77 Tahun PBB: Organisasi Harapan Dunia dengan Empat Dosa tak Terampuni
- Bertahun-tahun PBB melulu menjadi senjata Departemen Dalam Luar Negeri AS.
- Akibatnya, PBB harus menanggung dosa Perang Korea, Tragedi Rwanda, Situasi Aneh Kamboja, dan Penghancuran Libya
JERNIH — Senin 24 Oktober adalah Hari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), atau hari pendirian organisasi antarpemerintahan. Selama 77 tahun, PBB terbukti mencapai tujuannya; mencegah Perang Dunia III, catatan lebih sederhana cukup mengecewakan.
“PBB adalah produk harapan,” kata Sekjen Antonio Guterres. “Harapan dan tekad setelah Perang Dunia II, untuk bergerak dari konflik menuju kerjasama global.”
Dibentuk sejak usai Perang Dunia II oleh kekuatan pemenang, PBB terbukti berperan membantu menyelesaikan, atau setidaknya, meredam puluhan konflik sipil, regional, dan global, dari perang Indo-Paksitan sampai konflik Arab-Israel yang abadi, konflik Perang Dingin selama 40 tahun antara Uni Soviet dan AS yang membuat planet ini sangat dekat dengan bahaya nuklir.
Melalui pendanaan melimpah dan hubungan diplomatik yang kuat, AS berusaha mengubah PBB dan lembaga-lembaga internasional menjadi senjata Departemen Luar Negeri, dengan harapan menciptakan Tatanan Dunia Baru unipolar pasca Perang Dingin. Upaya itu dikemukakan mantan presiden George W Bush pada akhir 1991.
Upaya itu belum sepenuhnya berhasil karena mayoritas negara di dunia, termasuki sekutu AS, menolak mendukung invasi Washingotn ke Iran tahun 2003. Sebagian besar negara-negara Selatan juga menolak upaya Barat mengutuk invasi Rusia ke Ukraina. Bahkan Washington berusaha menggertak mereka.
Berbeda dengan Liga Banga Bangsa, pendahulunya yang runtuh menjadi tidak relevan setelah Jerman menarik diri tahun 1933, PBB masih bisa menjadi otoritas internasional yang benar-benar representatif, dengan 193 negara mewakili 99 persen populasi dunia.
Ketahanan PBB berlanjut dan itu berkat Andrei Gromyko, diplomat Uni Soviet yang menjadi menteri luar negeri Perang Dingin. Ia mendapat instruksi mengabadikan hak veto ke dalam otoritas setiap dari lima anggota tetap Dewan Keamanan selama perundingan tentang pembentukan PBB.
Hak Veto itu menghentikan resolusi tentang masalah keamanan global menjadi kontes popularitas, dan mencegah organisasi berubah menjadi alat satu kekuatan atau blok mengejar kepentingan.
Pengaturan saat ini memungkinkan negara-negara menyampaikan keluhan langsung ke PBB, mendengar perspektif mereka, dan diharapkan menyelesaikan konflik sebelum menjadi besar.
Untuk konflik sedang berlangsung, PBB adalah platform utama mencapai gencatan senjata dan perjanjian damai atau setidaknya memfasilitasi pembicaraan pihak berkonflik.
Krisis Korea
Namun PBB tidak selalu menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian. Tujuh puluh dua tahun lalu, PBB menghadapi prospek sangat nyata setelah memberikan suara untuk campur tangan militer adlam krisis Korea atas perintah Washington.
Pada 27 Juni 1950, mengambil keuntungan dari boikot Uni Soviet terhadap Dewan Keamanan yang memprotes kursi Cina dipegang Kuomintang, AS dan sekutunya menabrak resolusi Dewan Keamanan yang mengizinkan pengerahan pasukan.
Lebih 370 ribu tentara dari 22 negara; AS, Inggris, Kanada, Turki, Australia, Filipina, dan lainnya, bertempur di bawah bendera PBB selama tiga tahun. Perang Korea merengut tiga juta jiwa, meratakan 85 persen infrastruktur Korea Utara, dengan jumlah bom lebih tinggi dari yang digunakan pada Perang Dunia II dan Perang Pasifik.
Setelah Cina terjun ke dalam konflik untuk membela Korut, Persiden AS Harry Truman mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir. Untuknya situasi tidak meningkat ke posisi itu. Pada Juli 1953, gencatan senjata ditanda-tangani di Desa Panmunjom.
Moskwa belajar dari semua ini, dan dalam beberapa dekade berikut PBB tidak pernah lagi diizinkan campur tangan langsung. Tidak ada pengerahkan pasukan dari berbagai negara di bawah bendera PBB.
Situasi Aneh Kamboja
Genosida Kamboja 1975-1979, dengan korban antara 1,5 sampai 2 juta jiwa, adalah contoh memalukan kapasitas PBB untuk berpuas diri serta bersikap dingin, menghitung realpolitik dan logikanya, serta jargon lama bahwa musuh dari musuhku adalah temanku.
