Crispy
Trending

BELATUNG EMAS MENGAJARI SAYA TENTANG MAKNA HIDUP

Pelajaran tentang makna bekerja keras, dapat dinukil dari perjalanan hidup maggot BSF yang hidup singkat namun tepat dan bermanfaat.

Oleh Doddi Ahmad Fauji

Saya tidak pernah membayangkan akan menyentuh belatung dengan penuh kesadaran. Apalagi menggenggamnya. Mengamati warnanya. Bahkan memberinya nama lain: emas. Tapi mungkin hidup memang selalu punya cara unik untuk membawa kita pada pelajaran-pelajaran yang tidak diajarkan di sekolah, tidak butuh gelar tinggi yang hanya formalitas semu, tidak dibicarakan di ruang seminar, juga tak bisa didefinisikan dengan mulus oleh Google Scholar.

Semuanya berawal dari rasa penasaran. Ya, rasa ingin tahu yang kadang terlalu nekat untuk ukuran orang dewasa yang sudah cukup kenyang oleh hidup. Saya mulai tertarik pada isu sampah bukan karena teori ekonomi sirkular atau grafis pencemaran laut, tetapi karena sesuatu yang sangat remeh—saya muak dengan bau sampah dapur saya sendiri. Tiap pagi, ada tumpukan sisa sayur, kulit buah, dan makanan basi yang entah mengapa selalu lebih cepat busuk dari harapan. Ada kemuakan yang mendesak dalam diri saya, tetapi juga rasa bersalah. Karena semua ini tidak seharusnya terjadi. Saya tahu itu. Tapi saya tidak tahu harus mulai dari mana.

Sampai saya bertemu Mang Asep. Semula ia seorang pekerja serabutan, namun kemudian diberdayakan oleh Dinas Kebersihan Kota Bandung untuk me-maggot-kan pasar-pasar tradisional di Kota Bandung. Ia memelihara maggot, belatung dari jenis Black Soldier Fly yang, katanya, bisa menyulap sampah organik menjadi belatung emas. Ketika ia menggenggam sekepal larva putih yang menggeliat pelan di tangannya, saya spontan muringkak bulu punduk (berdiri bulu roma di punduk). Jijik. Naluri manusiawi, mungkin. Tapi saat ia berkata, “Ini pakan terbaik untuk ayam, kang. Lebih sehat dari pelet. Gratis pula, kalau dari sisa dapur,” tiba-tiba rasa ingin tahu saya menyalip rasa jijik itu.

Saya jadi ingin tahu, benar-benar ingin tahu, apa yang bisa dilakukan oleh makhluk-makhluk kecil ini terhadap krisis yang jauh lebih besar: limbah hayati yang menggunung di pasar-pasar, di belakang restoran, di dapur rumah tangga. Saya menyaksikan sendiri bagaimana maggot-maggot itu dengan lincah mengurai sampah menjadi kompos, tanpa bau menyengat, tanpa lalat beterbangan. Dan saya terpukau. Mungkin seperti penyair yang menemukan kata yang selama ini ia cari, atau seperti ilmuwan yang akhirnya melihat bintang jatuh dari mikroskop.

Dari situ, saya mulai “gila”. Dalam arti baik. Saya nekat beternak maggot di lantai dua rumah. Mengubah satu ruang yang awalnya hendak menjadi ruang baca menjadi rumah pengomposan. Saya serius mengerjakannya, bukan karena ingin jadi peternak, melainkan karena merasa menemukan sesuatu yang menyentuh urat makna dalam hidup saya: bahwa hal yang selama ini kita anggap menjijikkan, tak berharga, bisa menjadi solusi. Bahkan bisa menyelamatkan. Ini bukan hanya tentang maggot. Ini tentang paradigma.

Saya mulai mempelajari daur hidup BSF. Menakar kadar air dalam sisa dapur. Menyusun sistem pemisahan sampah kering dan basah. Bahkan mulai membuat video edukasi sederhana. Tidak untuk viral, tetapi untuk berbagi. Karena saya yakin banyak orang seperti saya—ingin berubah, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana. Dan perubahan selalu lebih mudah kalau ada yang membuka jalan. Saya ingin menjadi pembuka jalan itu, atau setidaknya menjadi yang menyalakan lampu di tikungan.

