Amerika Serikat Tolak Sebut Pembunuhan Massal Sebagai Genosida, Keadilan Kian Jauh dari Rohingya
Aung San Suu Kyi—seorang aktivis pro-demokrasi pemenang Nobel yang segera berperangai ganjil manakala ia menjadi pemimpin sipil—justru membela kampanye militer di hadapan Mahkamah Internasional (ICJ), di mana 57 negara menuntut Myanmar atas perlakuan kejamnya terhadap Rohingya.
JERNIH—Pemenang Hadiah Nobel sekaligus pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengatakan klaim genosida Myanmar atas Rohingya sebagai ‘sesat’. Sayangnya, penolakan untuk menyebut kekejaman militer Myanmar sebagai genosida juga dilakukan Amerika Serikat (AS). Kendati berulang kali pihak AS menjatuhkan sanksi kepada Myanmar, tapi hingga detik terakhir, AS hanya menyebut kejahatan Myanmar sebagai pembersihan etnis, bukan genosida.
Pada pertengahn 2018, Amerika memang memberlakukan sanksi terhadap empat komandan militer dan polisi Myanmar serta dua unit tentara, dan menuduh mereka melakukan “pembersihan etnis” terhadap Muslim Rohingya.
Sanksi yang dikeluarkan Departemen Keuangan AS itu menjadi langkah Amerika Serikat (AS) yang paling tegas sejauh ini, sebagai tanggapan terhadap tindakan keras Myanmar terhadap minoritas Rohingya. Pembersihan etnis—sebuah penghalusan untuk pembunuhan massal—itu telah mendorong lebih dari 700 ribu orang mengungsi ke Bangladesh dan ribuan orang tewas.
Namun pemerintahan Trump sama sekali tidak menargetkan untuk memberi sanksi kepada pimpinan tertinggi militer Myanmar. Trump juga tidak menyebut gerakan massif anti-Rohingya tersebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida, yang telah menjadi bahan perdebatan dalam pemerintahan AS.
Hal itu mengingatkan pada sejarah Amerika, di mana jika dirunut, setelah langkah menuju demokrasi 2010, rezim Obama mulai mencabut pembatasan ekonomi di Myanmar, di mana negara itu telah lama masuk daftar hitam karena pemerintahan militer yang menindas. Namun, transisi tersebut telah membuat militer memegang sebagian besar kendali. Sementara AS serta para sekutunya takut untuk mendorong terlalu keras, dengan pertimbangan akan merusak demokrasi yang baru lahir di negara itu.
Aung San Suu Kyi—seorang aktivis pro-demokrasi pemenang Nobel yang segera berubah ganjil manakala ia menjadi pemimpin sipil—justru membela kampanye militer di hadapan Mahkamah Internasional (ICJ), di mana 57 negara menuntut Myanmar atas perlakuan kejamnya terhadap Rohingya. Pengadilan memutuskan untuk melawan Myanmar dan memerintahkan agar “mengambil semua langkah dalam kekuasaannya” untuk mencegah genosida Rohingya.
Namun, keputusan itu (dan kasus yang tertunda terhadap pejabat Myanmar individu di hadapan Pengadilan Kriminal Internasional) tidak memberikan andil banyak untuk memicu perubahan menjadi lebih baik. “Kami melihat keadilan bergerak maju, tapi masih sangat lambat,”kata Tun Khin, seorang aktivis Rohingya yang berbasis di London, kepada ABC News. “Ini akan membutuhkan lebih banyak untuk memajukan segalanya.”
Dia dan yang lainnya menyerukan sanksi AS yang lebih kuat, terutama yang menargetkan bisnis militer dan perusahaan milik negara lainnya.
Walau penunjukan genosida tidak secara inheren memicu sanksi apa pun, itu akan mengirim pesan bahwa negara-negara lain harus berpikir dua kali untuk bekerja dengan pemerintah Myanmar lagi. “Penentuan genosida adalah satu-satunya langkah paling penting yang dapat segera diambil AS untuk mengatasi penderitaan Rohingya,” kata Daniel Sullivan, pengacara senior hak asasi manusia Refugees International. “Saya berharap Menteri Pompeo akan menjawab seruan itu.” [Reuters/ABC News]