Demokrasi yang kita hadapi saat ini adalah demokrasi barbar. Kekuasaan Jokowi berusaha mengontrol arah kekuasaan ke depan, dengan alasan keberlanjutan pembangunan. Meskipun mungkin mayoritas rakyat lebih percaya cawe-cawe Jokowi lebih kepada kepentingan dirinya sendiri dan anak mantunya, faktanya Jokowi mampu memainkan peranan besar dalam mendukung arah koalisi parpol-parpol.
Oleh : Syahganda Nainggolan*
JERNIH–Banyak sekali pertanyaan masuk ke saya tentang Anies, benarkah dia pengkhianat? Atau melakukan pengkhianatan dalam perjuangannya? Bagaimana dia mau mengusung tema perubahan kalau dia sendiri karakternya khianat?
Pertanyaan-pertanyaan di atas terkait dengan berbagai pemberitaan adanya kesepakatan Surya Paloh dan Muhaimin Iskandar untuk membangun aliansi memenangkan Anies Baswedan ke depan.
Kesepakatan ini, menurut Partai Demokrat (PD), melanggar kesepakatan tertulis dalam Koalisi Perubahan dan Perbaikan (KPP) tentang kriteria pendamping Anies serta kesepakatan tidak tertulis, bahwa Anies sudah menyampaikan kepada SBY dan petinggi parpol koalisi bahwa AHY adalah pendamping dia ke depan.
Apakah benar Anies pengkhianat?
Partai Demokrat tentu saja boleh marah dengan langkah politik terbaru yang dilakukan sepihak oleh Surya Paloh. Namun, sebuah kemarahan harus ditempatkan dalam “circumstance” politik yang ada, sebuah lingkungan politik bejat dan penuh ancaman. Pada konteks yang tepat, tentu sebuah langkah “sampul” dari sebuah koalisi bisa dimengerti dalam kecanggihan desain dan strategi.
Tiga hal berikut ini perlu menjadi pertimbangan agar koalisi perubahan tetap bersatu dan terus membangun soliditas. Pertama, langkah politik oposisi dalam membangun poros perubahan adalah untuk mendukung perubahan itu sendiri. Perubahan itu utamanya ada pada Anies Baswedan sebagai calon presiden. Sedangkan parpol penduduk Anies dapat bermanuver di antara isu perubahan (oposisi) dan mendukung pemerintah atau kebijakannya. Nasdem, meskipun secara terbuka mengatakan kehilangan harapan pada Jokowi, untuk membangun Indonesia yang maju dan berkeadilan, sebagaimana diutarakan Surya Paloh, di Apel Akbar Nasdem (16/7) di GBK, tetap saja Nasdem melakukan langkah-langkah “dua kaki” terhadap Jokowi. Demokrat sendiri, ketika dihantam “istana” terkait pengambilalihan paksa partainya oleh Moeldoko, Demokrat tidak menghujat Jokowi, melainkan sekadar Moeldoko. Bahkan, saat yang sama Demokrat mendukung pemindahan ibukota IKN ke Kalimantan.
Dengan penjelasan di atas, maka dapat dipastikan, jika Nasdem dan atau parpol pendukung lainnya tetap mendukung Anies, tidak terjadi pengkhianatan atas cita-cita perubahan. Justru, jikalau parpol pendukung Anies pindah haluan mendukung capres lainnya, itu yang disebut sebagai pengkhianatan.
Kedua, dalam circumstances atau ruang politik yang kotor serta penuh kekejian, segala sesuatu memang tidak dapat diungkapkan lebih awal. Hanya beberapa jam setelah Anies diumumkan Nasdem sebagai capres, Golkar atau Airlangga misalnya, berusaha memberikan sinyal untuk berkoalisi. Begitu juga ketika apel akbar Nasdem di GBK, petinggi Golkar menghadiri acara tersebut. Terakhir waktu lalu kabar berkembang pertemuan Anies dan Airlangga secara sembunyi-sembunyi, akhirnya kita ketahui bersama Airlangga hampir digulingkan oleh kekuatan kekuatan anti perubahan yang berkuasa.
Demokrasi yang kita hadapi saat ini adalah demokrasi barbar. Kekuasaan Jokowi berusaha mengontrol arah kekuasaan ke depan, dengan alasan keberlanjutan pembangunan. Meskipun mungkin mayoritas rakyat lebih percaya cawe-cawe Jokowi lebih kepada kepentingan dirinya sendiri dan anak mantunya, faktanya Jokowi mampu memainkan peranan besar dalam mendukung arah koalisi parpol-parpol.
