CrispyVeritas

Dikritik Rakyatnya Terlalu Pro-Cina, Pemerintah Kepulauan Solomon Akan Larang Facebook

Kisruh politik seputar pemerintah yang dianggap terlalu berada dalam pengaruh Cina mengancam keutuhan negeri kepulauan tersebut

JERNIH—Pemerintah Kepulauan Solomon akan melarang Facebook, menyusul gelombang kritik antipemeritah yang menyoal pemerintah negara itu terlalu pro-Cina. Kisruh politik seputar pemerintan yang dianggap terlalu berada dalam pengaruh Cina mengancam keutuhan negeri kepulauan tersebut

Kepulauan Solomon saat ini bersiap menjadi satu-satunya negara demokratis yang melarang Facebook untuk waktu tidak terbatas. Pemerintah dikabarkan sedang menyiapkan kerangka hukum menyusul rapat kabinet di ibu kota Honiara, Selasa (17/11).  Jika terwujud, Kepulauan Solomon akan bergabung dengan Cina, Iran dan Korea Utara yang sebelumnya sudah melarang platform media sosial asal AS tersebut.

Menteri Komunikasi Peter Shanel Agovaka yang termasuk paling aktif mengkampanyekan larangan Facebook membenarkan keputusan tersebut kepada harian Solomon Times. Dia mengaku sejumlah anggota kabinet mengkhawatirkan minimnya legislasi untuk “mengatur penggunaan internet.”

“Perkataan kasar terhadap para menteri, perdana menteri, pembunuhan karakter, defamasi karakter, semua ini adalah sumber kekhawatiran,” kata dia. “Penggunaan internet di Kepulauan Solomon harus diregulasi untuk melindungi kaum muda dari konten berbahaya,” kata dia.  

Dia mengatakan media-media nasional akan beroperasi secara normal, meski tanpa akses terhadap Facebook. Seorang jurubicara Facebook mengatakan larangan tersebut “berdampak pada ribuan warga Kepulauan Solomon,” dan Facebook berniat untuk menemui pemerintah di Honiara.

Facebook tergolong populer di Kepulauan Solomon, dengan 77.800 pengguna hingga April 2019 lalu. Jumlah tersebut mencakup 11,8 persen dari total populasi yang berkisar 650.000 jiwa. Pemerintah sebenarnya juga menggunakan Facebook untuk sosialisasi kebijakan atau menyebar informasi kesehatan terkait pandemi.

Namun belakangan kanal media sosial tersebut menjadi wadah kritik dan protes terhadap distribusi dana bantuan Covid-19, dan dampak dari keputusan pemerintah mengadopsi politik ‘satu Cina’ dan pergeseran hubungan diplomasi dari Taiwan ke Beijing.

Kritik terhadap pengaruh Cina 

Perubahan sikap Perdana Menteri Manasseh Sogavare terkait Cina diyakini digerakkan oleh kebutuhan ekonomi. Media AS, CNN, melaporkan, Kepulauan Solomon sampai mempertimbangkan untuk menyewakan pulau kepada Cina, dan menawarkan kewarganegaraan bagi investor asal negeri tirai bambu tersebut.

Langkah Sogavare membawanya ke dalam perseteruan sengit dengan Daniel Suidani, Perdana Menteri untuk Provinsi Malaita yang berpenduduk paling padat di Kep. Solomon. Belum lama ini dia mengajukan referendum kemerdekaan bagi pulaunya.

Tidak heran jika langkah pemerintah melarang Facebook mengundang kritik pemimpin oposisi, Matthew Wale. “Politisi selalu khawatir jika rakyat mendapat akses informasi dan bisa mengekspresikan pandangannnya secara bebas. Tapi hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mengusulkan larangan,” kata Wale kepada Reuters.

“Saya sama sekali tidak melihat adanya satu pun pembenaran untuk larangan semacam itu.”

Hal senada dilayangkan organisasi HAM, Amnesty International. Menurut lembaga yang bermarkas di Inggris itu, larangan terhadap media sosial hanya karena pemerintah tidak menyukai konten komentar para pengguna adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.  “Melindungi perasaan sensitif pejabat pemerintah bukan alasan yang bisa dibenarkan untuk membatasi kebebasan berekspresi, yang juga tercantum dalam konstitusi Kepulauan Solomon,” kata AI.  

Saat ini larangan itu belum dijalankan. Menteri Komunikas Agovaka mengatakan pihaknya “sedang berdiskusi dengan operator untuk mencari cara mengimplementasikannya.”

Kepulauan Solomon bukan negara kepulauan Pasifik pertama yang melarang Facebook. Pada awal 2018, Papua Nugini melarang platform buatan Mark Zuckerberg itu selama satu bulan. Adapun pemerintah Nauru melarang Facebook selama tiga tahun antara 2015-2018, menyusul badai kritik seputar perlakuan semena-mena pemerintah terhadap pengungsi dan pencari suaka. [Reuters, DPA,CNN, Solomontimes]

Back to top button