Dicurangi Cina, Iran dan Lain-lain di Laut Sendiri, Indonesia Sudah Saatnya Melek
Pengusaha Indonesia Sunarko Kuntjoro dan tiga perusahaannya didakwa di pengadilan negeri AS pada Desember 2019 karena secara tidak sah mengekspor suku cadang pesawat udara AS ke maskapai penerbangan Iran antara 2011 dan 2018. Kasus itu hingga kini masih belum diselesaikan.
JERNIH– Terungkapnya dua kapal tanker super yang melakukan transfer minyak mentah Iran secara curang di lepas pantai barat Kalimantan, menurut Asia Times, menegaskan adanya peningkatan operasi pengawasan oleh Angkatan Laut dan Penjaga Pantai Indonesia di seluruh Nusantara selama empat tahun terakhir.
“Ini hal baru bagi mereka,”ujar seorang analis angkatan laut yang mencatat transfer tengah laut adalah pelanggaran sanksi Amerika Serikat, bukan sanksi PBB. “Meskipun mereka melakukan pekerjaan dengan baik, undang-undang maritim Indonesia mungkin harus dievaluasi ulang untuk menangani banyak masalah ini.”
Belakangan ini Indonesia menemukan “kapal penelitian Cina” yang transit telah menonaktifkan sistem identifikasi otomatis (AIS) di perairan Indonesia, di mana mereka diduga melepaskan drone untuk memetakan dasar laut.
Melindungi laut kepulauan Indonesia seluas 1,8 juta kilometer persegi adalah tantangan besar. Namun, sejak insiden serius melibatkan kapal Penjaga Pantai Cina pada 2016, pihak berwenang telah memberikan perhatian lebih pada layanan pelacakan satelit untuk mengidentifikasi pergerakan kapal yang mencurigakan.
“Kesadaran domain maritim mereka telah berkembang secara signifikan,” menurut analis tersebut, sebagaimana dikutip Asia Times. “Banyak barang yang mereka gunakan merupakan produk pasaran, tetapi sekarang mereka telah menyadari apa yang terjadi di perbatasan mereka sendiri. Mereka (Indonesia) bereaksi dengan cara yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Mereka menjadi jauh lebih baik.”
Angkatan Laut Indonesia telah meningkatkan jumlah kapal korvet yang berpatroli di Laut Natuna Utara dari satu menjadi empat kapal. Jumlah itu dilengkapi dengan Penjaga Pantai serta kapal perlindungan perikanan dan penerbangan berkala jet tempur F-16 dan pesawat patroli maritim yang berbasis di Pekanbaru.
Insiden Kalimantan dapat menjadi ujian awal kebijakan pemerintahan Presiden AS Joe Biden terhadap Iran. Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri Departemen Keuangan AS telah memasukkan kapal yang terlibat dalam perdagangan terlarang dengan Iran ke daftar hitam sejak pemberlakuan kembali sanksi pada 2018.
Para pejabat mengatakan kapal tanker MT Horse yang terdaftar di Iran dan MT Freya berbendera Panama milik Cina, telah melanggar aturan yang mengatur jalur melalui tiga jalur laut kepulauan Indonesia dengan berlabuh di luar koridor 25 mil laut, mematikan transponder dan menutupi nama kapal mereka.
Sebuah kapal patroli Penjaga Pantai menahan 36 awak Iran dan 25 awak Cina dan mengawal 2 kapal tanker VLCC (Very Large Crude Carriers) ke Pulau Batam untuk penyelidikan lebih lanjut oleh tim lintas-kementerian yang dibentuk khusus.
Kapal tanker MT Horse seberat 163.660 ton itu disewa oleh National Iranian Oil Company (NIOC) pada September 2020 untuk mengirimkan 2,1 juta barel kondensat ke Venezuela yang sama-sama dikenai sanksi AS. Kapal itu kembali ke Iran pada Oktober 2020 membawa minyak mentah berat Venezuela.
Asia Times mencatat, para pelacak angkatan laut pekan ini telah mengikuti laju kapal tanker kedua Iran melalui Selat Malaka sepanjang 933 kilometer, salah satu jalur air paling banyak digunakan di dunia.
Organisasi Maritim Internasional (IMO) mewajibkan kapal dagang untuk menggunakan transponder mereka demi keselamatan dan transparansi. Tetapi mereka dapat mematikan AIS jika menghadapi ancaman pembajakan atau bahaya serupa.
Kementerian Luar Negeri Indonesia belum menanggapi permintaan Kementerian Luar Negeri Iran untuk informasi lebih lanjut tentang penyitaan pada Minggu (24/1). Pernyataan Iran mengklaim insiden itu disebabkan “masalah teknis, yang biasa terjadi dalam pengiriman”.
Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengatakan masalah sanksi berada di luar yurisdiksinya, tetapi tidak jelas apakah pemerintah Indonesia merasa terikat oleh sanksi sepihak Amerika atau mengikuti langkah PBB.