Dalam situasi seperti ini, sesungguhnya, kita harus melihat, manuver Nasdem yang berhasil merangkul Muhaimin, sebuah partai yang berbasis Nahdatul Ulama, adalah keberhasilan besar. Kenapa? Karena meyakinkan Muhaimin untuk tidak takut dikriminalisasi oleh kekuatan rezim Jokowi adalah pekerjaan berat. Ini hanya mungkin bisa karena dalam diri Muhaimin juga ada bibit keberanian. Dan ini berasal dari sejarah Muhaimin sebagai aktifis gerakan pro demokrasi di era Orde Baru.
Sebagai catatan, untuk yang tidak mengikuti sejarah Surya Paloh, perlu saya sampaikan sedikit tambahan bahwa Surya Paloh juga termasuk sosok kritis terhadap Orde Baru. Surya Paloh, dibantu oleh Todung Mulya Lubis, sering mengumpulkan aktivis anti Orde Baru di kantornya. Di mana saya pernah diundang. Surya Paloh sendiri pernah mendirikan media oposisi, “Prioritas”, di era Suharto.
Pada satu kesempatan, Syamsir Siregar, kepala Badan Intelijen TNI (BAIS), sebagaimana diceritakan pada saya, pernah diperintahkan Panglima ABRI/TNI, Faisal Tanjung, untuk menangkap Surya Paloh atas kejahatan melawan Suharto. Untung Syamsir Siregar memberi “pintu damai” kepada Surya Paloh. Dengan sosok seperti ini, tentu saja Paloh boleh merasa paling senior dalam urusan demokrasi dan kebebasan politik.
Penjelasan tentang situasi lingkungan politik yang ada seperti dijelaskan di atas tentu membuat kita faham adanya langkah-langkah strategis yang tidak semuanya harus dijelaskan di depan. Memang, tentu saja perlu dijelaskan kemudian. Agar mitra koalisi dapat mengerti. Pernyataan terbaru dari Surya Paloh diberbagai media menyebutkan bahwa “Anies-Muhaimin” belum diformalkan. Ini tentu menjadi penjelasan yang baik bagi soliditas ke depan.
Ketiga, argumentasi penting ketiga adalah kemenangan kaum perubahan. Sebagai tokoh reformasi dan tokoh Islam, Anies telah menempatkan dirinya pada sosok pemimpin kharismatik yang mampu mendominasi semua capres kompetitor. Namun, fakta menunjukkan, dengan koalisi ramping yang tersedia, Anies ketinggalan dalam elektabilitas di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berbagai survei menunjukkan Anies mengalami ketertinggalan akibat peta sosiologis kita yang terbelah.
Anies menguasai “Islam identitas”, Ganjar menguasai ” Nasionalis Sekuler ” dan Prabowo atas dukungan Muhaimin/PKB, mendominasi komunitas “Islam Tradisional”. Dalam situasi demikian, Anies bisa saja bertahan dalam perang segitiga kekuatan sosiologis masyarakat kita. Tapi, apakah kita tidak merasa lebih baik ketika kekuatan Islam tradisional, setidaknya dalam naungan PKB, berbagi masa depan dengan pendukung Anies?
Tentu saja ada keraguan arah perubahan dengan masuknya Muhaimin/PKB dalam poros perubahan. Namun, jika Anies-Muhaimin menjadi pasangan, tentu arah perubahan tetap terjadi. Oleh karena, Muhaimin dan barisannya adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan bangsa kita.
Penutup
Saya telah berpartisipasi dalam menuangkan pikiran ini untuk meluruskan isu-isu pengkhianatan. Menyebutkan pengkhianat atau pengkhianatan adalah kesalahan besar jika itu terus dipertahankan. Kita melihat beban sejarah yang dipikul pengusung perubahan sudah demikian besar. Seringkali persoalan strategis menjadikan komunikasi antar kelompok terganggu. Surveillence atau pengintelan terjadi di mana-mana. Kekuasaan berusaha mendominasi semua ruang publik dan ruang politik yang ada. Sebuah strategi hanya bisa berjalan kalau ada kepercayaan. Sebuah pengkhianatan hanya bisa dikatagorikan valid atau absah jika Nasdem atau parpol pendukung lainnya meninggalkan Anies.
Kehadiran Muhaimin Iskandar dalam jajaran koalisi pendukung Anies Baswedan harus dimaknai sebagai keberhasilan merangkul lawan, menjadi teman. Apalagi Muhaimin membawa gerbong besar, kaum Nahdlatul Ulama. Sebaiknya kita menyebutkan “Ahlan Wa Sahlan Muhaimin Iskandar”. Mari bersama menyongsong perubahan. [ ]
*Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle