Ogah Jadi Umpan Peluru di Ukraina, Warga Rusia Berbondong-bondong Lari ke Luar Negeri
- Tiket pesawat ke negara-negara yang memungkinkan warga Rusia masuk tanpa visa naik delapan kali lipat, dan laris manis.
- Tiket Moskwa-Yerevan, misalnya, dijajakan Rp 39,3 juta.
JERNIH — Ribuan pria Rusia usia wajib militer melarikan diri ke luar negeri, dan lainnya mencari cara menghindar dari kemungkinan dikirim ke garis depan perang Rusia di Ukraina, setelah Presiden Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi militer parsial.
“Saya tidak ingin menjadi umpan meriam,” ujar seorang warga Moskwa berusia 30 tahun kepada The Moscow Times.
Cara paling jelas bagi pria Rusia menghindari wajib militer adalah pergi ke luar negeri. Mereka tahu itu. Seluruh tiket penerbangan langsung dari Rusia ke Turki, Armenia, Azerbaijan, dan negara-negara yang memungkinkan orang Rusia masuk tanpa visa, ludes terjual.
Harga tiket ke tujuah populer naik delapan kali lipat dan tetap diburu. Tiket Moskwa-Yerevan (Armenia), misalnya, dijual 160 ribu rubel atau Rp 39,3 juta. Tiket Moskwa-Dubai dijajakan 170 ribu rubel, atau Rp 41,8 juta.
“Adik saya takut. Kami mencoba membelikannya tiket pesawat ke satu tempat,” ujar seorang wanita yang tak ingin namanya disebut, yang saudara laki-lakinya baru saja menyelesaikan dinas militer.
Menurutnya, keluarga berharap sang adik melintasi perbatasan Rusia tanpa masalah.
Hukum Rusia mengatur pembatasan pergerakan dalam kasus mobilisasi umum. Namun, Kremlin belum melakukan langkah apa pun untuk menutup perbatasan Rusia.
Andrei Kartapolov, kepala Komite Pertahanan Rusia di Duma, mengatakan perbatasan kemungkinan akan tetap terbuka. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menolak mengomentari situasi ini.
“Tentu saja saya memiliki ketakutan,” ujar Oleg, berusia 29 tahun. “Saya ingin menghindari wajib militer dan meninggalkan engara ini jika keuangan saya memungkinkan, atau jika saya punya teman di luar negeri.”
Presiden Vladimir Putin mengatakan hanya akan menerapkan mobilisasi sebagian, dengan memprioritaskan pemanggilan cadangan militer dengan pengalaman di Angkatan Bersenjata.
Namun, kurangnya detil resmi tentang mobilisasi parsial memicu kebingungan, ketakutan, bahkan kepanikan, tentang siapa yang benar-benar akan dipaksa bertempur di Ukraina.
“Situasinya tidak jelas,” kata Sergei Krivenko, direktur kelompok hak asasi manusia (HAM) Citizen. “Jika mengacu pada dekrit presiden, setiap warga negara dari cadangan militer berpotensi direkrut.”
Ketidak-pastian tidak hanya menciptakan kepanikan, tapi juga solusi kreatif menghindari wajib militer.
“Orang akan menggunakan setiap kesempatan untuk menghindari wajib militer,” ujar seorang warga Moskwa. “Beberapa kembali ke universitas, mencari pekerjaan paruh waktu di sektor pertanian, atau lainnya.”
Ada yang berpikir mematahkan lengan, membuat diri cedera parah, agar tidak direkrut dan dicemplungkan ke medan perang di Ukraina.
Lainnya menghibur diri dengan mengatakan mobilisasi tidak berlaku di Moskwa, tapi di wilayah-wilayah miskin. Jadi mobilisasi tidak merata di seluruh negeri.
Mobilisasi parsial memperlihatkan Kremlin benar-benar menghadapi kekurangan pasukan di garis dengan medan tempur Ukraina. Situasi ini terjadi setelah Rusia kalah di Kharkiv, dan harus melepas wilayah Ukraina yang diduduki.
Dekrit mobilisasi menunjukan semua klaim Moskwa tentang jumlah prajurit yang tewas di Ukraina bohong. Menhan rusia Segei Shoigu mengatakan 5.937 prajuritnya tewas selama tujuh bulan pertempuran di Ukraina.
Data yang bisa diakses publik Rusia menunjukan 6.219 tentara tewas. Pejabat AS memperkirakan 80 ribu tentara Rusia menemui ajak sejak invasi Kremlin, Februari 2022.
Seorang warga Moskwa yakin yang terjadi saat ini adalah Perang Rusia di Ukraina adalah kegagalan terbesar Kremlin dalam sejarah.