SolilokuiVeritas

Zaman Banyak Daerah Masih Punya Budaya Buruk ‘Dolbon’

Bila di Kamboja dan sekitarnya orang hati-hati bila berjalan agar tak menginjak ranjau darat (landmines) yang disebar musuh, kami orang Lapangsari dan Lapang Cibogo, justru harus waspada agar tak menginjak ‘ranjau darat’ yang diletakkan acak para tetangga sendiri!

JERNIH—Tahun-tahun lalu di media massa dan medsos beredar sebuah foto unik: seorang turis Cina kedapatan tengah buang air besar sembarangan (BEOLS) di pantai wisata Port Dickson, Negeri Sembilan, Malaysia. Lebih hebat lagi, turis wanita itu melakukan BEOLS pada tengah hari, di saat turis-turis lain tengah bersuka ria berenang bersama keluarga. 

Sekitar lima tahun lalu ulah sejenis bahkan meresahkan masyarakat Lebak, Banten. Mereka mengeluhkan perilaku buruk buruh-buruh Cina yang dipekerjakan pabrikan semen Merah Putih. Buruh Cina yang menurut pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Sosial (Disnakersos) Kabupaten Lebak saat itu mencapai 799 orang tersebut, dikenal suka buang air besar, di mana saja perut mereka berkehendak.

Kejadian-kejadian tersebut selalu saja mengingatkan saya akan kenyataan yang pernah dialami di tanah sendiri, Kecamatan Kadipaten, Majalengka, tahun 1970-80-an. Saat itu, paling tidak di kampung-kampung tempat saya pernah tinggal, WC alias toilet tergolong hal yang jarang ditemui di rumah-rumah. Bila di Kampung Cibasale-Majalengka Kulon, atau di Kampung Putat-Kadipaten, hal itu bisa ‘dimengerti’ karena kedua kampung itu memiliki aliran sungai. Orang-orang akan bergegas turun ke kali bila ‘sang hajat’ sudah berkehendak. Saya tak berani menduga-duga sekaligus tak pula yakin hal yang sama akan dilakukan bila perut itu melilit di tengah malam buta. Setidaknya, belum pernah saya dengar ada yang menyengaja turun ke kali di tengah malam buta. Waktu yang baru dianggap wajar itu mulai pukul 3 dini hari, manakala orang-orang yang taat beribadah turun mandi untuk menegakkan shalat tahajud. Atau beberapa saat menjelang shalat Subuh.     

Tapi bagaimana dengan warga Kampung Lapangsari atau Cibogo yang tak dilewati aliran kali apa pun? Bagi sebagian kecil warga, urusan itu ganjil dipertanyakan. Mereka sudah punya toilet, entah yang paling sederhana (cubluk) atau yang sudah lebih beradab, toilet jongkok. Toilet duduk tak pernah saya temukan di Majalengka saat itu, kecuali di film-film Hollywood yang kami tonton di Bioskop “Serbaguna”, “Garuda” atau “Semar Ria”. Lihat, kecamatan kami tergolong kota kalau dilihat dari jumlah bioskopnya yang mencapai tiga.

Tapi jangan tanyakan soal solusi buang hajat itu kepada sebagian besar warga di kedua kampung itu, meski mereka tak punya toilet. Mereka tak pernah ambil pusing. Ada banyak lapangan penggembalaan, kebun palawija dan tanah pekuburan yang bisa dijadikan toilet. Sawah-sawah tak pernah menjadi lahan peturasan besar, seolah ada pamali yang membentengi. Bila di Kamboja dan sekitarnya orang hati-hati bila berjalan agar tak menginjak ranjau darat (landmines) yang disebar musuh, kami orang Lapangsari dan Lapang Cibogo, justru harus waspada agar tak menginjak ‘ranjau darat’ yang diletakkan acak para tetangga sendiri!

Saya masih ingat-–karena bukan sekali dua melakukannya meski di rumah sudah ada WC jongkok. Terutama usai waktu Isya, tanah pekuburan di belakang rumah justru terkesan lebih ramai dibanding siang hari. Di kegelapan, kita bisa melihat titik-titik nyala api rokok dan geremangan pembicaraan orang di berbagai sudut. Mengambil jarak aman (social distancing—sich!) satu sama lain, para warga pelaku BEOLS itu saling berbisik bertanya kabar, mengobrol sesuatu senyampang ‘tuan yang ditunggu’ keluar saluran pembuangan.

