Camp Macassarese, Kampong Makassar, Kampoengmakassar, dan Kecamatan Makasar
- Resolusi 26 Juni 1686 memaksa semua etnis pribumi menjauh dari tembok kota Batavia.
- Orang Makassar diperkirakan ‘dijauhkan’ dari tembok kota sebelum tahun 1740.
JERNIH — Tidak sulit mengidentifikasi asal-usul nama Kecamatan dan Kelurahan Makasar di Jakarta Timur. Anda tinggal buka google.com dan ketik ‘asal-usul Kecamatan dan Kelurahan Makasar, akan muncul sejumlah artikel yang menarasikan bagaimana salah satu etnis di Indonesia membangun sejarahnya di Jakarta.
Hampir semua peta Hindia-Belanda sejak awal abad ke-19 sampai paruh pertama abad ke-20 menyebut Makasar dengan beragam penulisan; Camp Maccasarese, Kamp Makkasar, Makasar, dan Kampoengmakasar. Namun peta VOC sebelum abad ke-17 menempatkan Kampung Makasar di sebelah utara Paris Amanus, atau Amanusgracht.
Pertanyaanya, bagaimana orang-orang Makassar dimukimkan VOC jauh dari tempat mereka kali pertama ditampung di Batavia?
Dijauhkan dari Tembok Kota
Lontarak Bilang Raja Gowa dan Tallok mengabarkan dua hal, tapi hanya satu yang selalu dikutip. Pertama; “Pada 13 Jumadil Awal 1139 Hijriyah, atau 7 Januari 1727, Daeng Matara meninggal di Jakattaraq (Jakarta atau Batavia – red). Kedua, pada malam hari, atau beberapa jam setelah kabar kematian Daeng Matara menyebar, orang-orang Dompu di Kampung Baru melarikan diri karena takut diserahkan atau dipindahkan ke tempat lain.
Jakattaraq yang dimaksud adalah Jakarta, sedangkan Kampung Baru adalah permukiman orang Makassar di Parit Amanus atau Amanusgracht, tidak jauh dari tembok kota Batavia. Sedangkan informasi lain, seperti dikutip banyak penulis toponimi, tahun 1686 orang Makasar di bawah Daeng Matara dimukimkan di wilayah yang saat ini bernama Kecamatan dan Kelurahan Makasar.
Tidak mudah menjelaskan dua informasi bertolak belakang itu, dan menjawab pertanyaan sejak kapan sebenarnya orang-orang Makasar dimukimkan di tepi Spruijt Cipinang di sebelah barat tanah partikelir Condet.
Orang Makasar di bawah Daeng Matara tiba di Batavia setelah VOC, dengan bantuan Kerajaan Bone dan Soppeng, mengalahkan Gowa dan Tallo tahun 1670. Mereka tersebar tak jauh dari tembok kota, membangun permukiman, dan bercocok tanam. Jumlah mereka tak diketahui, tapi VOC khawatir penyebaran orang Makasar yang tidak terkoordinasi dalam permukiman terkontrol menimbulkan ketidak-amanan kawasan luar tembok kota.
Lewat plakat 12 September 1673 VOC menempatkan orang Makassar di sebelah utara Amanusgracht, dengan Daeng Matara sebagai vaandrig atau pemimpin. Namun, pembentukan kampung untuk orang Makassar – seperti juga kampung-kampung untuk etnis lain; Bali, Buton Bugis, Banda, Melayu, dan Bali – tidak mengakhiri ketakutan Hoge Regering, atau pemerintah agung VOC, akan kemungkinan buruk yang ditimbulkan orang-orang yang dimukimkan.
VOC mencari cara menjauhkan permukiman etnis dari tembok kota Batavia. Atas usul Joan van Hoorn dan Isaac de St Martin, VOC mengeluarkan resolusi 26 Juni 1686 tentang pembersihan kampung-kampung masyarakat etnis dari dekat tembok kota Batavia.
Mengeluarkan resolusi adalah sesuatu yang mudah, tapi mengaplikasinnya butuh waktu dalam hitungan puluhan tahun. Untuk menjauhkan semua orang Jawa dari dekat tembok kota Batavia, misalnya, VOC butuh sedikitnya lima kampung di sekujur Ommelanden. Setelah bentrok berdarah Ambon Muslim dan Kristen September 1671, VOC harus mempersiapkan dua kampung yang jauh untuk satu etnis dengan dua agama berbeda itu.
Dua perkampungan Melayu di Groningen Vaart dan Bacherachtgracht juga harus dipindah ke Meester Cornelis. Orang-orang Bugis ditempatkan di wilayah yang saat ini bernama Kali Deres, dan orang-orang Bali yang jumlahnya sedemikian banyak harus disebar ke banyak tempat. Bukan sesuatu yang aneh jika nama Kampung Bali mungkin yang paling banyak di Ommelanden. Mulai dari yang menggunakan nama ‘kampung’ dan yang tidak. Misal; Bali-meester dan Balimatraman.
‘Pengusiran’ orang Makasar dari dekat tembok kota pasti tidak terjadi sampai tiga dekade setelah resolusi itu keluar. Bukti paling sahih adalah catatan dalam Lontarak Bilang Raja Gowa dan Tallok, yang mengindikasikan Daeng Matara meninggal bukan di wilayah yang saat ini bernama Kecamatan dan Kelurahan Makasar, tapi masih di Kampung Baru di utara Amanusgracht.
