Sufi Sahl At-Tustari, Khusyu Beribadah Sejak Usia Tiga Tahun
Sikapnya itu membuat salah seorang muridnya tidak setuju dan berkata kepada Sahl. “Bukankah lebih baik apabila uang itu engkau terima sehingga bisa dapat menggunakannya untuk melunasi utang-utang kita?” “Apakah Engkau menginginkan emas?”tanya Sahl. “Saksikanlah olehmu!” Maka terlihatlah oleh si murid betapa seluruh padang pasir yang tengah mereka arungi dipenuhi emas dan permata. Sahl kemudian berkata,”Mengapakah seseorang yang telah memperoleh karunia Allah harus menerima pemberian hamba-hamba-Nya?”
JERNIH–Salah seorang wali sufi masyhur yang ditulis Fariduddin Aththar adalah Sahl bin Abdullah At-Tustari. Ada sekian banyak anekdot berkaitan dengan Sahl At-Tustari. Mulai dari ibadahnya yang khusyu sejak ia masih berusia tiga tahun, hingga kemampuannya berjalan di atas air. Beberapa di antaranya kita kaji bersama:
Penguasa saat itu, Amr bin Laits jatuh sakit dan semua tabib tidak berdaya untuk menyembuhkannya. Maka dikeluarkannya sebuah pengumuman yang berbunyi: “Adakah seseorang yang dapat menyembuhkan penyakit melalui doa?”
“Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari adalah seorang manusia yang makbul doanya,” kata orang-orang. Maka dimintalah pertolongan Sahl. Karena ingat perintah Allah yang berbunyi : “Turutilah perintah orang-orang yang memegang pemerintahan,” Sahl memenuhi permintaan itu.
Setelah duduk di depan Amr, berkatalah Sahl kepadanya,”Sebuah doa hanya makbul bagi seorang yang menyesal. Di dalam penjaramu ada orang-orang yang dihukum karena tuduhan-tuduhan palsu.”
Amr segera membebaskan orang-orang yang dimaksudkan Sahl itu dan kemudian ia bertaubat. Setelah itu barulah Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari berdoa : “Ya Allah, seperti kehinaan yang telah Engkau tunjukan kepadanya karena keingkarannya, maka tunjukan pulalah kepadanya Kemuliaan karena kepatuhanku. Ya Allah, seperti batinnya yang telah Engkau beri selimut taubat, maka berikan pulalah kepada raganya selimut kesehatan.”
Begitu Sahl selesai mengucapkan doa itu, Amr bin Laits segar bugar kembali. Banyak uang yang hendak diberikannya kepada Sahl, namun Sahl menolak dan segera meninggalkan tempat itu.
Sikapnya itu membuat salah seorang muridnya tidak setuju dan berkata kepada Sahl. “Bukankah lebih baik apabila uang itu engkau terima sehingga bisa dapat menggunakannya untuk melunasi utang-utang kita?”
“Apakah Engkau menginginkan emas?”tanya Sahl. “Saksikanlah olehmu!”
Maka terlihatlah oleh si murid betapa seluruh padang pasir yang tengah mereka arungi dipenuhi emas dan permata. Sahl kemudian berkata,”Mengapakah seseorang yang telah memperoleh karunia Allah harus menerima pemberian hamba-hamba-Nya?”
**
Setiap kali melakukan latihan mistik Sahl akan mengalami ekstase selama lima hari terus menerus dan selama itu pula ia tidak makan. Jika latihan itu dilakukannya di musim dingin, keringatnya mengucur dan membasahi pakaiannya.
Jika di dalam keadaan ekstase ini para ulama bertanya kepadanya, maka Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari akan menjawab : “Janganlah kalian bertanya kepadaku karena di dalam saat-saat mistis seperti ini kalian tidak akan dapat memetik manfaat dari diriku dan dari kata-kataku.”
**
Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari sering berjalan di atas air tanpa sedikit pun kakinya menjadi basah. Seseorang berkata kepada Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari, “Orang-orang berkata bahwa engkau dapat berjalan di atas air.”
“Tanyakanlah kepada muazzin di masjid ini,” jawab Sahl. “Ia orang yang dapat dipercaya.”
Kemudian orang itu mengisahkan : “Telah kutanyakan kepada si Muazzin dan ia menjawab : “Aku tak pernah menyaksikan hal itu. Tetapi beberapa hari yang lalu, ketika hendak bersuci, Sahl tergelincir ke dalam kulah, dan seandainya aku tidak ada di tempat itu niscaya ia telah binasa.”
Ketika Abu Ali bin Daqqaq mendengar kisah ini, ia pun berkata, “Sahl mempunyai berbagai kesaktian, tetapi ia ingin menyembunyikan hal itu.”
**
Pada suatu ketika Sahl duduk di dalam masjid, seekor burung dara jatuh dari udara karena udara yang terlampau panas. Menyaksikan hal ini Sahl berseru,”Syah al-Kiramni telah meninggal dunia!” Ketika diselidiki ternyata benarlah kata-katanya itu.
