AI: Perempuan Pekerja Migran di Qatar Alami Pelecehan Ekstrem
- Beberapa perempuan pekerja migran mengalamai pelecehan seksual, dan diperkosa.
- Ketika malapor ke polisi, pihak kepolisian balik menuduhnya mengarang cerita.
- Di Qatar, jumlah pekerja migran mencapai 2,7 juta, 90 persen dari populasi negeri itu.
London — Amnesti Internasional (AI) melaporkan perempuan pekerja migran di Qatar mengalami pelecehan ekstrem, dan kerap bekerja berlebihan.
Survei terhadap 105 perempuan pekerja migran di negara Teluk itu secara rinci menyebut para majikan memaksa asisten rumah tangga bekerja berlebihan tanpa membayar upah yang layak dan tidak memberi makan.
Lebih ekstrem lagi, perempuan pekerja migran kerap mengalami penganiayaan fisik dan pelecehan seksual. Penganiayaan dilakukan dengan tangan kosong dan dengan pemukul.
Laporan itu juga mengdokumentasikan beberapa kasus pemukulan terhadap 15 wanita. Sebanyak 40 perempuan pekerja migran lainnya mengatakan kerap ditampar, diludahi, atau rambut ditarik.
Pekerja migran lainnya, dalam jumlah lebih banyak, mengaku diperlakukan seperti anjing oleh keluarga majikan. Ada pula yang mengatakan majikan kerap mengancam akan memotong lidah dan membunuhnya.
“Saya hanya pembantu, saya tidak bisa melakukan apa-apa,” kata seorang pembantu, seperti terekam dalam dokumentasi elektronik.
Sembilan puluh perempuan yang diwawancarai mengatakan mereka bekerja 14 jam per hari. Lainnya mengatakan bekerja 18 jam per hari adalah normal. Lebih setengah dari mereka mengaku tidak pernah libur.
Lima perempuan yang disurvei AI mengatakan telah mengalami pelecehan seksual di tangan majikan dan keluarganya. Satu orang mengaku menyaksikan putra majikan memperkosa pekerja rumah tangga lainnya, dan ditawari uang tutup mulut.
Majikan itu melapor ke polisi, tapi polisi balik menuduhnya mengarang cerita.
Qatar diperkirakan memiliki 173 ribu perempuan pekerja rumah tangga migran, dan 2,7 pekerja asing — atau 90 persen dari populasi negeri itu. Sebagian besar pekerja berasal dari India, Nepal, Bangladesh, dan Filipina.
Negeri minyak kaya raya itu secara terus-menerus menghadapi tuduhan menganiaya wanita pekerja migran, tidak membayar gaji secaralayak, dan menolak ijin pulang kampung pekerja.
Sejak Qatar dianugerahi menjadi rumah Piala Dunia 2022, AI fokus pada cara negara itu memperlakukan pekerja migran.
Meski ada langkah-langkah untuk menghadirkan fungsi upah minimum dan UU Pekerja Rumah Tangga 2017, sebagian besar peraturan itu tidak pernah ditegakan. Undang-undang seolah tidak pernah menjamin hak pekerja migran.
“Wanita yang kami ajak bicara adalah mereka yang ulet dan mandiri,” kata Steve Cockburn, kepala keadilan ekonomi dan sosial AI. “Mereka meninggalkan rumah, melakukan perjalanan ke belahan dunia lain, untuk menafkahi keluarga. Mereka harus bersuara untuk membela hak-hal mereka.”
Qatar merespon laporan ini dengan mengatakan tuduhan yang termuat dalam laporan itu akan diselidiki, dan pihak yang bersalah akan diminta pertanggung-jaawban.
“Jika terbukti benar, keluarga yang mempekerjakan perempuan pekerja migran telah melakukan pelanggaran serius terhadap hukum Qatar dan harus ditangani sebagaimana mestinya,” kata pernyataan pemerintah Qatar.