
Abu Shabab, yang memimpin kelompok Pasukan Populer (Popular Forces), menjadi sangat dibenci di kalangan Palestina sejak militannya bekerja sama dengan pasukan Israel dalam operasi darat di Rafah pada Mei 2024.
JERNIH – Pemimpin milisi Gaza yang secara luas dicap sebagai kolaborator Israel, Yasser Abu Shabab, dilaporkan tewas Kamis (4/12/2025) di Rafah. Kematiannya, yang menurut media Israel terkait dengan “perselisihan internal” dan aksi balas dendam, menutup babak kontroversial dalam konflik yang sedang berlangsung.
Abu Shabab, yang memimpin kelompok Pasukan Populer (Popular Forces), menjadi sangat dibenci di kalangan Palestina sejak militannya bekerja sama dengan pasukan Israel dalam operasi darat di Rafah pada Mei 2024.
Laporan mengenai kematian Abu Shabab saling bertentangan. Media Israel Ynet dan Channel 14, menyebut Abu Shabab tewas setelah baku tembak dipicu perselisihan antar-keluarga lokal, dengan satu laporan menyebutnya sebagai pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang bersenjata di timur Rafah.
Media Israel lainnya juga mengutip pejabat yang mengatakan Abu Shabab terluka serius dan meninggal di Rumah Sakit Soroka, Beersheba. Sementara milisi Abu Shabab sendiri mengklaim bahwa ia selamat dari insiden penembakan tersebut dan menyangkal keterlibatan Hamas.
Hingga berita ini ditulis, tidak ada pihak, baik Hamas maupun pejabat Israel, yang mengeluarkan pernyataan resmi, sehingga menimbulkan selubung misteri di balik insiden ini.
Siapa Yasser Abu Shabab?
Yasser Abu Shabab (lahir 1993) berasal dari suku Badui Tarabin dan memiliki catatan kriminal panjang, termasuk tuduhan perdagangan narkoba dan pencurian yang membuatnya dipenjara Hamas. Ia melarikan diri saat serangan Israel terhadap penjara-penjara Gaza dan muncul kembali di Rafah, di mana ia membangun jaringannya dengan dukungan Israel.
Abu Shabab menjadi simbol kolaborasi sejak Israel melancarkan operasi darat di Rafah. Kelompoknya terkenal di kalangan Palestina karena penjarahan bantuan kemanusiaan yang beroperasi di wilayah kendali penuh Israel. Mereka dituduh menjarah bantuan yang masuk ke Gaza selatan.
Kelompok ini juga terkenal sepanjang kepanjangan tangan keamanan Israel. Sumber-sumber yang dekat dengan Hamas menyebutkan bahwa Abu Shabab berpartisipasi dalam operasi keamanan Israel yang berujung pada penangkapan bahkan pembunuhan anggota perlawanan, termasuk penangkapan Dr. Marwan al-Hums dan putrinya Tasneem.
Keluarga Abu Shabab sendiri secara publik telah mencabut pengakuan atas dirinya pada Mei 2025, menyusul keterlibatannya dalam operasi keamanan untuk Israel. Faksi-faksi Palestina telah berulang kali bersumpah untuk menargetkannya. Pada Juli 2025, mereka mengeluarkan pernyataan keras yang mencap Abu Shabab sebagai “pengkhianat sewaan” dan menyatakan darahnya “halal bagi semua faksi perlawanan.”
Ancaman itu seakan terwujud. Sebuah laporan dari Telegraph baru-baru ini menyebutkan bahwa milisi Abu Shabab berada di ambang kehancuran setelah kehilangan perlindungan udara Israel, terutama setelah perjanjian gencatan senjata Hamas-Israel yang mengakhiri dua tahun pertempuran.
Begitu perlindungan Israel dicabut, kelompok itu menjadi rentan terhadap pembalasan, dan Hamas dilaporkan menyita kendaraan serta senjata yang sebelumnya dipasok Israel. Kematiannya, terlepas dari detailnya yang belum jelas, menggarisbawahi risiko yang dihadapi oleh mereka yang dicap berkolaborasi setelah perubahan dinamika konflik.