**
Singa-singa dan banyak binatang buas lain sering mengunjungi tempat kediaman Sahl. Sahl akan memberi makan dan merawat mereka. Sampai hari ini pun rumah Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari di Tutsar itu disebut orang sebagai “rumah binatang-binatang buas”.
**
Setelah lama bertirakat malam dan melakukan disiplin diri yang keras, kesehatan Sahl terganggu, ia menderita penyakit blennorrhoea yang parah, sehingga setiap sebentar ia harus ke kamar kecil. Karena itu ia selalu menyediakan sebuah guci di dekatnya.
Tetapi menjelang waktu-waktu shalat penyakit itu reda dan ia dapat bersuci dan melakukan ibadah. Apabila ia naik ke atas mimbar, ia sama sekali menjadi segar bugar tanpa keluhan sedikit pun.
Tetapi begitu ia turun dari mimbar, penyakit itu datang kembali. Walau dalam keadaan seperti ini tapi ia tak pernah melalaikan perintah Allah.
Menjelang ajalnya ia ditemani keempat ratus orang muridnya. Mereka bertanya kepada Sahl,”Siapakah yang akan duduk di tempatmu dan siapakah yang akan berkhotbah di atas mimbar sebagai penggantimu?”
Pada waktu itu ada seorang penganut agama Zoroaster yang bernama Syadh-Dil. “Yang akan menggantikanku adalah Syadh-Dil,”jawab Sahl, sambil membuka matanya.
“Syeikh sudah tidak dapat berpikir waras lagi,” murid-muridnya saling berbisik.
“Ia mempunyai empat ratus orang murid, semuanya orang-orang terpelajar dan taat beragama, tetapi yang diangkatnya sebagai penggantinya adalah seorang penganut Majusi.”
“Hentikan omelan-omelan kalian. Bawalah Syadh-Dil kepadaku,”teriak Sahl.
Murid-murid Sahl segera menjemput si Majusi itu. Ketika melihat Syadh-Dil berkata-lah Sahl kepadanya,”Tiga hari setelah kematianku, setelah shalat Ashar, naiklah ke atas mimbar dan berkhotbahlah sebagai pengantiku.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu Sahl menghembuskan nafas terakhirnya. Tiga hari kemudian setelah shalat Ashar, masjid semakin penuh sesak. Syadh-Dil masuk dan naik ke atas mimbar, semua orang melongo menyaksikannya.
“Apakah arti semua ini? Seorang penganut agama Zoroaster yang mengenakan topi Majusi dan sabuk pinggang Majusi!” teriak orang-orang.
Syadh-Dil mulai berkhotbah. “Pemimpin kalian telah mengangkat diriku sebagai wakilnya. Dia bertanya kepadaku,”Syadh-Dil, belum tibakah saatnya Engkau memutus sabuk Majusi dari pinggangmu?”
“Kini saksikanlah oleh kalian semua, akan kuputuskan sabukku ini.”
Dikeluarkannya sebuah pisau dan diputuskannya sabuk pinggang yang dikenakannya itu.
Kemudian Syadh-Dil meneruskan,“Pemimpin kalian kemudian bertanya pula,“Belum tiba kah saatnya engkau melepaskan topi Majusi dari kepalamu?”
“Kini saksikanlah oleh kalian semua, kulepaskan topi ini dari kepalaku.”
Kemudian Syadh-Dil berseru,”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Syeikh juga menyuruhku untuk mengatakan kepada kalian,”Dia yang menjadi Syeikh dan guru kalian telah memberikan nasehat yang baik kepada kalian, dan kewajiban seorang murid adalah menerima nasehat gurunya. Saksikanlah oleh kalian betapa Syadh-Dil telah memutuskan sabuknya yang terlihat. Jika kalian ingin bersua dengan aku di hari Hari Berbangkit nanti, kepada setiap orang di antara kalian aku serukan, putuskanlah sabuk di dalam hatimu!”
Semua jamaah gempar ketika Syadh-Dil selesai berkhotbah, dan manifestasi-manifestasi spiritual yang mengherankan terjadilah.
**
Ketika jenazah Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari diusung ke pemakaman, jalan-jalan penuh sesak dengan manusia. Pada waktu itu di Tustar ada seorang Yahudi yang berusia 70 tahun. Ketika mendengar suara orang ramai itu ia pun berlari keluar rumahnya untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi.
Ketika rombongan itu lewat di depannya, si Yahudi tua berseru,“Kalian lihatkah apa yang aku lihat? Malaikat-malaikat turun dari langit dan mengelus-ngeluskan sayap mereka ke peti matinya.” Seketika itu juga ia mengucapkan syahadah dan menjadi seorang Muslim. [dsy] Dari “Tadzkiratul Auliya”, karya Fariduddin Aththar