Solilokui

Dicari, The Courageous Follower!

Salah satu tugas kepemimpinan yang amat penting adalah bagaimana menyiapkan strategi untuk memenuhi keinginan rakyat, untuk menciptakan kondisi ekonomi yang lebih makmur, lebih adil dan lebih sejahtera.

Oleh   : U. Saefudin Noer

JERNIH– Setelah memangku jabatan presiden, SB Yudhoyono telah banyak membuat pernyataan, janji, dan komitmen kepada publik. Juga Wapres Jusuf Kalla dan para anggota kabinet maupun juru bicara presiden.

Apakah beragam pernyataan dan komitmen itu membuahkan hasil? Jika belum, siapa sesungguhnya yang harus banyak bicara dan bertindak? Presiden sebagai leader atau para menteri sebagai pengikutnya (followers) dan para pejabat lain pada berbagai tingkatan? Para menteri pun sudah mulai menggerakkan birokrasi dan melakukan perubahan dalam jajarannya maupun jajaran Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Apakah pilihan strateginya dan bagaimana karakter para pembantu presiden yang mampu menggerakkan perubahan?

U Saefudin Noer

Strategi kebijakan

Sebagai sebuah rumah tangga yang bertujuan meningkatkan dan mendistribusikan kemakmuran kepada rakyat sebagai anggota keluarganya, pemimpin negara wajib menyiapkan strategi untuk menjalankan semua ketentuan konstitusi, khususnya tentang perlunya pencapaian tujuan pendirian negara sebagai tanggung jawabnya. Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa setiap pemimpin harus memiliki visi, misi, serta strategi untuk mencapai tujuan dan cita-citanya.

Di sinilah dimulai pemilihan paradigma, yang oleh Thomas Kuhn dimaknai sebagai kerangka referensi, definisi situasi, atau satu bentuk pandangan yang menjadi dasar berpijak tentang arah yang ingin dicapai. Strategi adalah masalah yang tak terpisahkan dari kepemimpinan.

Jack Trout mengatakan strategy is all about leadership. Dia mengingatkan, “No one will follow if you don’t know where you’re going.” Paradigma dan strategi seperti apa yang akan dijadikan pijakan oleh kepemimpinan baru Indonesia, merupakan hal fundamental. Apalagi begitu banyak tarik menarik antarmazhab dan kepentingan ekonomi maupun politik di sekeliling puncak kepemimpinan. Dalam hal ini, pilihan paradigma dan penyiapan strategi terkadang bukanlah soal kebenaran gagasan dan atau keunggulan konseptual, melainkan pertarungan kepentingan (interest).

Karena itu, pemihakan kepada cita-cita bangsa, kepentingan nasional yang luas sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, serta sebagai pucuk pimpinan yang memperoleh amanah melalui proses demokrasi dengan legitimasi yang kuat, menjadi krusial bagi presiden dan wapres untuk berdiri tegar memperjuangkan kepentingan negara dan rakyatnya.

Salah satu tugas yang amat penting adalah bagaimana menyiapkan strategi untuk memenuhi keinginan rakyat, untuk menciptakan kondisi ekonomi yang lebih makmur, lebih adil dan lebih sejahtera. Dalam konteks kebijakan ekonomi, semua negara memiliki cita-cita untuk memenuhi aspirasi-aspirasi seperti menaikkan tingkat Gross Domestic Product (GDP) per kapita, meningkatkan daya saing internasional, tingkat kesempatan kerja yang tinggi (full employment), harga-harga yang stabil, kesehatan yang baik, pendidikan yang baik, lingkungan yang baik, keamanan dan perdamaian, kebebasan manusia, dan sebagainya. Tugas kepemimpinan dalam konteks ekonomi juga mencakup bagaimana melakukan alokasi dan pendistribusian sumber daya yang langka tanpa harus bertentangan dengan tujuan makroekonominya.

