Dewi Astutik, Buronan Kasus Sabu Rp5 Triliun Ditangkap di Kamboja

Akhir petualangan Dewi Astutik berakhir di Kamboja. Ia mantan TKW yang kemudian dituding menjalankan peredaran narkoba internasional.
JERNIH – Badan Narkotika Nasional (BNN) RI bersama tim gabungan Interpol dan Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI berhasil mencatat kemenangan besar dalam upaya pemberantasan narkotika. Buronan kelas kakap, Dewi Astutik (43), yang dikenal licin dengan beragam alias seperti Mami, Pariyatin, Kak Jinda, dan Dinda, berhasil ditangkap di Sihanoukville, Kamboja, pada Senin, 1 Desember 2025. Penangkapan ini mengakhiri pelarian aktor intelektual di balik penyelundupan sabu terbesar senilai triliunan rupiah.
Dewi Astutik merupakan pengendali utama dalam kasus penyelundupan narkotika jenis sabu seberat lebih dari 2 ton (tepatnya 2.115.130 gram), yang digagalkan pada Mei 2025. BNN memperkirakan nilai barang haram tersebut mencapai angka fantastis, yakni sekitar Rp5 triliun. Perannya dalam jaringan sangat sentral; ia adalah aktor utama dan otak yang bertanggung jawab mengatur pendanaan dan logistik operasional sindikat tersebut.
Lebih dari sekadar seorang bandar, BNN mengungkapkan bahwa Dewi juga berperan sebagai rekrutor kunci untuk jaringan perdagangan narkotika yang beroperasi di wilayah Asia-Afrika. Jaringannya diduga kuat memiliki koneksi langsung dengan sindikat global dari Golden Triangle (Thailand, Myanmar, Laos) dan juga terkait erat dengan jaringan Golden Crescent di Asia Barat Daya. Nama Dewi telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) BNN sejak 3 Oktober 2024 dan juga menjadi subjek Red Notice Interpol, bahkan ia merupakan buronan otoritas Korea Selatan atas kasus narkotika besar tahun 2024.
Dewi Astutik diketahui berasal dari Ponorogo, Jawa Timur, dan pernah tinggal di Dusun Sumber Agung, Desa Balong. Latar belakangnya yang mencolok adalah sebagai mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang pernah bekerja di Taiwan, Hong Kong, dan Kamboja. Profesi ini diduga kuat dimanfaatkan sebagai kedok untuk memuluskan pergerakan dan aktivitas ilegalnya di berbagai negara Asia.
Salah satu tantangan terbesar dalam perburuan Dewi adalah kemampuannya untuk mengelabui aparat. Ia dikenal sangat licin dan sering berganti penampilan, termasuk gaya rambut dan dandanan, yang membuatnya sulit dilacak.
Operasi penangkapan Dewi Astutik merupakan hasil kolaborasi internasional yang solid. Informasi mengenai keberadaan buronan tersebut diterima oleh BNN pada 17 November 2025. Di bawah pimpinan Kepala BNN Komjen Pol. Suyudi Ario Seto, tim gabungan yang terdiri dari BNN, Interpol, BAIS TNI, Kepolisian Kamboja, dan KBRI Phnom Penh segera diterjunkan.
Pengejaran berakhir pada Senin, 1 Desember 2025, pukul 13.39 waktu setempat, di Sihanoukville, Kamboja. Dewi Astutik berhasil disergap saat sedang menuju lobi sebuah hotel. Proses penangkapan berlangsung cepat dan tanpa perlawanan berarti.
Keberhasilan ini tidak lepas dari sinergi kuat antara BNN RI, Interpol, BAIS TNI, Kepolisian Kamboja, KBRI Phnom Penh, serta dukungan dari Bea Cukai, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Luar Negeri.
Setelah penangkapan, Dewi Astutik segera dibawa ke Phnom Penh untuk proses verifikasi dan administrasi sebelum diterbangkan kembali ke Indonesia pada Selasa, 2 Desember 2025, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di mata hukum. Penangkapan ini diharapkan dapat memutus mata rantai jaringan Golden Triangle yang selama ini memasok narkoba ke pasar Asia, termasuk Indonesia.
Golden Triangle (Segitiga Emas) merupakan salah satu pusat produksi dan perdagangan narkotika terlarang terbesar di dunia, mencakup area pertemuan perbatasan tiga negara di Asia Tenggara: Myanmar (khususnya Negara Bagian Shan), Laos, dan Thailand (wilayah utara).
Kondisi geografis wilayah ini yang ditandai oleh pegunungan terpencil, hutan lebat, dan perbatasan yang minim pengawasan menciptakan lingkungan yang sangat ideal bagi jaringan kriminal transnasional. Faktor-faktor ini diperparah dengan adanya konflik bersenjata, kelemahan tata kelola, dan tingkat kemiskinan di beberapa area, yang secara kolektif memungkinkan sindikat narkoba beroperasi dan memproduksi obat-obatan terlarang tanpa hambatan signifikan.
Secara historis, Golden Triangle dikenal sebagai pemasok utama opium dan heroin global. Namun, dalam dekade terakhir, fokus produksi telah bergeser secara signifikan ke narkotika sintetis, terutama Metamfetamin (atau sabu-sabu) dalam bentuk pil (yaba) dan kristal (ice).
Lonjakan produksi metamfetamin ini menjadikan Segitiga Emas sebagai sumber utama narkotika jenis ini untuk seluruh kawasan Asia Pasifik. Untuk mempertahankan produksi, jaringan di Golden Triangle juga menunjukkan adaptasi tinggi dengan memproduksi sendiri atau menyelundupkan prekursor kimia yang dibutuhkan melalui koridor perbatasan yang longgar.(*)
BACA JUGA: Bareskrim Polri Ungkap Penangkapan Narkoba Januari – Oktober 2025