Setelah menggulingkan pemerintahan Lon Nol, April 1975, Khmer Merah di bawah Pol Pot menduduki kursi di PBB. Ketika tahun-tahun berlalu dan bukti kebrutalan Pol Pot meningkat, terutama setelah militer Vietnam menggulingkan Khmer Merah tahun 1978, sikap keras kepala AS dan Cina di PBB menyebabkan situasi aneh (quagmire) di PBB.
PBB masih mengakui Khmer Merah sebagai penguasa Kamboja, bahkan setelah Pol Pot terusir dari Phnom Penh, Januari 1979.
Di bawah logika Perang Dingin, apa pun yang didukung Uni Soviet adalah buruk bagi Barat dan Cina. Washington dan Beijing terus mengibarkan bendera Khmer Merah di markas besar PBB di New York sepanjang 1980-an, untuk memastikan isolasi politik dan ekonomi bagi pemerintahan Heng Samrin yang didukung Vietnam.
Pada akhir 1991, Otoritas Transisi PBB di Kamboja dibentuk untuk mengimplementasikan Kesepakatan Perdamaian Paris, yang menandai akhirnya Perang Kamboja-Vietnam.
Tragedi Rwanda
Oktober 1993, Misi PBB untuk Rwanda (UNAMIR) diberi tahu tentang rencana ekstremis Hutu membantai Tutsi, dengan persediaan senjata tersebar di seluruh negeri.
Romeo Dellaire, komandan UNAMIR, mengajukan permintaan untuk campur tangan; merebut senjata Hutu untuk menghindari genosida. Permintaan itu ditolak atasan.
Dalam 100 hari, antara April-Juli 1994, lebih 800 ribu etnis Tutksi dibunuh secara sistematis. Dallaire akan selalu teringat bagaimana dunia menutup mata terahdap genosida terburuk sejak Perang Dunia II.
“Saya masih percay bahwa jika ada organisasi memusnahkan 320 gorila di Rwanda, dunia akan memprotes. Namun ketika ada upaya menghentikan genosida, dunia tidak melakukan apa-apa,” katanya pada ulang tahun PBB tahun 2019.
Dua dekade setelah genosida, kabel yang tidak diklasifikasi mengungkapkan bahwa Dubes AS untuk PBB Madeleine Albright mengirim pesan ke Departemen Luar Negeri untuk mendorong Washington menarik sebagian pasukan penjaga perdamaian PBB.
“Esktremis Hutu melihat ini sebagai lampu hijau dari AS untuk genosida,” kata Tom Blanton, direktur Arsip Keamanan Nasional Universitas George Washington.
Tipu Daya untuk Hancurkan Libya
Maret 2011, koalisi pesawat tempur NATO memulai kampanye pengeboman 222 hari di Libya. Alasannya, menegakan resolusi PBB yang memberlakuka zona larangan terbang di atas negara yang tengah dilanda konflik sipil paling brutal.
Serangan itu adalah intervensi militer untuk mendukung pemberontak melawan Muamar Khadafi. Pemboman berhasil, Khadafi digulingkan, ditangkap, disiksa, disodomi, dan dieksekusi, oleh pemberontak dukungan NATO pada Oktober 2011.
Bagaimana AS dan NATO mengikat Rusia dan Cina untuk menyetujui agresi ke Libya?
Sebagian disebabkan oleh kata resolusi, yang mencakup pembicaraan tentang pembentukan gencatan senjata, penghentian toal kekerasan dan semua serangan terhadap, dan pelanggaran, warga sipil.
Rusia, Cina, Brasil, Jerman, dan India, abstain. Moskwa dan Beijing menolak menggunakan hak veto yang akan memblokir serangan udara. Jika itu dilakukan NATO akan mencari alasan lain untuk agresinya.
Saat itu, Vladimir Putin adalah PM Rusia. Posisinya tidak memunginkan untuk mengambil keputusan tentang masalah kebijakan luar negeri. Ia hanya bisa mengatakan resolusi itu cacat, dan membandingkannya dengan seruan abad pertengahan untuk perang salib dengan mengivasi negara berdaulat.
Kekhawatiran Putin terbukti benar. Libya, yang pernah menjadi negara paling makmur dan maju di Afrika, berubah menjadi negara gagal yang dipenuhi pasar budak terbuka dan kegiatan teroris dalam semalam.
NATO menyaksikan kegagalan pembomannya dengan tidak pernah melihat pemberontak menjadi penguasa tunggal di Libya. Pemerintahan Libya tetap terpecah menjadi dua; pemerintahan Tobruk dan Pemerintah Kesepakatan Nasional di Tripoli.
PBB diundang untuk membantu rekonsoliasi politik nasional.