‘Muslim Ban’ Picu Kepanikan Warga Amerika Serikat
WASHINGTON—Perluasan larangan masuk yang ditetapkan pemerintah Amerika Serikat (AS) baru-baru ini telah memicu kepanikan di kalangan warga AS. Berbagai kelompok hak asasi manusia di negeri Uncle Sam pun mengecam hal itu sebagai langkah terencana untuk mengusir umat Islam dan kalangan orang-orang marjinal di sana.
Sejak Jumat sore pekan lalu rumors mulai beredar. Pengacara keimigrasian Houston Ral Obioha mengatakan, teleponnya terus berdering, dengan beberapa klien yang mengajukan pertanyaan langsung tentang bagaimana larangan tersebut berdampak terhadap mereka.
“Jawabannya tidak jelas,” kata Obioha kepada Al Jazeera. Segera saja kebingungan dan ketidakpastian menyebar luas pada jam-jam setelah Donald Trump mengeluarkan perluasan larangan bepergian untuk warga dari enam negara yang ingin memasuki AS.
Mulai 21 Februari, Gedung Putih menegaskan bahwa warga Eritrea, Myanmar, Kirgistan, dan Nigeria dianggap tidak lagi memenuhi syarat untuk mendapatkan visa imigran ke AS. Warga negara dari Sudan dan Tanzania juga tidak lagi memenuhi syarat untuk mengikuti program undian pengajuan visa imigran.
Keputusan pemerintah Trump soal larangan masuk itu telah banyak dikecam kelompok advokasi dan hak asasi, sebagai perpanjangan dari apa yang sebelumnya disebut ‘Muslim Ban’, karena warga negara dari beberapa negara mayoritas Muslim dilarang memasuki negara tersebut. “Ini benar-benar menghantam kita sekarang,” kata Obioha, yang lahir di AS dari orang tua berkebangsaan Nigeria.
Houston, Texas, adalah rumah bagi salah satu pendatang Nigeria terbesar di negara itu, Obioha menjelaskan. Pengumuman Gedung Putih tersebut jelas membuat komunitas mereka di sana menjadi kacau.
“Mereka bertanya,” Apakah ini berarti suamiku tidak akan pernah bisa datang? Apakah ini sama saja anak-anakku tidak akan pernah bisa bergabung denganku? Apakah ini berarti aku harus melepaskan pekerjaanku untuk kembali ke Nigeria hanya supaya bisa bersama keluarga?” ujarnya menirukan kliennya.
“Larangan itu telah memicu banyak ketakutan. Ini melahirkan banyak keraguan karena orang tidak tahu apa artinya secara praktis bagi mereka. Ada banyak ketidakpercayaan yang beredar, pemerintahan akan berupaya keras memisahkan keluarga.”
Rasisme dan Xenophobia
Pemerintah Trump membenarkan perpanjangan larangan dengan mengatakan negara-negara yang ditambahkan ke dalam daftar tidak memenuhi kriteria keamanan tertentu, seperti identifikasi yang tepat dari pemohon visa AS, atau gagal berbagi informasi dengan AS.
“Sangat penting bagi keamanan nasional, dan tingginya akal sehat, jika sebuah negara asing ingin menerima manfaat imigrasi dan bepergian ke Amerika Serikat, itu harus memenuhi persyaratan keamanan dasar,”kata Gedung Putih melalui sebuah pernyataan, sebagaimana dilansir Al Jazeera.
Para advokat mengatakan, pembatasan itu adalah langkah terbaru dalam rencana administrasi Trump untuk mengusir umat Islam dan orang-orang marjinal di AS.
Presiden AS itu pernah berjanji selama kampanye pemilihannya untuk menyetop masuknya semua Muslim ke AS. Pada 2018, The Washington Post melaporkan, Trump dalam sebuah diskusi perlindungan imigran dari Haiti, El Salvador dan negara-negara Afrika, mengajukan pertanyaan, “Mengapa semua orang dari negara-negara brengsek ini datang ke sini?”
Pada hari-hari awal pemerintahannya, Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang warga negara dari tujuh negara mayoritas Muslim datang ke AS, sehingga memicu protes di bandara utama dan beberapa tantangan pengadilan.
