Mereka datang melayat jenazah laiknya pelayat lain, berduka, berurai air mata, serta bersedu-sedan secara profesional
JERNIH—Ketika sang ayah berpulang sekitar empat tahun lalu, Ioanna Sakellaraki, fotografer asal Yunani yang tinggal di Brussels, Belgia, memutuskan kembali ke kampung halaman. Ia memutuskan melakukan jeda dari kegiatan, mengkhidmati kehilangan sang ayah sekaligus menghabiskan waktu mendukung sang ibu. Saat itulah ia menemukan ritual tradisional seputar kematian dalam budaya Yunani.
Sakellaraki baru tahu, ada sekelompok perempuan lanjut usia yang masih mempraktikkan profesi kuno di desa-desa terpencil di wilayah Peloponnese, yakni menjadi seorang pelayat profesional.
Para perempuan ini disebut moirolog, berasal dari kata moíra yang berarti takdir dan lógos yaitu pidato. Moirolog dipekerjakan untuk menembang dan berduka saat prosesi pemakaman. Mereka juga menemani keluarga yang ditinggalkan dalam melalui ritual kompleks pascakematian dalam budaya tradisional Yunani. Tradisi ini telah dilakukan selama berabad-abad sebelumnya.
Fotografer berusia 30 tahun itu pun berhasil mendapatkan dana dari Royal Photographic Society London. Ia lalu melakukan perjalanan ke desa-desa terpencil untuk menemukan para pelayat profesional ini dan mempelajari keberadaan mereka.
Proyek fotografinya berjudul “The Truth is in the Soil”, mengeksplorasi “rekayasa kesedihan” dengan mendokumentasikan kehidupan belasan moirolog yang dipekerjakan untuk berduka atas orang-orang yang mungkin belum pernah mereka temui.
Pada bulan Oktober lalu, fotografer dan pekerja seni ini mengadakan pameran tunggal di Berlin sebagai bagian dari Bulan Fotografi Eropa.
Para perempuan yang berkabung secara profesional di Semenanjung Mani di Yunani ini melihat pekerjaan mereka sebagai cara untuk membantu keluarga yang berduka, dan menemani almarhum dalam perjalanan ke alam baka.
Tembang duka yang mereka senandungkan disebut nyanyian ‘takdir’, kata fotografer yang juga kandidat doktor di bidang filsafat itu. “Ini berasal dari semacam tradisi sejarah, improvisasi lisan.” Tembang yang dinyanyikan para moirolog tersebut menceritakan kembali kisah kehidupan almarhum dengan improvisasi yang cerdas.
Sakellaraki mengatakan bahwa secara historis “keluarga membayar para perempuan tersebut untuk melakukan proses ini karena itu sangat penting—itu adalah jenis perpisahan kolektif yang penting terhadap almarhum.”
Ritual seputar kehilangan dan kesedihan adalah bagian penting dalam proses berkabung. Tetapi di tengah pandemi, pembatasan dan jarak sosial menjadi tantangan tersendiri untuk melakukan prosesi pemakaman.
Namun baik dengan adanya pandemi atau bukan, tradisi moirologi di Semenanjung Mani kian memudar. Banyak perempuan yang difoto oleh Sakellaraki telah nyaris berusia 100 tahun. Perempuan dari generasi yang lebih muda tampaknya tidak tertarik untuk menggantikan mereka.
Asal mula moirologi bisa ditelusuri dari adanya paduan suara dalam tragedi Yunani kuno, ketika penyanyi utama mulai berkabung dan paduan suara akan bergabung dengannya. Selama berabad-abad, profesi tersebut menjadi eksklusif dijalani oleh perempuan.
Bukti profesi penyanyi pemakaman juga dapat ditemukan di era Mesir Kuno, di mana dua perempuan yang berperan sebagai Dewi Isis dan Nephtys membantu mempersiapkan orang yang baru saja meninggal.
Pelayat ataupun penyanyi duka profesional juga masih dapat ditemui di berbagai belahan dunia. Pekerjaan mereka bervariasi, tergantung pada konteks budaya setempat. Mereka pada dasarnya adalah pendongeng yang merangkai potongan-potongan kisah dari jalinan kehidupan seseorang.
Papirus Mesir Kuno
Dalam tradisi Mesir Kuno, perempuan berpakaian seperti dewi Isis dan Nephtys menjadi bagian dari ritual penguburan.
Di Jerman, ada pembicara profesional dalam prosesi pemakaman yang disebut Trauerredner. Mereka dipekerjakan untuk membaca eulogi di pemakaman, meskipun tidak mengenal almarhum secara pribadi.
Di beberapa bagian Afrika, pelayat profesional dibayar untuk meneteskan air mata. Novel yang terbit pada tahun 1995 berjudul “Ways of Dying” oleh penulis Afrika Selatan, Zakes Mda, menceritakan kisah Toloki, seorang pelayat profesional yang melakukan perjalanan melewati kota-kota kumuh di Afrika Selatan setelah keruntuhan rezim apartheid.
Di India, tepatnya di Rajasthan ada tradisi yang lebih eksploitatif, di mana perempuan dari kasta yang lebih rendah bekerja sebagai pelayat profesional untuk pria kaya. Mereka mengungkapkan kesedihan yang secara sosial tidak dapat diterima apabila ditampilkan oleh anggota keluarga dari kasta pria itu.
Cina punya sejarah panjang tentang pelayat profesional, yakni sejak Dinasti Han. Profesi ini telah mengalami kebangkitan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi pernah dilarang selama masa revolusi kebudayaan.
Saat ini, para pelayat profesional di Cina dapat juga bertindak ekstrem dengan melakukan penghormatan secara emosional kepada almarhum, diikuti dengan pertunjukan teatrikal. Terkadang mereka juga melakukan tari perut untuk meringankan suasana.
Nuansa teatrikal sebagai sarana untuk melepaskan emosi juga hadir dalam tradisi pemakaman di Yunani. Meski tidak sampai berguling-guling di lantai dengan linangan air mata seperti rekan-rekan mereka dari Cina, para pelayat di Semenanjung Mani di Yunani berpakaian hitam, sering kali mengenakan kerudung bersulam rumit. Ada nuansa teatrikal dan keindahan yang terpahat memancar dari mereka.
“Ini adalah gagasan tentang tubuh dan emosi yang bersatu untuk menggambarkan kematian,” ujar Sakellaraki. “Para perempuan ini nyaris seperti agen kematian dalam komunitas ini; mereka diwajibkan tampil dan menjalankan sesuatu dengan cara tertentu.”
Kehadiran dan senandung para perempuan moirolog ini memungkinkan anggota keluarga almarhum untuk sepenuhnya membiarkan emosi mereka mengalir dan mengungkapkan kesedihan, alih-alih menyimpannya di dalam. [Deutsche Welle]