DPR Minta Kemenlu Sikapi Cuitan Dubes Ukraina dengan Lebih Bijak
Bobby berharap, ke depan Dubes Vasyl dan Kemenlu bisa sama-sama bijak memahami posisi politik masing-masing dan tidak perlu meneruskan polemik di media sosial karena tentu Indonesia memiliki kebijakan dalam memberikan simpati pada Ukraina tanpa perlu diperbandingkan dengan negara lain.
JERNIH– Anggota Komisi I DPR, Bobby Adhityo Rizaldi, menilai cuitan Duta Besar Ukraina, Vasyl Hamianin di media sosial Twitter yang dianggap kurang bijak jika mengacu Konvensi Wina tentang hubungan diplomatic, sebaiknya disikapi dengan bijak oleh pihak Kementerian Luar Negeri.
Dia menjelaskan jika dilihat Pasal 41 Konvensi Wina maka Duta Besar Ukraina, Vasyl Hamianin tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia yang cenderung bersikap sangat responsif terhadap tindakan agresif yang dilakukan Israel terhadap Palestina, namun terkesan permisif pada agresi Rusia terhadap Ukraina.
“Walaupun cuitan tersebut kurang tepat dalam merespons kebijakan politik Indonesia yang berdaulat dalam perang ini, tapi rasanya tidak perlu diperpanjang ataupun sampai mengganggu hubungan bilateral kedua negara,”ujar Bobby, Senin (15/8). Bobby berharap, ke depan Dubes Vasyl dan Kemenlu bisa sama-sama bijak memahami posisi politik masing-masing dan tidak perlu meneruskan polemik di media sosial karena tentu Indonesia memiliki kebijakan dalam memberikan simpati pada Ukraina tanpa perlu diperbandingkan dengan negara lain.
Dia berharap cuitan di media sosial muncul akibat emosi Dubes Ukraina itu dapat diselesaikan secara musyawarah dengan pihak Kemenlu. “Ke depan hendaknya, Beliau tidak perlu mempertanyakan lagi sikap Indonesia, sampaikan saja apa setuju dan terima kasih, atau kecewa dan menentang, supaya jelas posisinya,”kata Bobby.
Pendapat lebih detil dinyatakan dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI), Ali Abdullah Wibisono. Ali menilai pemanggilan Kemlu didasari prioritas Indonesia menjaga jalur komunikasi yang efektif dengan semua kekuatan geopolitik.
“Kebijakan luar negeri Indonesia adalah melakukan balancing antara kekuatan-kekuatan geopolitik yang berkompetisi, sehingga kecaman terhadap Rusia tidak dilakukan untuk mencegah alienasi Rusia dari relasi dengan Indonesia, maupun dengan ASEAN,”ujar Ali.
Sementara alasan berikutnya adalah Indonesia sebagai negara kunci bagi ASEAN sedangkan Rusia adalah anggota ASEAN Regional Forum dan East Asia Summit. Dengan alasan tersebut kehadiran Rusia di dua mekanisme regional yang bersentral pada ASEAN ini diusahakan tidak berakhir.
“Jika Indonesia memilih untuk mengutuk Rusia, maka seluruh relasi diplomatik dan keamanan Indonesia dengan Rusia pun berakhir, begitu juga dengan sikap ASEAN yang akan mengucilkan Rusia,”ujar dia.
Sedangkan G20 adalah salah alasan ketiga, di mana posisi ketua yang tengah berada di tangan Indonesia yang tentu tidak ingin G20 menjadi G19 karena tidak mengundang Rusia. Cepatnya Indonesia mengecam Israel adalah karena Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel.
Dalam lingkar konsentrik kebijakan luar negeri Indonesia, Israel tidak masuk dalam prioritas. Tapi hal ini mungkin akan berubah, karena Indonesia ingin punya pengaruh dalam proses perdamaian Israel-Palestina.
Ali Abdullah Wibisono menolak menyatakan Indonesia takut terhadap Rusia karena bagaimanapun Indonesia memiliki dependensi (ketergantungan) pada derajad yang terbatas dimana alutsista Rusia memiliki porsi yang signifikan di antara sebaran negara pemasok alutsista.
Dia juga mengingatkan Indonesia menjaga strategic equidistance dengan kekuatan-kekuatan geopolitik. “Memutus relasi kemitraan dengan Rusia juga bisa menciptakan jarak dengan Cina karena kedua negara itu saat ini memiliki aliansi yang lebih erat sejak invasi ke Ukraina,”kata dia, menegaskan.
Pendapat berbeda diungkapkan Radityo Dharmaputra, Pengajar Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Airlangga (Unair) yang menilai pemanggilan Dubes Ukraina adalah cerminan sikap Pemerintah di masa Joko Widodo.
“Terutama di masa Jokowi, selalu mencoba hati-hati kalau berurusan sama negara besar, dan mencoba tidak ikut-ikut. Sangat pragmatis, tergantung Indonesia dapat apa, padahal seharusnya kalau mau sesuai konstitusi, ada amanat soal antipenjajahan dan mendorong perdamaian dunia,”kata Radityo.
Pada saat yang sama, lanjutnya, ada variabel politik domestik. Pemerintah berhitung pada dukungan publik. Dan pemerintahan saat ini kan terkenal sangat “mendengar” publik. Bahkan kebijakan domestik saja bisa dibatalkan begitu ada tentangan publik.
Dalam konflik Israel-Palestina jelas sekali soal sentimen agama di publik Indonesia. Sementara dalam konflik Rusia-Ukraina, sayangnya Rusia karena berhasil melakukan propaganda sebagai teman dan aliansi Muslim. Sebaliknya Ukraina diposisikan sebagai teman Yahudi. [ ]