Mahkamah Agung AS akhirnya menegakkan versi amandemen pada 2018, meski larangan itu tetap berlaku untuk Iran, Libia, Somalia, Suriah, dan Yaman. Sementara, beberapa warga negara Venezuela dan Korea Utara juga menghadapi pembatasan perjalanan.
“Alasannya terus berubah tentang mengapa pemerintahan Trump ingin mengusir orang-orang berkulit hitam dan coklat. Itu karena tidak ada alasan yang jujur, kecuali untuk rasisme dan xenofobia,” ujar Patrice S. Lawrence, wakil direktur UndocuBlack Network, yang mengadvokasi hak-hak orang kulit hitam yang tidak berdokumen di AS.
“Di balik larangan ini dan sanksi visa adalah orang-orang dengan keluarga nyata, dan terpaksa menghadapi rasa sakit dan ketidakpastian akibat perpisahan keluarga,” kata Lawrence dalam sebuah pernyataan.
Larangan perjalanan baru administrasi Trump tidak berlaku untuk orang-orang dari enam negara yang mengajukan visa turis atau bisnis ke AS. Khusus untuk orang-orang dari Nigeria, Eritrea, Myanmar, dan Kirgistan, pembatasan berlaku untuk visa imigran. Visa imigran adalah untuk orang-orang yang berniat tinggal di AS secara permanen, seperti pasangan atau anggota keluarga warga AS, anggota keluarga dari penduduk tetap AS, atau pekerja yang memiliki gelar lanjutan.
Bagi orang-orang dari Tanzania dan Nigeria, larangan tersebut berlaku untuk program “visa keanekaragaman”.
Berdasarkan statistic Kementerian Luar Negeri AS, pada 2018 lebih dari 500 ribu orang dari Sudan (baik pendatang dan pasangan atau anak-anak mereka) telah mendaftar untuk program itu. Dari total jumlah pelamar, 3.781 orang Sudan kemudian dipilih dan diberi kesempatan untuk mengajukan visa imigran ke AS. Pada tahun yang sama, sekitar 14.200 warga Tanzania melamar. Dari jumlah itu 173 harus mengajukan permohonan visa imigran.
“Sebut saja apa adanya: Ini adalah ‘Muslim Ban’,” kata Wafa Saeed, direktur eksekutif Asosiasi Urusan Publik Amerika Sudan, sebuah kelompok yang peduli masyarakat Sudan di AS. Saeed mengatakan, orang-orang bingung tentang apa arti larangan itu bagi mereka dan kerabat mereka yang mungkin ingin mendaftar ke dalam program undian visa.
Dia berujar, itu bahkan lebih menyedihkan karena dilakukan setelah revolusi baru-baru ini di Sudan, yang membuat orang bangkit melawan penguasa lama Omar al-Bashir, dan menuntut pemerintah yang lebih baik demi masa depan mereka. “Ini seperti tamparan di wajah untuk mengatakan, Anda melakukan segala sesuatu yang seharusnya Anda lakukan untuk menjadi aman dan terjamin. Lalu, menginginkan nasib yang lebih baik untuk diri Anda sendiri, tetapi pintunya tertutup (oleh Trump),” kata Saeed kepada Al Jazeera.
Saeed mengatakan, larangan itu juga mengirim pesan kepada orang-orang, mereka tidak diterima di AS tidak peduli berapa lama mereka telah tinggal di negara itu. “Ini benar-benar menanamkan rasa takut, terlepas dari [apakah] Anda sudah di sini setahun, atau Anda sudah di sini 10 tahun atau Anda sudah di sini selama itu, bahkan jika Anda seorang warga negara, Anda tidak sepenuhnya diterima,” katanya.
Chioma Azi, pendiri dan CEO Philly Nigerian Professionals, sebuah kelompok bagi dukungan para profesional Afrika di Philadelphia menyatakan, ironi larangan perjalanan itu adalah banyak orang Nigeria, baik di Nigeria maupun di AS, mendukung Trump. Sementara Nigeria telah menjadi sekutu lama AS, Azi menunjuk ke pertengkaran baru-baru ini tentang biaya visa sebagai tanda hubungan bilateral yang tegang.
Pada Agustus lalu, kedutaan besar AS di Nigeria menaikkan biaya untuk visa AS, sebuah langkah yang muncul setelah pemerintah Trump mengatakan akan mengeluarkan “biaya timbal balik”. [Aljazeera]