SolilokuiVeritas

Pertempuran Terakhir Lelogama

Perbuatannya menghina jutaan pejuang yang gugur melawan kolonial Belanda. Ironisnya, Amir ditetapkan sebagai pahlawan nasional RI  berdasarkan Keppres Nomor 123/TK/Tahun 2018 pada 6 November 2018.

Oleh     :  Linda Christanty*

JERNIH– Padang Lelogama terbentang hingga kaki Gunung Timau dan berada di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut. Dari kota Kupang, NTT, saya menempuh jarak sekitar 100 kilometer untuk sampai di sana, tempat paling bersejarah dalam perang Timor melawan Belanda.

Lelogama di abad ke-19  adalah medan pertempuran terakhir Bakikooi atau Baki Koi melawan kekuatan penjajah.  Ia gugur dibunuh Amir, orang buangan dari Pulau Bangka yang menjadi kaki tangan Belanda di Timor. 

Guru besar Ilmu Sejarah dari Universitas Gadjah Mada, Bambang Purwanto, menegaskan dalam tulisannya, “Dari Pahlawan Menjadi Kolaborator Penjajah“, yang dimuat Kompas, 3 Februari 2023, bahwa “Amir berhasil memenggal kepala sang raja dan kemudian menyerahkannya kepada Syekh Wiryodikromo (Johan Wahyudi: 2018).” Purwanto menulis Bakikooi adalah “salah satu penguasa Timor yang bernama Raja Bakikooi.”

Pos Belitung, 9 November 2018, memuat kesaksian Balkis Soraya Tanof, ahli waris Hamzah Bahren, adik kandung Amir, yang memperkuat penjelasan Purwanto. Soraya menyatakan, “Depati Amir dan Hamzah dengan beberapa anak murid pengajian berangkat ke Lelogama untuk bertempur dengan Raja Baki Koi.” Ia menegaskan, “Pemerintah Belanda meminta bantuan keduanya untuk menaklukkan Kerajaan Baki Koi, yang mempunyai laskar terkuat di Pulau Timor.”

Perbuatan Amir bertentangan dengan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang difatwakan oleh KH Hasyim Asy’ari dan kegigihan Panglima Besar Soedirman memimpin perang melawan Belanda dengan paru-paru tinggal sebelah untuk mempertahankan kemerdekaan RI yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Perbuatannya menghina jutaan pejuang yang gugur melawan kolonial Belanda. Ironisnya, Amir ditetapkan sebagai pahlawan nasional RI  berdasarkan Keppres Nomor 123/TK/Tahun 2018 pada 6 November 2018.

Perlawanan Bakikooi terekam pada dokumen primer Inventaris Arsip Timor yang diterbitkan ANRI pada 1998. Penyusunan Inventaris Arsip Timor dipimpin sejarawan dan arsiparis Mona Lohanda. Di bulan Juli 1855 tertera keterangan: “Masih tentang Takaip yang Fettor-nya bersama penduduk di Soengei Leo tidak rela tunduk kepada kekuasaan Belanda.” Pada April 1856, Bakikooi membangun benteng pertahanan dengan bantuan kepala-kepala negeri Takaip.

Gubernur Jenderal Charles Pahud memerintahkan ekspedisi militer terbesar di Timor untuk mematahkan perjuangan Bakikooi. Ekspedisi militer itu dimulai pada 26 Juli 1857 dengan melibatkan pasukan yang terdiri dari orang Eropa, Afrika, dan bumiputra pro-kolonial. Dua kapal perang uap (Amsterdam dan Merapi) dikerahkan. Enam kapal dagang dialihfungsikan untuk berperang, lalu salah satu kapal dijadikan kapal rumah sakit. Pada 28 Agustus 1857, pasukan Belanda sampai di Batoe Soeme Leo untuk menangkap Bakikooi, tetapi gagal.

Dokumen primer lain, yaitu laporan Rochussen, menteri negara urusan jajahan, yang disampaikan kepada Raja Belanda Willem III (1849-1890) pada 21 Januari 1860 di Den Haag dan disebut “laporan pengelolaan dan keadaan harta benda Hindia Timur tahun 1857” (verslag  van het beheer en den staat der Oost-Indische bezittingen over 1857) juga memuat uraian detail tentang perjuangan Bakikooi dan upaya militer kolonial untuk mematahkannya. Laporan ini dapat diakses melalui perpustakaan digital Jerman, Deutsche Digitale Bibliothek.

