Cina Ancamkan Sanksi Kepada Perusahaan-perusahaan AS yang Jual Senjata ke Taiwan
Tiga komunike Cina-AS itu ditandatangani ketika AS memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan untuk mengakui Republik Rakyat Cina, lebih dari empat dekade lalu
JERNIH—Pemerintah Cina mengancam untuk memberi sanksi kepada beberapa perusahaan pertahanan besar, sebagai pembalasan atas penjualan senjata AS bernilai miliaran dolar ke Taiwan. Sikap tersebut diumumkan Kementerian Luar Negeri Cina.
Lockheed Martin, Boeing Defense, Space & Security dan Raytheon disebut sebagai target sanksi, serta “individu dan entitas AS yang memainkan peran mengerikan”, sebagaimana dikatakan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian, dalam konferensi pers rutin awal pekan ini. Namun ia tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Sikao Cina tersebut merupakan tanggapan atas terkonfirmasinya penjualan senjata AS yang kesembilan ke Taiwan, sebuah negara demokrasi berpemerintahan sendiri yang dianggap Beijing sebagai provinsi ‘nakal’ di bawah prinsip “Satu Cina”. Hingga hari ini Beijing tidak pernah mengesampingkan opsi untuk merebut Taiwan dengan kekerasan.
Kementerian Luar Negeri Taiwan mengonfirmasi pembelian 2,37 miliar dolar AS Sistem Pertahanan Pesisir Harpoon buatan Boeing, di bawah Undang-Undang Hubungan Taiwan 1979, yang mendefinisikan hubungan antara kedua pemerintah dan mengamanatkan penyediaan material dan layanan pertahanan ke Taiwan.
Hal itu menyusul persetujuan yang dibuat pekan lalu untuk penjualan paket senjata senilai 1,8 miliar dolar AS, termasuk rudal, artileri roket, sensor pengintaian udara, dan penjualan 66 jet tempur F-16 pada bulan Agustus.
Lockheed Martin mengatakan, penjualan senjata asing adalah “transaksi antarpemerintah” dan semua penjualan internasionalnya “diatur secara ketat oleh pemerintah AS”. Perusahaan itu menegaskan bahwa kehadirannya di Cina pun sangat terbatas.
Seorang juru bicara Boeing mengatakan, perusahaan itu tetap berkomitmen pada kemitraannya dengan komunitas penerbangan di Cina.
Zhao meminta AS untuk berhenti menjual senjata ke Taiwan atau memiliki hubungan militer dengan Taiwan. “Penjualan senjata AS ke Taiwan sangat melanggar prinsip “Satu China” dan tiga komunike bersama Cina-AS, dan secara serius merusak kedaulatan dan kepentingan keamanan Cina. Kami dengan tegas menentang dan mengutuk keras,”ujar Zhao sebagaimana dikutip The Guardian. “Kami akan terus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga kedaulatan nasional dan kepentingan keamanan.”
Tiga komunike Cina-AS itu ditandatangani ketika AS memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan untuk mengakui Republik Rakyat Cina, lebih dari empat dekade lalu. AS tidak secara resmi mengakui klaim Beijing atas Taiwan, dan catatan era Reagan yang baru-baru ini terungkap, merinci jaminan keamanan yang diberikan pada saat yang sama, disertai komitmen untuk melanjutkan penjualan senjata dengan Taiwan tanpa harus berkonsultasi dengan Beijing.
Hubungan AS dengan Taiwan telah tumbuh seiring hubungan AS memburuk dengan Beijing. Tahun ini AS telah mengirim dua delegasi pemerintah ke Taiwan, yang memicu ancaman tindakan balasan Cina. Washington mengubah kebijakan “Satu Cina”-nya sebagai tanggapan atas “meningkatnya ancaman yang ditimbulkan oleh Beijing terhadap perdamaian dan stabilitas di kawasan” dan penargetannya terhadap Taiwan.
Kementerian Luar Negeri Taiwan menyambut baik penjualan alat-alat pertahanan tersebut dan menegaskan,” Dalam menghadapi ekspansi dan provokasi militer Cina, Taiwan akan terus memperkuat modernisasi kemampuan pertahanannya dan mempercepat peningkatan kemampuan asimetrisnya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas regional.”
Taiwan sedang membangun kemampuan pertahanannya untuk mencegah kemungkinan konflik lintas selat. Negara Cina demokratis itu telah menghabiskan lebih dari 1 miliar dolar AS tahun ini untuk jet-jet acak, guna menanggapi peningkatan latihan militer Cina dan serangan mendadak di atas apa yang disebut “garis median” di Selat Taiwan.
Dr Ou Si-fu, wakil presiden lembaga pemikir pertahanan Taiwan, Institute for National Defense and Security Research, mengatakan, Taiwan tidak akan menerima material pertahanan selama bertahun-tahun, dan militer membutuhkan waktu untuk melatih personel serta membangun infrastruktur untuk peralatan perang tersebut. [The Guardian]