Rafael Granada Baay, Kisah Panglima Penjaga Marwah Brawijaya
Dalam pertemuan itu, saya perhatikan sikap Rafael kepada Doni Monardo tidak berubah, seperti laiknya sikap prajurit komando terhadap komandannya. Dalam kesempatan itu, Doni tak lupa menanyakan kabar, serta memberikan nasihat-nasihat layaknya seorang ayah kepada anak.
Oleh : Egy Massadiah*
JERNIH– Inilah yang terjadi jika “kakak-beradik” terlibat seremoni serah terima jabatan. Alih-alih tegang, keduanya malah menyisipkan senda-gurau yang mencairkan suasana.
Tersebutlah, Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Jenderal TNI Maruli Simanjuntak M.Sc., memimpin upacara serah terima jabatan (sertijab) enam jabatan strategis di lingkungan TNI AD, di Markas Besar Angkatan Darat, Jakarta, Selasa (12/12/2023). Salah satunya yaitu mantan Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) Mayjen TNI Rafael Granada Baay yang kini resmi menjabat Pangdam V/Brawijaya. Pengganti Rafael sebagai Dan Paspampres adalah Mayjen TNI Achiruddin Darodjat.
Adapun Rafael menggantikan Mayjen TNI Farid Makruf M.A. yang menempati pos baru sebagai Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kas Kostrad), menggantikan Mayjen TNI Muhammad Saleh Mustafa yang saat ini menjabat Pangkostrad.
Maruli dan Rafael ibarat “abang-adik”. Keduanya dekat sejak dari Lembah Tidar (Akademi Militer), hingga penempatan tugas sama-sama di Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Maruli adalah lulusan Akmil tahun 1992, sedangkan Rafael merupakan adik lichting, lulusan 1993.
Usai seremoni, Jenderal Maruli pun melemparkan kelakar yang membuat keduanya tertawa-tawa. “Rafael, ingat ya, sekarang kamu bukan Komandan Paspampres, tapi Pangdam. Bedakan, jangan kamu ngejar-ngejar mobil pengawal kepresidenan. Sekarang kamu Pangdam. Kamu yang tunggu mobil datang, baru naik. Jangan ketuker,” ujar Maruli disusul pecah tawa keduanya.
Usai reda canda-tawa, berkata takzim Rafael kepada Maruli sang senior, “Siap Bang. Mohon doanya.”
Riwayat Rafael
Rafael sendiri adalah seorang perwira tinggi Angkatan Darat yang moncer. Sebagian besar kariernya dihabiskan bersama Kopassus. Mulai dari Dan Unit hingga Komandan Grup 2 Kopassus (2015 – 2016).
Saat dilantik menjadi Dan Grup 2, Mei 2015, saya beruntung hadir di Solo, Jawa Tengah. Rafael menggantikan Kolonel Richard Taruli Horja Tampubolon (sekarang Letnan Jenderal, dengan jabatan Pangkogabwilhan 3)
Dua tahun kemudian ia keluar markas baret merah, dan bertugas di tanah kelahiran saya: Sulawesi Selatan sebagai Danrindam VII/Wirabuana (2016—2017), kemudian Danrindam XIV/Hasanuddin (2017—2019). Tampaknya dua jabatan sama di institusi yang berbeda, padahal sejatinya tidak. Untuk diketahui, nama Kodam VII/Wirabuana diubah menjadi Kodam XIV/Hasanuddin pada tahun 2017. Upacara peresmian perubahan nama itu berlangsung tanggal 12 April 2017, dipimpin Kasad (ketika itu) Jenderal TNI Mulyono.
Nah, dari Makassar, Rafael bergeser menjadi Komandan Korem (Danrem) 074/Warastratama di Solo (2019 – 2020). Di Kota Bengawan itu, silaturahmi saya dengannya kembali terajut.
Momennya bersamaan dengan tugas saya sebagai tenaga ahli BNPB menemani Kepala BNPB, Doni Monardo. Kami terbang ke Solo, kemudian jalan darat ke Boyolali, menghadiri pemakaman mantan Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, Senin 8 Juli 2019.
Dalam pertemuan itu, saya perhatikan sikap Rafael kepada Doni Monardo tidak berubah, seperti laiknya sikap prajurit komando terhadap komandannya. Dalam kesempatan itu, Doni tak lupa menanyakan kabar, serta memberikan nasihat-nasihat layaknya seorang ayah kepada anak.