Semua cita-cita itu tidak boleh berhenti pada konsepsi abstrak yang sulit dicerna. Hal-hal kongkrit di depan mata, sebut saja misalnya tingginya angka pengangguran karena ketidakcukupan lapangan kerja, merupakan persoalan nyata yang dapat mengganggu kestabilan sosial dan meningkatkan gangguan. Para penganggur memiliki kecenderungan tidak berpendirian dan emosional. Persoalan nyata lain adalah biaya Pendidikan yang semakin mahal, sehingga berpotensi meningkatkan jumlah penduduk putus sekolah. Dalam jangka panjang kelompok ini bukan hanya akan menjadi beban ekonomi nasional, tetapi juga membuat penurunan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Persoalan lain yang penting ditangani adalah adanya tendensi proses deindustrialisasi yang pelan-pelan berlangsung, merendahnya proses pembangunan infrastruktur, kurangnya modal dan foreign direct investment (FDI), dan rendah-nya kemampuan menabung masyarakat (domestic saving capacity). Pilihan meng-aktifkan investasi bidang infrastruktur, misalnya, jika dilakukan dengan cermat dan menyebar akan segera menambah jumlah lapangan kerja dan mempercepat pertumbuhan industri maupun pergerakan sumber daya ekonomi di berbagai bagian Indonesia. Kini saatnya para gubernur, bupati, dan wali kota menyiapkan kembali rencana-rencana nyata pembangunan wilayahnya dalam berbagai sektor dan zona-zona investasi bagi pengembangan infrastuktur dan industrialisasi yang relevan bagi daerahnya masing-masing, sehingga spirit dan visi perubahan dari kepemimpinan nasional yang baru segera menyebar secara serentak.

Adalah kewajiban pemimpin negara untuk memberikan rumusan yang lebih smart, spesifik, penggunaan parameter yang lebih mudah diukur, dapat disepakati rakyat maupun wakil-wakil rakyat atau lembaga-lembaga yang mencerminkan aspirasi rakyat, realistik, dan dapat ditelusuri landasan paradigma, teori, maupun pemikirannya dari data-data yang telah dimiliki hingga saat ini. Harus dihindari kata-kata yang hanya indah bagai mantra, tapi sulit dipahami maknanya, apalagi pelaksanaannya.

Dalam hal ini, proses perencanaan terstruktur yang dapat dipertanggungjawabkan harus menjadi peta pemikiran bersama dalam menjalankan kebijakan negara. Proses mind mapping harus menjadi bagian dari cara-cara berpikir para pemimpin negara dan pengelola pemerintahan dalam menentukan langkah-langkah praktis menjalankan manajemen pemerintahan.

Pilihan paradigma, mazhab, dan rumusan strategi harus menghasilkan kekuatan menggerakkan perubahan.

Dalam tahapan ini, menjadi krusial untuk menyiapkan mekanisme komunikasi kebijakan ekonomi nasional agar berlangsung dengan cermat, mudah dicerna, dan tidak manipulatif, apalagi sekedar menyenangkan rakyat.

Pemerintahan baru berkewajiban memberikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat, baik melalui lembaga-lembaga resmi, media massa maupun tatap muka, sebagaimana yang telah berlangsung pada masa-masa kampanye. Pilihan untuk menyiapkan juru bicara kepresidenan, atau juru bicara masing-masing lembaga pemerintahan lain, mungkin dapat dipertimbangkan. Tetapi kemampuan komunikasi pemimpin negara dan lembaga pemerintahan pada berbagai tingkatnya lebih penting dari sekadar memilih para juru bicara, yang belum tentu memahami roh dan jiwa kebijakan yang diambil.

Pertanyaannya, apakah sudah tersedia strategi dan rumusan kebijakan yang jelas dan mampu menggerakkan potensi bangsa untuk mencapai cita-cita memakmurkan, mensejahterakan dan mendistribusikannya secara berkeadilan?

Bila belum, inilah saatnya membuat daftar prioritas kebutuhan rakyat dan proses penyelesaiannya.

Pengikut yang berani

Lokomotif utama di balik pasang surutnya peradaban adalah manusia. Ia dapat menjadi sumber keberkahan atau malapetaka bagi kemanusiaan, tergantung pada proses pendidikan, karakter, dan sikap mentalnya.

Karenanya proses crewing yang selama ini sering disebut penyiapan staf pemerintahan, atau penyiapan government crew, bukan aparat, dan intellectual capital bagi kebutuhan pengisian posisi-posisi penting pengelola pemerintahan pada berbagai bidang akan mempengaruhi pengambilan kebijakan negara secara signifikan, khususnya kebijakan ekonomi yang diambil, termasuk tata cara pengelolaan aset dan sumber daya nasional bagi perbaikan ekonomi. Pemilihan anggota kabinet yang hanya semata-mata didasarkan pada politik balas budi atau menjaga harmoni politik untuk mengurangi tekanan terhadap kepemimpinan nasional, bukan tidak mungkin menjadi jebakan awal bagi janji perubahan bidang ekonomi yang dijanjikan kepada rakyat.

