut. Sementara pihak lain, Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan, dan Brunei, mengeklaim seluruh atau sebagian Laut Cina Selatan, alur lalu lintas perdagangan bernilai lima triliun dolar AS setiap tahun.
Terlepas dari agresi Cina, konflik teritorial yang lama sengit seharusnya diselesaikan secara damai, kata Aquilino, mengutip sukses pemerintah Filipina membawa perselisihannya dengan Cina ke arbitrase internasional tahun 2013 sebagai contoh yang baik.
Pengadilan arbitrase PBB yang menangani kasus tersebut membatalkan klaim historis Cina di Laut China Selatan berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Beijing menolak keputusan itu sebagai tipu-tipu dan terus menentangnya. [Associated Press]