Keduanya sangat akrab. Tidak ada kekakuan. Orang akan maklum, jika mengetahui, bahwa keduanya pernah sama-sama bertugas di medan operasi atau tugas khusus di Aceh.
Selain itu, Doni Monardo adalah atasan langsung Rafael di Kopassus (2014 – 2015). “Beliau Danjen Kopassus, saya Asintel Danjen Kopassus,” tutur Rafael.
Di lain waktu, kabar bahagia datang darinya. Pecah bintang di pundaknya menjadi Brigadir Jenderal. Ia pun menempati pos baru sebagai Aspotwil Kaskogabwilhan I (2019-2021). Dunia dilanda COVID-19. Dalam konteks itu pula, kelak saya bertemu lagi dengannya di Tanjung Pinang.
Ceritanya, saya teruskan di bagian bawah nanti. Agar urut-urutan tugas tak terputus, saya lanjutkan ke karier Rafael selanjutnya, yakni sebagai Direktur H Bais TNI (2021—2023). Sekali waktu, suatu malam di bulan Maret 2022, kami berjumpa di tepi sungai Ciliwung menyeruput kopi nikmat bersama sobat seangkatannya Mayjen Mohamad Hasan, sekarang Pangdam Jaya.
Februari 2023, satu bintang lagi bertengger di pundak Rafael, dengan jabatan prestisius sebagai Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Dan Paspampres).
Seminggu setelah dilantik, usai shalat Jumat bersama di mesjid Mako Paspampres, di Tanah Abang, saya pun diajak masuk ke ruangannya. Bungkusan nasi kapau kami selesaikan dengan lahap.
Selama 10 bulan memimpin korps “Setia Wapada” itu, Rafael mencatat telah melakukan pengawalan di 94 kota di seluruh Indonesia, dan 21 negara. “Selama 10 bulan itu, tercatat Indonesia menjadi tuan rumah untuk tiga Konferensi Tingkat Tingggi atau KTT,” ujar Rafael saat acara pisah sambut di Ruang Pelangi Mako Paspampres Tanah Abang 19 Desember 2023.
Mari kita coba berhitung. Jika Presiden Joko Widodo, dalam kunjungan ke satu kota, anggaplah ada empat titik agenda dikunjunginya. Itu artinya, tak kurang dari 384 kegiatan pengawalan melekat yang Rafael lakukan selama menjabat Dan Paspampres. Bisa jadi lebih banyak dari angka di atas jika ada dinamika di lapangan.
Rafael merasa beruntung, karena sebelum menduduki jabatan Dan Paspampres, para senior telah memberi tahu ihwal kinerja Jokowi. Salah satunya adalah petuah Jenderal TNI Maruli Simanjuntak, Kasad yang pernah menjabat Dan Paspamres (2018 – 2020).
Apa yang diperintahkan Jokowi, sama seperti perintah Jokowi kepada Maruli sebelumnya. Yakni bagaimana caranya melakukan pengawalan yang aman tapi tetap nyaman.
“Kelihatannya sederhana, tetapi praktiknya tidak mudah. Sebab, dalam Protap pengawalan terkadang untuk mengedepankan aspek keamanan, harus mengorbankan kenyamanan. Sebaliknya, jika mengedepankan kenyamanan, terkadang harus mengendorkan keamanan. Sebuah seni pengawalan yang unik, tetapi itu yang harus saya lakukan,” papar Rafael.
Jejak Pangdam Brawijaya
Sampai di situ, kisah Rafael kembali ke alinea pertama tulisan ini. Momen saat dirinya dilantik menjadi Pangdam V/Brawijaya. Sebuah Kotama yang memiliki teritori Jawa Timur, dan kesohor karena prestasinya.
Panglima Besar Jenderal Soedirman berkata, “Kami tentara Republik Indonesia akan timbul dan tenggelam bersama negara”. Masih mengutip Jenderal Soedirman, ketika berpidato 1 Januari 1948 di Yogyakarta, juga menegaskan, “Bahwa kemerdekaan satu negara, yang didirikan di atas timbunan runtuhan ribuan jiwa-harta-benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia siapa pun juga”
Kalimat-kalimat petuah Jenderal Soedirman itu dipatrikan di halaman depan website Kodam V/Brawijaya. Itu semua menggenapi sesanti “Bhirawa Anoraga” yang artinya “gagah perkasa tetapi rendah hati”.