Dari laporan itu diketahui bahwa Gubernur Jenderal menggunakan cara-cara militer, karena “Fettor Takaip makin menjadi“.  Penyelesaian damai gagal. Tak hanya melawan kolonial, Bakikooi bahkan “mengancam” Sonnebait Agung agar jangan bernegosiasi dengan Belanda. 

Para misionaris yang dikirim pemerintah kolonial pada 18 Agustus 1857 untuk “menaklukkan” Bakikooi pun gagal. Bakikooi diperkirakan ke Kupang pada 10 November 1859, tetapi perkiraan ini salah total.  Dalam Inventaris Arsip Timor tercatat situasi di bulan Desember 1859:  “berita tentang Bakikooi yang mau datang ke Kupang tidak betul.”  Bakikooi terekam terakhir kali dalam arsip bulan Oktober dan November 1863: ” … Diterima surat dari Groot Keizer van Sonnebait yang mau datang ke Kupang bersama putera-puteranya, Alphonsus dan Bakikooie.” Alphonsus adalah putra Sonnebait, tetapi Bakikooi tentu bukan putranya. Namun, tidak ada informasi tentang kedatangan Bakikooi ke Kupang. Ia adalah Raja Takaip, yang menolak tunduk kepada Belanda.

Perwira Belanda, Letkol A. Haga, memaparkan sebab lahirnya ekspedisi militer melawan Bakikooi pada 1857 dalam tulisannya, “De Mardjikers van Timor”,  yang dimuat Tijdschrift voor Indische Land-En Volkenkunde dan diterbitkan Bataviaasch Genootschap (Bagian XXVII, 1882).  

Pertempuran Lelogama berlangsung di kontur tanah yang tidak rata itu mirip dengan medan pertempuran Little Bighorn di Montana, Amerika Serikat. Pada 25 Juni sampai 26 Juni 1876, bangsa Lakota dan Cheyenne yang dipimpin Sitting Bull dan Crazy Horse melawan pasukan federal Amerika Serikat di Little Bighorn.  Rekonstruksi pertempuran tersebut menerapkan berbagai disiplin ilmu dan keahlian, sehingga mampu mengungkap kebenaran secara detail. Misalnya, fakta tentang proses kematian Kolonel George Amstrong Custer. Ia terbukti mati di atas tanah, bukan di punggung kuda. Padahal ia pemimpin pasukan kavaleri. Hal ini menandakan Custer dalam kondisi terkepung dan terpaksa turun dari kudanya untuk melawan. Kepalanya pun terbukti tidak dikuliti oleh bangsa Indian, sebagaimana kebiasaan mereka. Ia tetap dihormati meski seorang musuh.  Dari hasil rekontruksi diketahui bahwa pertempuran Little Bighorn sangat menentukan masa depan Amerika Serikat. Bangsa Indian dibasmi dan yang hidup dipaksa tinggal dalam reservasi. Tanah mereka dirampas.

Berkaca pada rekonstruksi pertempuran Little Bighorn, pemerintah RI dan TNI wajib memahami betapa penting pertempuran Lelogama bagi bangsa Indonesia hari ini. Pascakekalahan Bakikooi, orang Timor makin terpuruk dalam penjajahan dan Bakikooi dikriminalisasi pemerintah kolonial. Namanya terhapus dari sejarah perjuangan bangsa kita. Tidak satu pun jalan di Timor dinamai dengan namanya. [  ]

*Linda Christanty lahir di Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Ia jurnalis, sastrawan, dan pegiat budaya. Karya-karyanya terdiri dari fiksi dan non-fiksi. Sejumlah penghargaan telah diterimanya, antara lain Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori Buku Fiksi Terbaik (Kuda Terbang Maria Pinto, 2005 dan Rahasia Selma, 2010), Penghargaan Prosa Badan Bahasa-Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dan SEA Write Award 2013 dari Kerajaan Thailand. Bersama penyair Suriah Linda Abdel Baki, dia menerima Ishtar Award 2021 dari International Organization of Creativity for Peace di London, Inggris.

Back to top button