Crispy

Reporter Tanpa Rasa Malu: RSF Abaikan Pembunuhan Puluhan Jurnalis Palestina di Gaza

  • RSF hanya mencatat wartawan yang tewas saat bertugas. Di Gaza, Israel membunuh wartawan di rumah-rumah.
  • CPJ lebih fair mencatat wartawan Palestina dibunuh, dengan mencatat semua.

JERNIH — Akhir 2023, Reporters sans Frontier (RSF), atau Reporters Without Borders, atau Wartawan Tanpa Batas — organisasi internasional yang konon menganjurkan kebebasan informasi — merilis laporan tahunan memalukan. Laporan itu meremehkan pembunuhan wartawan Palestina dalam perang Israel-Hamas di Gaza.

Laporan berjudul Pengumpulan; 45 jurnalis di seluruh dunia terbunuh saat menjalankan tugas sama sekali tidak menyertakan nama-nama wartawan Palestina yang dibunuh Israel sepanjang 90 hari Perang Israel-Hamas.

Committee to Protect Journalists (CPJ) melaporkan, terhitung sampai 6 Januari 2024, sedikitnya 77 wartawan dalam perang Israel-Hamas. Tidak disebutkan apakah jumlah ini termasuk wartawan yang meliput di Tepi Barat dan Lebanon.

RSF melaporkan sampai 1 Desember 2023 hanya 13 jurnalis Palestina yagn terbunuh saat aktif melaporkan. Sedangkan laporan lain, terhitung sampai 1 Desember 2023, 56 jurnalis Palestina tewas dibom Israel jika memasukan wartawan yang terbunuh tidak dalam keadaan bertugas.

Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) melaporkan, terhitung sampai 1 Desember, jumlah wartawan Palestina yang tewas mencapai 73. Sindikat Jurnalis Palestina (PJS) juga melaporkan angka yang sama.

CPJ, dalam laporan sampai 20 Desember 2023, menyebutkan 71 jurnalis Palestina terbunuh. Berbeda dengan RSF, CPJ mencatat semua wartawan yang terbunuh; bertugas atau tidak.

Menurut CPJ, dalam sepuluh pekan pertama perang Israel-Hamas, jurnalis yang terbunuh jauh lebih banyak dari kematian wartawan di satu negara dalam satu tahun penuh. CPJ menyuarakan keprihatinan akan adanya pola nyata Israel menargetkan jurnalis dan keluarga mereka.

Tidak jelas bagaimana RSF membedakan keadaan mana yang tidak terbukti ada hubungan dengan tugas para jurnalis Gaza yang terbunuh, atau siapa yang secara aktif melaporkan ketika Gaza berada di bawah pemboman tanpa henti dan sering mengalami pemadaman Internet.

Faktanya, mengingat pemboman Israel tanpa henti di seluruh Gaza, hampir tidak mungkin mengetahui apakah jurnalis sedang melaporkan saat kematiannya.

Banyak jurnalis Palestina di Gaza menerima ancaman pembunuhan dari tentara Israel. Mereka terancam mati justru karena status mereka sebagai jurnalis. Banyak dari mereka yang diancam bunuh akhirnya terbunuh bersama anggota keluarga mereka.

Artinya, banyak wartawan Palestina tewas tidak dalam keadaan bertugas, tapi karena pekerjaan mereka. Israel tidak membunuh wartawan dalam bertugas, tapi membunuh karena status pekerjaan. Buktinya, Israel menjatuhkan bom di atas rumah-rumah wartawan.

Dalam perang-perang sebelumnya; 2009, 2012, 2014, dan 2021, Israel membom kantor-kantor media. Tahun 2021, misalnya, Israel menghancurkan dua gedung media untuk menghentikan aliran laporan.

Kini, Israel tidak hanya membom kantor media tapi juga rumah wartawan. Akibanya, wartawan tewas bersama orang-orang tercinta. Status wartawan menjadi bahaya tidak hanya bagi individu tapi keluarga.

Pada 15 Desember, PJS menyebut RSF terlibat dalam kejahatan perang Israel. RSF seolah diam ketika jurnalis Palestina dibunuh Israel. RSF menanggapi kecaman ini dengan mengatakan belum memiliki bukti atau indikasi yang cukup untuk menyatakan lebih 14 jurnalis Palestina tewas di Gaza hingga 23 Desember.

RSF mengatakan tuduhan PJS tidak masuk akal dan merusak reputasi organisasi. RSF akan menghukum PJS karena meragukan motif atau bertengkar karena jumlah.

“Pertengkaran mengenai jumlah adalah penolakan angkuh dari sebuah organisasi yang mendukung kekhawatiran atas jurnalisme yang menjadi sasaran,” kata RSF.

Back to top button