Dari Kampung ke Tanah Parikelir
Perkiraan paling moderat tentang kapan orang Makassar dipindah dari Amanusgracht ke wilayah yang saat ini bernama Kecamatan dan Kelurahan Makassar adalah sebelum 1740. Asumsinya sederhana, Kaart der hoofdplaats Batavia omstreeks het jaar 1740 tidak lagi mencantumkan Kampung Baroe. Yang ada hanya Maleische Kamp (Kampung Melayu) di Amanusgracht, Maleijers (Orang Melayu) di dekat Vijfhoek, dan Maleische en Chinezen Woningen (Perumahan Orang Melayu dan Tionghoa) di Groningen Vaart.
Dalam beberapa kasus, komunitas etnis ditempatkan di tanah partikelir dan lainnya di lahan yang belum terpetakan alias masih berupa belantara. Jadi, VOC tidak pernah memberikan tanah kepada komunitas etnis dengan akte hak milik kolektif, tapi hak pakai. Mereka yang dimukimkan di tanah partikelir akan otomatis tunduk pada landheer yang berkuasa dan mematuhi kewajiban; membayar tjuke atau pajak tahunan atas tanah berupa bagi hasil pertanian, dan kompenian atau bekerja di tanah yang dikelola langsung pemilik tanah.
Komunitas etnis yang diberi tanah belum dibuka dan dipetakan, alias masih berupa hutan belantara, harus memulai segalanya dari nol. Etnis Makassar hanya salah satunya. Ketika tiba di tepi Spruijt Tjipinang, tempat yang ditunjuk VOC, mereka membuka hutan, membangun permukiman, mencetak sawah, dan menyiapkan bidang-bidang tanah untuk perkebunan.
Ini bukan sesuatu yang mudah. Setelah sekian tahun, banyak orang Makasar kembali ke Kampung Baru di Amanusgracht, dan menemukan bekas permukiman mereka dihuni beragam etnis; Jawa, Sunda, Buton, orang Jepang yang tidak mungkin kembali ke negaranya karena Shogun Tokugawa menutup negaranya, Bali, Bugis, dan budak yang melarikan diri. Kampung Barus di Amanusgracht setelah pengusiran orang Makassar adalah permukiman liar.
Orang Makassar yang bertahan di tempat baru melewati tahun-tahun melelahkan untuk bertahan hidup selama satu generasi. VOC terus mengawasi mereka lewat penguasa lokal. Tidak diketahui siapa vaandrig berikut setelah kematian Daeng Matara. Yang pasti, orang Makassar masih sangat diperlukan VOC untuk tugas-tugas ekspedisi tempur dan jika Batavia terancam serangan dari luar.
Tidak diketahui kapan tanah permukiman etnis Makassar di samping Land Tjondet of Landlust berubah jadi tanah partikelir. Jika melihat peta Hindia Belanda 1815, perubahan terjadi sebelum memasuki abad ke-19 atau di penghujung usia kongsi dagang VOC. Saat itu, etnis Makassar di wilayah itu telah melewati satu generasi dan beranak pinak.
VOC yang membutuhkan uang dalam jumlah besar untuk memperlambat kebangkrutan hanya punya satu cara; membuka tanah partikelir baru dan menjualnya ke investor Tionghoa atau warga bebas kulit putih. Permukiman etnis Makassar, seperti juga Kampung Melayu di Meester Cornelis dan Kampung Bali di Pesing, mengalam nasib itu, yaitu dijadikan tanah partikelir dan dijual.
Ketika menjadi tanah partikelir, permukiman etnis Makassar itu tercatat dalam Staat der Partikulier Landerijen sebagai Kampong Makassar. Pada paruh kedua abad ke-19, Kampong Makassar dimiliki landheer Tionghoa Khouw Tjeng Po, dan dikelola sebagai perkebunan kelapa dan persawahan.
Kepemilikan Khouw Tjeng Po bertahan sampai pergantian abad. Ini ditunjukan dalam Regerings-Almanak voor Nederlandsche-Indie 1870 dan 1876. Jelang pergantian abad, Kampong Makassar dimiliki Eugene Ernest Alexis Constant Dieudonne d’Hollosy, biasa ditulis E.d’Hollosy. Planter kelahiran Banyumas 13 May 1876 ini mencatatkan kepemilikan Kampong Makassar atas nama Cultuurmaatschappij Kampong Makasser en Harmendal.
Tahun 1904, Kampong Makassar terpecah menjadi Groote (Besar) Kampong Makasser dan Klein (Kecil) Kampong Makassar.9 Dalam Batavia en Omstreken 1925 terdapat lima nama Makassar; Klein Kampong Makassar, Groote Kampong Makassar, Makasar, Makassar Ilir, dan Makassar Oedik. Artinya, tanah etnis Makassar sedemikian besar.
E.d’Hollosy mempertahankan kepemilikan Kampong Makasser sampai sekitar tahun 1925. Sebelum memasuki dekade keempat abad ke-20, Kampong Makasser berpindah ke tangan Syech Abdullah bin Salim bin Makri.10 Entah berapa lama Syech Abdullah memiliki tanah ini. Yang pasti, tahun 1930 pemerintah Belanda membeli kembali Kampong Makassar dari tangan pemilik terakhirnya.
E.d’Hollosy menghabisan dua dekade hidupnya di Meester Cornelis dan meninggal di tengah hiruk-pikuk perang dekolonisasi pada 4 January 1947. Ia selamat dari kamp interniran selama pendudukan Jepang namun tidak diketahui di mana dia ditahan. Yang pasti Kampong Makassar, tanah yang pernah dikuasainya selama beberapa dekade, menjadi kamp interniran untuk warga kulit putih Belanda di era Jepang.
Setelah Jepang angkat kaki dari Hindia-Belanda dan E.d’Hollosy kembali ke rumahnya di Meester Cornelis, kabar duka datang; Henri Theodore d’Hollosy, anak lelakinya, meninggal di kamp tawanan perang di Hakodate, Jepang, pada 12 Desember 1942.