Panglima Kodam V/Brawijaya Mayjen TNI Rafael Granada Baay pun menggumamkan dan tentu mempraktekkan slogan dimaksud.
Pria kelahiran Tidore, Maluku Utara, 25 Juni 1971 itu adalah Pangdam Brawijaya yang ke-42. Di deretan nama Pangdam sebelumnya, terdapat sejumlah jenderal yang disegani. Pangdam pertama misalnya, Kolonel Inf Sungkono, salah seorang tokoh dalam peristiwa 10 November 1945.
Pangdam ke-7 adalah Brigjen TNI Basuki Rachmat (terakhir berpangkat mayor jenderal). Ia adalah salah satu tokoh penting lahirnya Orde Baru. Bersama-sama M. Jusuf dan Amirmachmud, menghadap Presiden Sukarno di Istana Bogor dan meminta Bung Karno menyerahkan tugas pemulihan keamanan kepada Soeharto. Peristiwa itu dikenal sebagai lahirnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966).
Pangdam ke-9, Brigjen TNI Soemitro, terakhir berpangkat jenderal.
Pangdam ke-12 ada nama Mayjen TNI Widjojo Soejono, terakhir pangkat jenderal. Ia adalah panutan korps baret merah. Terkenal dengan semboyan “Bhayangkari negara baru berhenti berjuang jika tidak lagi mampu mendengar tembakan salvo di samping telinga.”
Tentu, masih berderet nama besar lain.
Inspirasi Brawijaya
Kodam yang lahir dari Divisi I Jatim ini terbentuk pada 17 Desember 1948. Divisi ini tersusun dari unsur-unsur yang merupakan anak kandung perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Kebesaran nama Kodam V/Brawijaya tak lepas dari nama Brawijaya sang raja Majapahit yang terkenal karena keberhasilannya mempersatukan Nusantara. Semboyan “Bhirawa Anoraga” yang artinya gagah perkasa tetapi rendah hati, menjadi napas prajurit Brawijaya.
Dalam banyak hal, Majapahit dijadikan tombak eksistensi negara kesatuan Republik Indonesia. Sebab, Kerajaan inilah yang berhasil menguasai seluruh wilayah Nusantara. Bahkan, sumpah palapa patih Majapahit, Gajah Mada pula yang mengilhami pataka negara merah-putih. Kebesaran latar belakang sejarah, serta ketokohan para panglima terdahulu itulah yang turut membesarkan nama Kodam V/Brawijaya,
“Karenanya, menjadi Pangdam Brawijaya adalah sebuah kehormatan bagi saya. Kotama ini harus tetap berkontribusi aktif dan positif bagi pembangunan bangsa dan negara. Keteladanan para senior, harus menjadi cambuk sekaligus cermin dalam mengemban tugas,” tekad Rafael yang juga seorang master di bidang Ilmu Manajemen itu.
Ia kini memimpin satuan wilayah, satuan tempur dan bantuan tempur, serta satuan pendidikan. Untuk satuan wilayah, Kodam V/Brawijaya membawahkan empat Komando Resort Militer (Korem). Masing-masing Korem 081/Dhirotsaha Jaya (DSJ) di Madiun, Korem 082/Citra Panca Yudha Jaya (CPYJ) di Mojokerto. Korem 083/Baladhika Jaya (BDJ) di Malang, dan Korem 084/Bhaskara Jaya (BJ) di Surabaya.
Untuk Satuan Tempur dan Bantuan Tempur, memiliki satu brigade, delapan batalyon dan satu kompi kavaleri. Sedangkan, untuk Satuan Pendidikan, selain Rindam V/Brawijaya, terdapat dua sekolah dan tiga depo pendidikan.
Kenangan tugas
Sebagai prajurit, tentu Rafael memiliki banyak kenangan tugas. Semua tugas itu akhirnya membentuk karakteristik kepemimpinannya hari ini.
Contoh penugasannya dalam Ekspedisi Khatulistiwa tahun 2012 di Pulau Kalimantan. Kegiatan yang juga berkolaborasi dengan elemen masyarakat lain dan perguruan tinggi, itu beranggotakan 1.340 orang.
Mereka menyusuri 60 pos Indonesia di perbatasan Malaysia. Selama ekspedisi, mereka melakukan bakti sosial dan penanaman pohon di wilayah-wilayah lahan kritis. Usai kegiatan, Danjen Kopassus melakukan penanaman simbolis 2.000 pohon hasil sumbangan Kopassus di hutan kota UI, Depok.
