Laporan The New York Times: Melawan Rejim Militer Burma; Pemuda Kota Hijrah ke Rimba [1]
Untuk anak-anak kota dengan tangan halus lembut, bertahan di hutan penuh ular serta kemungkinan diri terjangkit malaria itu sendiri sudah merupakan pencapaian, apalagi menghindari penembak jitu Tatmadaw, peluru mortir, dan serangan udara. Hampir setiap malam penembak jitu Tatmadaw membidik apa pun yang menarik perhatian mereka: cahaya dari ponsel yang penggunanya sedang memeriksa Facebook, mungkin, atau bara merah pejuang yang menikmati linting ganja.
Oleh : Hannah Beech*
JERNIH– Di keremangan hutan dan teduhnya pepohonan, sekitar satu mil dari garis depan di Myanmar timur, seorang mantan koordinator perjamuan hotel menyelipkan jari telunjuknya ke pelatuk sebuah senapan serbu. Seorang dokter gigi dengan catut mencapit ulat yang menggeliat dari luka infeksi seorang pejuang muda Myanmar. Seorang manajer pemasaran menggambarkan bagaimana membuat sebuah drone komersial menjadi senjata yang bisa yang dia arahkan untuk membinasakan musuh.
Lebih dari setahun setelah militer Myanmar merebut kendali penuh dalam kudeta—memenjarakan para pemimpin terpilih negara itu, membunuh lebih dari 1.700 warga sipil dan menangkap setidaknya 13.000 lebih—negara itu kini berada dalam perang, dengan beberapa kombatan yang penampilan mereka tidak pas untuk terlibat dalam keributan.
Di satu sisi adalah junta militer yang, terlepas dari selingan singkat pemerintahan semi-demokratis, telah memerintah dengan brutal selama lebih setengah abad. Di sisi lain ada puluhan ribu penduduk muda asal kota yang mengangkat senjata, menggantikan hidup dari mata kuliah ke mata kuliah, melupakan video game, dan cat kuku berkilau, untuk hidup dan mungkin mati, di hutan.
Wartawan New York Times baru-baru ini mengunjungi sebuah kamp di satu hutan hujan tropis di Myanmar timur, di mana sekitar 3.000 anggota dari salah satu milisi yang baru dibentuk, hidup di tempat penampungan dengan bambu atau lembaran terpal, terlibat dalam pertempuran hampir setiap hari.
Sementara jumlah mereka adalah sebagian kecil dari salah satu kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara, para pejuang Generasi Z ini telah kehilangan keseimbangan militer yang telah lama menjadikan kejahatan perang sebagai kartu truf mereka. Dan konflik semakin meningkat, bahkan ketika perhatian dunia tengah beralih ke kebiadaban lainnya, seperti invasi Rusia ke Ukraina.
Hari ini, jauh dari kemampuan untuk mengonsolidasikan cengkeramannya atas negara itu, tentara Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, terpaksa berperang di puluhan front, dari perbatasan dekat India, Cina dan Thailand, ke desa-desa dan kota-kota di jantung negara itu. Ada pertempuran kecil hampir setiap hari, dan tentu korban pun jatuh.
“Saya berjuang karena saya menolak kudeta militer, dan saya menolak mereka mengambil seenaknya demokrasi dari kami,” kata seorang bidan dari sebuah kota di Myanmar selatan, yang seperti sumber-sumber lainnya di sini tidak ingin namanya disebutkan. Ia tak ingin membahayakan anggota keluarganya di rumah.
Dikenal dengan sebutan Putri Salju, dia berjalan pada Mei lalu ke daerah yang dikendalikan oleh kelompok etnis bersenjata yang telah berjuang untuk otonomi selama beberapa dekade. Sejak itu, pemberontak etnis dan pembelot dari tentara telah mengajarinya cara memuat senapan, merakit granat buatan tangan, dan melakukan triase medan perang.
“Generasi kami punya cita-cita,” katanya. “Kami percaya pada kebebasan.”
Putranya yang berusia tiga tahun tetap berada di kota. Dia tidak tahu kemana ibunya pergi, katanya. Putri Salju membelai seekor anak anjing yang berhasil melewati kamp dan menjadi asuhan kesayangan beberapa pejuang. “Ini sesuatu yang layak untuk dicintai,” katanya.
Menghadapi serangan dari milisi sipil, yang berjuang bersama kelompok pemberontak etnis, Tatmadaw telah meningkatkan serangan balasan, meluncurkan serangan udara, membakar desa dan meneror mereka yang menentang kudeta.
“Yang Tatmadaw ketahui hanya membunuh,” kata Ko Thant, yang mengatakan dia adalah seorang kapten sebelum dia meninggalkan Divisi Infanteri Ringan ke-77 tahun lalu. Sejak itu ia melatih ratusan warga sipil dalam taktik medan perang. “Kami dicuci otak sepanjang waktu, tetapi beberapa dari kami telah bangun.”
Oposisi terhadap kudeta militer pada Februari 2021 dimulai dengan demonstrasi jutaan orang ke jalan-jalan di kota-kota besar dan kecil di Myanmar. Dalam sandal, sepatu hak tinggi dan dalam kasus biksu Buddha, bertelanjang kaki, sebuah negara bersatu secara damai untuk kembalinya kepemimpinan terpilih. Dalam beberapa minggu, Tatmadaw kembali ke buku pedoman lamanya. Para penembak jitu tentara menargetkan pengunjuk rasa dengan satu tembakan mematikan ke kepala.
Beberapa orang muda yang telah dewasa selama dekade reformasi Myanmar melihat hanya sedikit manfaat demonstrasi tanpa kekerasan yang datang dari para aktivis demokrasi veteran. Mereka ingin melawan.