Apakabar soal istinja? Itu bisa di rumah. Untuk soal ini, orang barat yang masih pakai tissue pun kalah akal. Orang-orang saat itu tinggal memetic daun Kangkung Walanda atau sobekan daun pisang, atau daun-daun yang cukup lebar untuk menyeka. Hati-hati, karena bukan tak mungkin daun Rengas (Reunghas—Sunda) yang terambil.

Bila itu terjadi—karena pohon Rengas bisa tumbuh seenak dia, siap-siaplah mengalami derita parah. Jika terkena getahnya saja, atau kulit terkena goresan daun, seluruh badan terasa gatal, perih dan kemudian timbul bentol-bentol. Konon, rasa gatalnya minta ampun. Saya pernah melihat orang berguling-guling kalap karena rasa gatal yang ditimbulkan getah Rengas. 

Saat itu saya yang masih di bawah belasan tahun tak pernah sadar bahwa kebiasaan tersebut memalukan. Sebabnya tak hanya yang melakukannya pun orang di berbagai kampung, tetapi karena saat itu pun lagu Benyamin S,”Nonton Koboy” yang liriknya bercerita tentang warga Betawi, juga menyoal BEOLS sebagai hal yang lumrah.

“..film abis, terpakse aye nganterin…

Masuk kampung, kluar kampung kegelapan…

Spatu baru, baru aje dibeliin…

Dasar sial, pulang pulang nginjek gituan…”

Bicara soal BEOLS, jangan berpikir bahwa bangsa ini sudah lepas dari kebiasaan ‘gituan’. Alih-alih Cina daratan yang joroknya terkenal, berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2015, Indonesia ternyata masih tercatat di nomor dua untuk urusan buang hajat sembarangan alias BEOLS itu. WHO mencatat, pada 2015 ada sekitar 32 juta orang Indonesia yang masih buang hajat di tempat terbuka.

India menjadi jawara di nomor pertama.  Pada 2012 WHO mencatat setidaknya 626 juta orang India BEOLS di tempat terbuka. Sama seperti di Majalengka tempo doeloe: di rerumputan, pekuburan, semak, kebun-kebun dan sungai. Jumlah yang luar biasa mengingat populasi India saat itu sekitar 1,3 miliar jiwa. Masuk akal bila sebelum merdeka pada 1947 dulu, pemimpin India Mahatma Gandhi pernah berkata,“Sanitasi lebih penting daripada kemerdekaan.”

Bedanya, India lama kelamaan rikuh dengan data itu. Pada 2 Oktober 2014, Perdana Menteri Narendra Modi mengumumkan Gerakan Swachh Bharat Abhiyan, alias Gerakan India Bersih. Tujuannya satu: membuat bangsa India kenal kakus dan mau nongkrong di atasnya bila sang hajat memanggil. Hasilnya terlihat nyata, meski India masih saja nongkrong di jajaran jawara. Pada 2015 alias kurang setahun sejak Gerakan tersebut digalakan, WHO mencatat pelaku BEOLS di India berkurang menjadi sekitar 522 juta.

Pada 2018 lalu Menteri Keuangan India Arun Jaitley, menulis opini yang dimuat The Economic Times. Ia mengklaim bahwa cakupan sanitasi di perdesaan India telah meningkat dari 39 persen pada saat Swachh Bharat diluncurkan di 2014, “…hingga lebih dari 93 persen hari ini.”

Hal yang wajar karena Modi benar-benar serius mengubah kebiasaan buruk itu. Tak hanya melibatkan pegawai pemerintah, pemimpin agama, olahragawan, para pemilik bisnis, hingga selebritas Bollywood, Modi secara khusus mengirimkan 2000 surat pribadi kepada sejumlah besar figur, termasuk musikus Sri Ravi Shankar, Akshay Kumar, dan aktor segala zaman Amitabh Bachchan, untuk mendukung gerakan tersebut. Bahkan, pada 2017 lalu Bollywood membuat film drama romantis seputar toilet, “Toilet, a Love Story”.

Indonesia?  Komitmen kita sayangnya masih jauh di bawah negeri nehi-nehi. Pada 2017, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengeluhkan bahwa kemajuan Indonesia dalam proyek sanitasi hanya mencapai 62 persen. Kemajuan itu jauh lebih lambat jika dibandingkan dengan pemenuhan proyek-proyek infrastruktur–seperti jalan tol, yang mencapai lebih dari 90 persen. Padahal konon, sanitasi yang buruk itu telah menyebabkan Indonesia merugi Rp 56 triliun secara ekonomi. [dsy]

Back to top button