Sehari sebelumnya, sebanyak 1.950 pohon telah ditanam oleh 120 prajurit Kopassus di Markas Kopassus Cijantung, Jakarta Timur. Kegiatan ini dipimpin langsung Rafael Granada Baay yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel dan menjabat Komandan Detasemen Markas Kopassus.
Selain itu, Rafael juga terlibat dalam Ekspedisi NKRI Koridor Kepulauan Nusa Tenggara tahun 2015. Saat itu, Danjen Kopassus dijabat oleh Mayjen TNI Doni Monardo. Itu adalah ekspedisi Kopassus yang kelima, sejak 2011. Ekspedisi sebelumnya dilakukan di wilayah Bukit Barisan (Sumatera), Khatulistiwa (Kalimantan), Maluku, dan Maluku Utara.
“Saya jadi terkenang almarhum Pak Doni Monardo,” kata Rafael, tiba-tiba. Setelah itu, ia berhenti bercerita. Lidah kelu, suara tercekat. Ia menunduk.
Sesaat kemudian, ia mulai lagi penuturannya. Kali ini ia fokus bicara tentang sosok senior sekaligus komandannya, Doni Monardo, yang wafat pada hari Minggu, 3 Desember 2023 lalu. “Beliau adalah panutan,” katanya dalam suara berat.
Doni adalah komandan yang keras, tetapi sangat perhatian terhadap anak buah. “Karena itu, meski tidak lagi berdinas di satu kesatuan, saya selalu memantau perkembangan beliau. Sesekali, saya juga menghubunginya. Ada semacam kebutuhan untuk selalu mendengar arahan-arahan beliau,” papar Rafael.
Alhasil, Rafael menjabat Aspotwil Kogabwilhan I yang bermarkas di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Dalam kapasitas sebagai Kepala BNPB dan Ketua Satgas Covid-19, Doni Monardo dan rombongan berkunjung ke Tanjung Pinang. Konteks acaranya adalah pengendalian Covid-19. Saat itu hadir sejumlah menteri dan pejabat daerah. Kisah ini adalah sambungan dari perjalanan karier Rafael saat pecah bintang menjadi Brigjen.
Di Tanjung Pinang, Rafael tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyambut Doni Monardo. Mereka bertemu dalam balutan masker dan pembatasan jarak (social distancing).
Saat rehat, Rafael keluar ruang transit bandara dan ngobrol dengan sejumlah anggota rombongan Doni Monardo. Saya ada di situ. Rafael antusias menceritakan pengalaman bagaimana kerasnya bimbingan Doni Monardo. “Beliau perfeksionis. Tidak ada kata tidak bisa. Kami semua digembleng untuk mengutamakan kemauan, tekad, dan kerja keras. Maka tidak ada yang tidak mungkin untuk kita lakukan,” ujarnya.
Saat ditanya, bagaimana terjemahan dari kalimat “kerasnya bimbingan” Doni kepada para prajuritnya, Rafael mendadak tertawa. “Dulu, kami benar-benar tegang dan takut kena semprot. Tapi sekarang saya mengenangnya dari sisi yang lucu. Beliau memang sosok yang unik,” katanya.
Doni, kata Rafael, sangat keras terhadap anakbuahnya yang berpangkat perwira. Sebaliknya, terhadap anak buahnya yang tamtama dan bintara, justru sangat kebapakan. Pernah satu kali, Doni menghadiri acara. Sesuai kebiasaan, paling lambat 30 menit sebelumnya dia sudah siap.
Sejenak ia menoleh ke kiri dan ke kanan, seperti mencari sesuatu. “Ajudan mana?” tanya Doni kepada para perwira.
Yang ditanya gelagapan. Doni pun melemparkan tegurannya kepada anak buah yang berpangkat perwira. “Cari!” tegasnya.
Para perwira sontak berhamburan mencari ajudan, yang kemudian didapati masih tidur di kamar penginapan. Tak lama kemudian, ajudan dan para perwira pun nongol. Lembut Doni menyapa ajudan yang berpangkat sersan itu, “He…he… ketiduran ya….?”
Seketika Rafael dan para perwira lain pun hanya saling pandang. Entah apa yang ada di pikiran masing-masing.
Selamat bertugas di bumi Brawijaya, Brader Rafael. [ ]
*Pegiat teater, budaya dan seorang wartawan senior