Covid-19 dan Revolusi Pizza Neapolitan
- Tidak ada peristiwa apa pun, kecuali wabah Covid-19, yang membuat pizza hilang dari jalan-jalan kota kelahirannya.
- Semula, pizza makanan orang miskin. Kini, pizza makanan mewah yang bisa diakses semua lapisan.
- Penguncian untuk menekan wabah virus korona membuat warga Naples rindu pizza.
- Pizza mengalami revolusi, karena selama penguncian keluarga-keluarga Naples membuat pizza di dapur rumah mereka.
Naples — Tidak pernah sehari pun dalam sejarah, pizza hilang dari Naples, tanah kelahirannya. Kini, pizza dikarantina dan tak terlihat di jalan-jalan Naples.
Luciano Pignataro, jurnalis Naples, mengatakan banyak peristiwa penting yang menyambangi Naples tapi pizza selalu ada dan dijajakan.
“Revolusi Neapolitan tidak membuat pizza lenyap. Begitu pula Kerajaan Dua Sisila jatuh, dua Perang Dunia, wabah kolera, dan Perang Camorra,” kata Pignataro.
Pignataro bekerja di koran Il Mattino, yang berusia lebih seratus tahun. Ia menulis tentang keahlian massak Wilayah Campania selama lebih 30 tahun, mengikuti efek sosiokultural dan ekonomi pizza terhadap kota dan warganya.
Goreng, lipat, roda gerobak, atau dengan kerak yang penuh, sera semua makanan sederhana adalah lambang Napoli. Pizza adalah simbol sejarah dan budaya, dan kehadiran konstan dalam kehidupan publik.
Semua itu tiba-tiba lenyap, dan hanya wahab virus korona yang bisa melakukannya. Sejak 13 Maret oven pizza di seluruh Naples dimatikan.
Kali pertama dalam sejarah pemerintah kota melarang penjualan pizza, dan pengambilan makanan apa pun.
Memimpikan Pizza
Naples adalah kota dengan jumlah restoran pizza terbanyak, yaitu lebih 900.
Dalam imajinasi kolektif, Pizza Savoir Faire — restoran pizza palint terkenal — adalah roda yang membuat keajaiban tetap terjadi. Namun keajaiban itu tidak ada lagi akibat Covid-19.
“Semalam saya memimpikan pizza yang saya buat,” kata Salvatore Di Matteo, yang menjalankan bisnis keluarga Pizzeria Di Matteo — resto yang dibuka kakeknya tahun 1934.
Salvatore Di Matteo adalah pizzaiolo, atau orang yang makan pizza paling sedikit. Ia menguji, mencicipi adonan, dan semua produk.
“Tapi saya bukan pizzaiolo sebenarnya, sebab saya makan banyak pizza,” katanya. “Saya suka pizza.”
Selama bertahun-tahun Salvatore berjuang mengembangkan bisnis keluarga dengan terus membuat pizza. Kini, dia berjuang — mempertahankan bisnis keluarga dan kesehatan masyarakat — dengan tidak membuat pizza.
Restoran Di Matteo terletak di jantung sejarah Naples. Tahun 1994, saat pertemuan G7, Salvatore dikejutkan dengan kedatangan Bill Clinton, mantan presiden AS.
Saat itu belum ada media sosial, sehingga kedatangan Bill Clinton dan makan pizza yang disajikan ayah Salvatore tidak viral. Kedatangan Clinton adalah pengakuan dunia atas pizza Neapolitan. Pengakuan yang memberi banyak kebanggaan.
Di saat normal Pizzeria Di Matteo selalu diserbu pengunjung. Antrean mengular di depan restoran.
Kini Salvatore merindukan seluruh aspek pekerjaannya. Ia merindukan rasa puas pelanggan ketika menerima pizza yang dibeli.
“Namun saat kuncian, kami menyadari betapa semua ini adalah bagian dari kita dan menjadi koki pizza adalah pilihan hidup,” kata Di Matteo.
Restoran Di Matteo tutup satu hari lebih awal dari peraturan. Di satu sisi, Di Matteo menyadari penguncian dapat mencegah penyebaran virus. Di sisi lain, Di Matteo melawan intuisinya untuk tidak membuat pizza di Naples.
Psikologi Pizza
Kata pizza kali pertama muncul dalam dialek Naepolitan abad ke-16. Saat itu, menurut antropolog Sylvie Sanchez, pizza hanya adonan bundar yang digoreng sederhana.
Hidangan berevolusi. Tomat diperkenalkan pada abad ke-18, dan pengembangan terus-menerus membawa pizza sampai ke gaya Neapolitan saat ini.
“Pizza saat ini adalah barang mewah yang dapat diakses semua orang,” kata Pignataro. “Sebelumnya, pizza adalah makanan orang miskin.”
Usai Perang Dunia II, membuat pizza adalah pekerjaan wanita untuk menambah penghasilan keluarga. Gambaran paling pas untuk semua ini adalah film The Gold of Naples, yang dibintangi Sophia Loren.
Dalam salah satu adegan Sophia Loren menjual pizza goreng isi keju ricotta atau cicoli, dengan tangan masih kotor oleh adonan. Di bagian belakang terdapat tulisan berisi pesan untuk meringankan beban orang miskin tercekik utang.
Sampai saat ini di gang-gang sempit Neapolitan, orang masih bisa menemukan wanita dengan pengalaman 50 tahun membuat pizza. Kita masih bisa menemukan wanita menyalakan tungku, menggoreng pizza, dan menjual dengan harga terjangkau.
Kini, saat wabah dan kota terkunci, pizza dikonsumsi sebagai kebutuhan psikologis. “Kuncian bukanlah derita kelaparan pasca perang,” kata Pignataro.
Setiap orang Neapolitan mengkonsumsi pizza sekali dalam sepekan, besar atau kecil. Bahkan negarawan Johann Wolfgang de Goethe menulis orang Neapolitan terobsesi dengan pizza karena sejarah.
Selama masa-masa sulit, orang Neapolitan menemukan semangat hidup pada pizza — makanan yang menjadi bagian sejarah mereka.
Itu terlihat ketika pembuat pizza mengusir rasa takut dengan kembali ke dapur, dan membuat pizza. Tidak sekedar membuat sesuatu yang sudah ada, tapi berusaha menciptakan kreasi baru.
Menariknya, yang melakukannya bukan lagi para koki tapi masyarakat biasa. Tutorial membuat pizza di YouTube menjadi konten paling banyak dilihat.
Pizza sedang mengalami revolusi. Jika semula dibuat di gang-gang Neapolitan dan menjadi makanan orang miskin, lalu masuk ke restoran dan menjadi makanan yang dapat diakses semua orang, kini pizza dibuat di dapur setiap keluarga di Naples.
Semua itu disebabkan kerinduan akan pizza selama masa penguncian.