“Protes damai tidak akan berhasil jika musuh ingin membunuh kita,” kata Naw Htee, seorang pekerja sosial yang menjadi sersan milisi. “Kami harus membela diri.”
Dengan jepit rambut kecil di rambutnya, dia menunjuk pada pecahan mortir dan peluru artileri, sisa-sisa perang yang menghujani kamp hutan tempat dia tinggal. Seorang pria muda duduk merosot di sampingnya, dengan bekas luka compang-camping di bahunya akibat baku tembak bulan lalu.
Sekarang ada ratusan milisi sipil di seluruh Myanmar, yang diorganisasi secara longgar ke dalam apa yang disebut Pasukan Pertahanan Rakyat, atau PDF. Setiap milisi berjanji setia kepada pemerintah bayangan sipil, Pemerintah Persatuan Nasional, yang dibentuk setelah kudeta, dan beberapa batalyon dipimpin oleh anggota parlemen yang digulingkan.
Pemerintah Persatuan Nasional mengatakan telah mengumpulkan lebih dari 30 juta dolar AS untuk upaya perang, sebagian besar dari sumbangan dari warga sipil. Gelombang uang telah menciptakan ketidakseimbangan yang aneh. Sementara anggota veteran kelompok bersenjata etnis bertarung dengan senapan tua yang diikat dengan lakban, beberapa dari Tentara Pertahanan Rakyat memamerkan senjata baru yang terlihat mahal. Tetapi tetap, semuanya masih mengalami kekurangan senjata.
Untuk anak-anak kota dengan tangan halus lembut, bertahan di hutan penuh ular serta kemungkinkan diri terjangkit malaria itu sendiri sudah merupakan pencapaian, apalagi menghindari penembak jitu Tatmadaw, peluru mortir, dan serangan udara.
“para anggota PDF yang hidup di hutan-hutan telah mengorbankan hidup mereka untuk negara, dan saya sangat menghormati mereka,” kata U Yee Mon, mantan penyair yang kini menjabat sebagai menteri pertahanan untuk Pemerintah Persatuan Nasional.
Beberapa kombatan muda masuk hutan sebagai upaya melarikan diri dari surat perintah penangkapan yang dikeluarkan karena partisipasi mereka dalam protes pasca-kudeta. Mereka tidak punya banyak pilihan selain melarikan diri.
Dalam laporan hak asasi manusia yang dirilis pada 15 Maret, PBB menuduh junta militer melancarkan kejahatan perang massal terhadap rakyatnya sendiri setelah kudeta.
Tetapi selain dari beberapa sanksi keuangan dan kata-kata kecaman, komunitas global tidak berbuat banyak untuk menghukum junta Myanmar. Pemerintah Persatuan Nasional belum mendapat pengakuan dari negara mana pun, bahkan jika jajarannya diisi oleh politisi terpilih. Dengan sedikit harapan akan bantuan dari luar, otoritas bayangan telah bermitra dengan kelompok pemberontak etnis yang menguasai wilayah di wilayah perbatasan Myanmar. Bersama-sama, mereka telah membentuk rel kereta bawah tanah untuk membawa orang-orang muda ke tempat yang aman — dan untuk melatih mereka dasar-dasar berperang.
Suatu pagi di bulan ini, satu regu pejuang perlawanan, usia mereka tidak lebih dari 26 tahun, berbaris ke parit di garis depan Myanmar timur, menghindari ranjau darat buatan tangan yang mereka tanam untuk mempertahankan wilayah mereka karena posisi tentara sangat dekat. Nafas mereka terengah-engah. Seorang petarung tersandung cabang dan menjatuhkan flip-flop. Beberapa anggota milisi mengenakan rompi pelindung tubuh, tetapi tanpa pelat balistik keras yang dapat menyelamatkan nyawa mereka.
“Saya tidak suka melihat darah,” kata Ko Kyaw, seorang mahasiswa berusia 19 tahun, sambil memegang peluru di tangannya. “Itu membuatku merasa pusing.”
Beberapa jam kemudian, sepasang helikopter serang Tatmadaw menembaki parit pemberontak, meskipun intelijen sebelumnya telah membersihkan lubang perlindungan. Di malam hari, seperti hampir setiap malam, penembak jitu Tatmadaw membidik apa pun yang menarik perhatian mereka: cahaya dari ponsel yang penggunanya sedang memeriksa Facebook, mungkin, atau bara merah pejuang yang menikmati linting ganja.
Pada hari yang sama, di utara, seorang guru dan seorang mahasiswa kedokteran yang bergabung dengan gerakan perlawanan tewas, satu ditembak di kepala oleh penembak jitu militer, yang lain ditebas mortir.
Pemerintah Persatuan Nasional mengklaim bahwa Tentara Pertahanan Rakyat, bertempur bersama pejuang yang lebih berpengalaman dari milisi etnis, telah menewaskan sekitar 9.000 tentara Tatmadaw dari Juni 2021 hingga Februari 2022. (Sekitar 300 anggota milisi tewas dalam pertempuran, menurut pemerintah bayangan.) Seorang juru bicara militer Myanmar mengatakan jumlah korban tewas sebenarnya lebih rendah, dan jumlah otoritas bayangan tidak dapat dikonfirmasi. Tetapi sumber-sumber militer mengakui bahwa Tatmadaw prihatin dengan peningkatan jumlah korban. [Bersambung—The New York Times]
*Hannah Beech adalah koresponden senior untuk Asia yang berbasis di Bangkok. Dia sebelumnya adalah kepala biro Asia Tenggara. Sebelum bergabung TNYT dia melaporkan untuk Time Magazine dari Beijing, Shanghai, Hong Kong dan Bangkok.