Bersatu dalam Substansi
Maulana Jalal ad-Din Rumi mengisahkan itu dalam “Matsnawi”-nya sebagai tamsil tentang orang yang terperangkap dalam kerangkeng (penampakan) harfiyah, tanpa kemampuan menangkap inti substansi.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH–Syahdan, empat orang sahabat menemukan sekeping uang. Orang Persia berkata, ”Dengan uang ini aku akan membeli anggur.” Orang Arab menukas, ”Tidak, kita harus membeli inab.” Orang Turki mengatakan, ”Aku menginginkan uzum.” Orang Yunani tak tertarik pada ketiga pilihan tersebut. ”Aku ingin stafili,” ujarnya.
Saat cekcok memuncak, seorang arif lewat dan tergerak untuk mendamaikan. ”Aku bisa memenuhi keinginan kalian semua, asal kalian percaya. Sekeping uang ini akan jadi empat, dan kalian akan rukun kembali.”
Orang bijak itu lantas pergi membeli anggur. Begitu kembali, keempat orang itu sama-sama girang. Ternyata, keempatnya, dengan beda bahasa, menghendaki hal yang sama: anggur.
Maulana Jalal ad-Din Rumi mengisahkan itu dalam “Matsnawi”-nya sebagai tamsil tentang orang yang terperangkap dalam kerangkeng (penampakan) harfiyah, tanpa kemampuan menangkap inti substansi.
Bandingkan sindirannya pada anekdot yang lain. Alkisah, seorang penyair Arab membacakan puisi di hadapan sang raja. Pada bagian yang menimbulkan kekaguman, raja menganggukkan kepala; pada bagian yang membangkitkan ketakjuban, raja menatap terpukau dan pada bagian yang membangkitkan kerendahan hati, raja mengelus dada.
Komunitas istana bingung dan berkata, ”Raja kita tak tahu bahasa Arab. Bagaimana mungkin dia menunjukkan isyarat yang tepat, kecuali menyembunyikan pengetahuannya dari kita selama ini? Apabila kita pernah berkata tak sopan dalam bahasa Arab, celakalah kita!”
Pembesar istana pun meminta budak kesayangan raja mencari tahu. Suatu kali, saat jeda di tengah keasyikan berburu, si budak bertanya tentang hal itu. Raja tertawa dan berkata, ”Demi Tuhan, aku tak tahu bahasa Arab. Aku menganggukkan kepala dan menyatakan kesepakatan, benar-benar karena maksud yang terkandung dalam puisi itu, bukan karena kata-kata yang diucapkannya.”
Kisah tersebut mengingatkan bahwa ”hal utama” yang harus ditangkap untuk menerobos hambatan harfiah adalah maksud. Puisi hanyalah ”cabang” dari ”yang utama”. Apabila tak ada maksud, dia tak akan menggubah puisi. Jika seseorang telah mengutamakan maksud dan makna terdalam, tak ada lagi ke-dua-an yang tersisa. Bhinneka tunggal ika, tan hana dharmma mangrwa, berbeda tapi satu, tiada dharma kebajikan yang mendua dalam tujuan. [ ]