Raja Belanda Willem-Alexander Resmi Minta Maaf atas Perbudakan Trans-Atlantik
- Dua organisasi; Black Manifesto dan The Black Archives menggelar aksi protes dan menuntut kompensasi bagi keturunan budak.
- Pemerintah Belanda meyediakan 200 juta euro, atau Rp 3,2 triliun, untuk menangani warisan perbudakan.
JERNIH — Raja Belanda Willem-Alexander, Sabu 1 Juli, resmi meminta maaf atas peran negaranya dalam perbudakan era kolonial.
Permintaan maaf itu disampaikan dalam pidato bersejarah yang disambut sorak-sorai pengunjung dan peserta Perayaan Keti Koti — kata dalam Bahasa Suriname yang artinya Memutus Rantai — di Amsterdam.
Pidato Raja Willem-Alexander mengikuti langkah PM Mark Rutte tahun lalu. Namun pidato kepala negara Kerajaan Belanda ini menjadi bagian paling penting dalam sejarah kolonial Barat.
Dalam pidato penum emosional, Raja Willem merujuk kembali permintaan maaf PM Rutte dengan mengatakan; “Hari ini saya berdiri di hadapan Anda. Hari ini, sebagai raja Anda dan anggota pemerintah, saya menyatakan meminta maaf. Saya merasakan beban kata-kata di hati dan jiwa saya.”
Raja Willem juga mengatakan telah menutaskan sejumlah pakar untuk mengadakan studi tentang peran Keluarga Orange van Nassau dalam perbudakan.
Suara Raja Willem terdengar pecah karena emosi saat dia menyelesaikan pidatonya, sebelum meletakan karangan bunga di monumen perbudakan nasional di sebuah taman di Amsterdam.
Perbudakan dihapuskan di Suriname dan koloni Belanda di Karibia pada 1 Juli 1863, tapi praktek itu masih berlangsung sampai sepuluh tahun kemudian. Ribuan orang dipekerjakan di perkebunan tanpa dibayar, dan dibiarkan kelaparan.
Tidak Cukup
Faktanya, praktek perbudakan di Suriname dan Karibia berakhir 1 Juli 1873. Setelah itu diadakan peringatan setiap tahun untuk mengenang akhir penderitaan panjang itu.
Penelitian yang dipublikasian bulan lalu menyebutkan leluhur Raja Willem-Alexander; Willem III, Willem IV, dan Willem V, memperoleh kekayaan setara 545 juta euro, atau Rp 8,9 triliun, saat ini dari bisnis perbudakan.
Ketika PM Rutte meminta maaf Desember 2022, pemerintah Belanda tidak lagi menawarkan kompensasi kepada keturunan budak. Sebagai gantinya, Belanda meyediakan 200 juta euro, atau Rp 3,2 triliun, untuk menangani warisan perbudakan di Belanda dan negara bekas jajahan. Dana sebanyak itu akan digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Jumlah itu dianggap tidak cukup. Dua kelompok pembela hak-hak keturunan budak; Black Manifesto dan The Black Archives, mengorganisir pawai protes sebelum Raja Willem-Alexander berpidato. Kedua organisasi itu meneriakan kalimat; “Tidak ada penyembuhan tanpa perbaikan.”
Mitchel Esajas, direktur The Black Archives, mengatakan; “Permintaan maaf saja tidak cukup. Permintaan maaf harus dikaitkan dengan bentuk perbaikan, keadilan atau reparasi.”
Pengunjuk rasa mengenakan pakaian tradisional warna-warni dalam perayaan penghapusan perbudakan di Suriname. “Dulu, orang yang diperbudak dilarang pakai sepatu dan pakaian warna-warni,” kata penyelenggara protes.
Belanda kali pertama terlibat perdagangan budak trans-Atlantik akhir 1500-an, dan menjadi pemain utama pada pertengahan 1600-an. Akhirnya Perusahaan Hindia-Barat Belanda menjadi pedagang budak trans-Atlantik terbesar, kata Kawan Fatah Black — pakar sejarah kolonial Belanda dan asisten profesor Universitas Leiden.