Kapal pemotong Penjaga Pantai KN Marore-322 mendeteksi 2 kapal tanker itu di radar ketika mereka berlabuh tanpa lampu sekitar 60 kilometer di sebelah barat ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak.
Saat kapal patroli mendekat, kapal tanker MT Horse baru saja mulai secara ilegal mentransfer 2,2 juta barel minyak mentah ke MT Freya, yang pemiliknya terdaftar sebagai Shanghai Future Ship Management.
Sinyal Freya terakhir diterima oleh layanan komersial satelit pada 2 Januari 2021 ketika kapal berbobot 160 ribu ton itu mendekati ujung utara selat antara Pulau Batam dan Bintan dengan Singapura, menurut layanan pelacakan Pole Star.
“Indonesia mungkin memilih untuk tidak melakukan apa pun,”kata analis tersebut. “Saya tidak yakin mereka akan menyita kiriman, tetapi mereka ingin menegaskan mereka tidak ingin hal semacam ini terjadi di perairan mereka.”
Terlepas dari sanksi AS, Cina telah lama menjadi pembeli utama minyak Iran, meskipun impor minyak mentah dan kondensat turun dari 400 ribu barel menjadi 225 ribu barel per hari pada paruh kedua 2019 dan tampaknya tetap berada di level yang lebih rendah itu hingga tahun 2020.
S&P Global Platts baru-baru ini melaporkan, sebagian besar minyak Iran yang mengalir ke Cina dalam beberapa bulan terakhir telah melalui Uni Emirat Arab dan Malaysia. Keduanya digambarkan sebagai pusat populer untuk transfer antar-kapal.
Pada September 2020, AS memberi sanksi kepada enam perusahaan Cina, termasuk 2 afiliasi Cosco Shipping Line, karena berdagang minyak dengan Iran. Berkantor pusat di Shanghai, Cosco mengoperasikan 423 kapal kontainer, menjadikannya salah satu armada terbesar di dunia.
Desember 2020, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengklaim Cina telah secara efektif memotong pembeliannya atas minyak mentah Iran menjadi nol. Mnuchin menuturkan kepada awak media: “Perusahaan negara Cina tidak membeli minyak dari Iran.”
Dalam langkah menyiasati sanksi, seringkali ada laporan tentang kapal tanker yang terkait dengan Iran melakukan “spoofing” atau memalsukan lokasi dan menyamarkan identitas mereka, beberapa di antaranya menggunakan nama kapal yang telah dipreteli.
Banyak negara hanya mematuhi sanksi PBB. Pada 2018, Komisi Eropa menyatakan sanksi AS terhadap Iran batal demi hukum di Eropa, lantas melarang warga negara dan perusahaan Eropa untuk mematuhinya.
Posisi Indonesia ambivalen, tetapi tahun lalu Indonesia bergabung dengan 13 negara lain dalam 15 anggota Dewan Keamanan PBB, yang memutuskan untuk tidak mengambil tindakan lebih lanjut atas upaya AS untuk memicu kembalinya sanksi PBB terhadap Iran.
AS jelas tidak senang. “Izinkan saya memperjelas: pemerintahan (Presiden AS Donald) Trump tidak takut berdiri sendiri dalam masalah ini,” ujar Duta Besar AS untuk PBB Kelly Craft, sebagaimana ditulis Asia Times. “Saya hanya menyesal, anggota lain dari dewan ini telah tersesat dan sekarang menemukan diri mereka mendukung teroris.”
Pengusaha Indonesia Sunarko Kuntjoro dan tiga perusahaannya didakwa di pengadilan negeri AS pada Desember 2019 karena secara tidak sah mengekspor suku cadang pesawat udara AS ke maskapai penerbangan Iran antara 2011 dan 2018. Kasus itu hingga kini masih belum diselesaikan.
Sunarko Kuntjoro (68) adalah mantan wakil presiden maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia. Di sana ia pernah bertanggung jawab atas rekayasa dan pemeliharaan saat menjabat di bawah CEO Emirsyah Satar, yang tahun lalu dijatuhi hukuman delapan tahun penjara karena penyuapan.
Pada Desember 2020, Departemen Kehakiman AS mencapai penyelesaian 1,5 juta dolar AS, dengan perusahaan milik keluarga terkaya Indonesia Hartono atas 28 pelanggaran sanksi perdagangan yang dijatuhkan pada Korea Utara untuk menekan Korut agar meninggalkan program senjata nuklirnya.
PT Bukit Muria Jaya (BMJ), anak perusahaan raksasa tembakau Djarum, juga menandatangani perjanjian penuntutan yang ditangguhkan dengan Departemen Kehakiman AS karena diduga bersekongkol untuk melakukan penipuan bank sehubungan dengan ekspor kertas rokok ke Korea Utara, sebagaimana laporan Asia Times. [Asia Times/mata-mata politik]