Dari sini, saya juga mulai berpikir lebih luas. Tentang relasi antara kota dan desa. Tentang bagaimana kota menghasilkan sampah, dan desa seharusnya tidak hanya menjadi tempat buang sampah, tapi juga bisa menjadi pusat pengolahan, penghidupan, bahkan pemulihan. Saya membayangkan ada truk pengangkut sisa pasar yang datang ke desa, bukan untuk membuang, tetapi untuk diolah oleh peternak maggot lokal, lalu hasilnya—dalam bentuk pupuk cair, kompos padat, atau pakan unggas—dikembalikan ke kota. Sistem ini bukan utopia. Di Rusia, Tiongkok, bahkan Kenya, model seperti ini sudah hidup. Kenapa Indonesia belum?

Maggot mengajari saya bahwa keadilan ekologis tidak bisa hanya berbasis moral, tapi harus juga berbasis ekonomi. Orang tidak akan memilah sampah hanya karena anjuran. Tapi kalau tahu bahwa dari satu ember sisa sayur bisa dihasilkan rupiah, orang akan lebih cepat belajar. Saya pun mulai menghitung. Satu kilo maggot bisa dijual kisaran Rp7.000 – Rp25.000. Dalam satu siklus, satu rumah bisa menghasilkan tiga hingga lima kilo. Bayangkan kalau satu RT punya sistem pengelolaan mandiri. Ini bukan lagi sekadar wacana, tapi bisa menjadi program konkret.

Yang lebih menakjubkan lagi: maggot tidak pernah protes. Ia bekerja dalam diam. Ia hidup dalam kegelapan. Ia tidak memilih-milih makanan. Ia tidak menuntut disanjung. Tapi hasil kerjanya jelas, terukur, dan terasa. Dan saya mulai merenungi: bukankah manusia juga seharusnya seperti itu? Diam-diam memberi dampak. Diam-diam mengubah sesuatu yang busuk menjadi sesuatu yang hidup kembali. Di dunia yang bising dan penuh sorot, maggot menjadi teladan tentang makna kerja sunyi.

Tentu, perjalanan ini tidak tanpa tantangan. Ada fase di mana koloni mati mendadak. Ada masa panen gagal. Ada komplain tetangga karena lalat BSF yang tak sengaja beterbangan ke dapur. Tapi semua itu bukan akhir. Justru dari situ saya belajar tentang resiliensi, tentang ketekunan. Maggot tidak mengenal menyerah. Maka saya juga belajar untuk tidak mudah mundur.

Ketika saya melihat tumpukan sampah, saya tidak lagi merasa muak. Saya merasa tertantang. Karena di balik busuk itu, ada potensi. Di balik sisa itu, ada harapan. Maggot, bagi banyak orang, mungkin tetap hanya belatung. Tapi bagi saya, mereka adalah simbol keberanian untuk mengubah. Keberanian untuk menengok yang tak ingin dilihat, dan menemukan cahaya dalam lumpur.

Dan dalam semua ini, saya tetap menulis. Karena tulisan adalah cara lain saya untuk memelihara semangat. Untuk merekam perjalanan. Untuk membagi bukan hanya metode, tetapi makna. Saya percaya, sebagaimana maggot mengurai sampah menjadi kehidupan, tulisan juga bisa mengurai kekacauan menjadi pemahaman. Dan mungkin suatu hari, ketika anak-anak saya membaca catatan ini, mereka tidak hanya mengingat saya sebagai ayah yang beternak belatung, tetapi sebagai seseorang yang mencoba, dengan cara paling sederhana, untuk tidak menyerah pada kekacauan dunia.

Karena dunia ini mungkin memang tidak bisa diselamatkan oleh pahlawan besar, oleh sederet orang yang bergelar doktor bahkan profesor. Malah banyak orang bergelar karbitan di negeri ini yang makin menyumbangkan kekacauan. Kita bisa berubah sedikit demi sedikit—oleh tangan-tangan kecil yang mau bekerja, meski hanya sebesar larva. Maggot mengajarkan saya satu hal yang sangat manusiawi: bahwa tak ada yang terlalu kotor untuk menjadi awal yang baru.

* Doddi Ahmad Fauji, penyair, editor, praktisi perbukuan, dan praktisi tata kelola sampah.

Back to top button