Upaya-upaya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat, pengendalian inflasi, pengurangan utang luar negeri, pengurangan kebocoran keuangan negara, peningkatan kualitas aset BUMN maupun perusahaan yang terkait dengan pemerintah (government links companies-GLC’s) dan kemampuannya dalam memberikan sumbangan bagi ekonomi negara, mungkin hanya tinggal janji jika dikelola oleh orang baik tanpa ketrampilan prima untuk membuat dan mengelola perubahan. Apalagi bila mereka tidak memiliki visi ekonomi, networking, dan kapasitas public relations dalam diplomasi ekonomi internasional yang dinamis dan mampu membangun daya tarik bagi datangnya investasi global.

Kapasitas SDM bagi kepentingan negara, bukan hanya harus diisi oleh para pemimpin yang kuat, cerdas, berani, bermoral, dan berkarakter, tapi juga para pengikut (followers) yang tahu persis tugas dan tanggung jawabnya. Para pemimpin yang bermental pengikut akan sangat berbahaya dibanding para pengikut yang berani memberikan pertimbangan kepada para pemimpinnya, termasuk dalam hal ini kepada presiden dan wapres. Para Pengikut yang berani (the courageous followers) harus menjadi orang-orang penting yang diberi kesempatan mengelola perubahan kebijakan dan menggerakkan resources ekonomi ke arah perbaikan yang lebih membawa kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan dalam pemerintahan yang dihormati rakyat maupun kalangan internasional.

Presiden dan wapres tidak ada salahnya mengambil inspirasi dari Ira Chaleff dalam menentukan para pengelola kebijakan perekonomian, dengan memperhatikan lima dimensi penting tentang para pengikut. Yakni (1) the courage to assume responsibility; (2) the courage to serve; (3) the courage to challenge; (4) the courage to participate ini transformation; (5) the courage to take moral action/. Sedangkan bagi pemimpin, ia haruslah menjadi the courage to listen to followers.

Dalam dimensi the courage to assume responsibility, para pengikut dalam tim pemerintahan baru, hendaklah mereka yang mau dan mampu bertanggung jawab kepada dirinya maupun kepada negaranya. Mereka bukanlah yang terlalu memegang budaya paternalistik, tetapi bukan pula yang tidak memiliki adab dan kesantunan.

Orang-orang yang memiliki dimensi the courage to serve bukanlah orang yang takut untuk bekerja keras dan memikul tugas-tugas besar untuk melayani kebutuhan negara dan pemimpinnya. Mereka adalah orang yang penuh gairah dalam memberikan pelayanan dan kinerja terbaik bagi organisasi dan pimpinannya. Mereka adalah para pelayan rakyat yang memberinya legitimasi untuk menggerakkan mesin pemerintahan dan mengelola negara. Pada sisi lain, anggota kabinet, pengelola pemerintahan, lembaga-lembaga pemerintahan, lembaga negara, dan pengelola aset-aset negara yang memiliki courage to challenge adalah mereka yang mampu memberikan suaranya untuk menyatakan ketidaksetujuannya kepada kebijakan yang salah. Bagi kepemimpinan yang menghendaki perubahan kearah perbaikan, para pengikut yang memiliki courage to participate in transformation merupakan keniscayaan.

Sulit bagi pemerintahan baru menyiapkan kebijakan ekonomi yang benar bila dikelilingi orang yang mengganggu pencapaian tujuan besar agenda perubahan. Mereka yang mendampingi presiden dan wapres sepatutnya adalah para kampiun yang memahami pentingnya perbaikan kondisi ekonomi dan perbaikan bangsa secara keseluruhan.

Tim pemerintahan yang baru, sepatutnya diisi oleh full participant dalam proses perubahan. Bukan orang-orang yang hanya sekadar ingin menikmati gula kemenangan tanpa pengorbanan. Dalam proses perubahan kearah perbaikan yang harus diperjuangkan, moralitas manusia akhirnya menjadi sangat fundamental.

Seperti yang diungkap Nigel Lawson, man is a moral animal and no political or economic order can long survive except on a moral base. Jika kapasitas teknis, skill, profesionalisme, dan moralitas para pengikut tidak memenuhi target perubahan yang dicanangkan, presiden memang pemilik kewenangan untuk menggantinya. Resfuffle sepenuhnya kewenangan dan hak prerogatif presiden. [  ]

Sumber  : Republika, Kamis, 31 Maret 2005

Back to top button