Solilokui

Kepo Publik, Pembongkar Misteri Kasus Irjen Ferdy Sambo

Tetapi siapa pun yang mencermati kasus ini sulit untuk mengabaikan peran kepo-nya publik. Tanpa antusiasme, dibarengi desakan kuat dari publik, sangat mungkin kasus ini menyublim hilang, laiknya kamper di lemari pakaian. Baunya ada, tapi wujudnya telah hilang entah kemana. Ingat saja kasus km 50 Tol Cikampek yang hingga kini sekadar jadi bisik-bisik warga? Semua tampaknya karena keberatan publik pun hanya berhenti sebatas bisik-bisik, tak lebih dari itu.

Oleh   : Darmawan  Sepriyossa

JERNIH– Akankah Irjen Ferdy Sambo, yang saat ini telah menjadi tersangka kasus pembunuhan Brigadir Yosua, mengalami apa yang terjadi pada tertuduh kasus pembunuhan kopi sianida, Jessica Kumala Wongso, yang ia ungkap pada saat masih menjadi penyidik Polri? Besar kemungkinan ya, apalagi melihat hasrat publik yang penuh kepo alias rasa ingin tahu pada kasus ini.

Darmawan Sepriyossa

Jangan lupa, kita hidup di era informasi sekaligus era entertainment. Segala hal dianggap dan kita jadikan sebagai hiburan, sampai-sampai nestapa yang dialami lian alias orang lain sekali pun. Kita bisa mengingat, bahkan sekitar enam tahun lalu itu, persidangan “Kasus Kopi Sianida” ditayangkan langsung laiknya sinetron berseri di banyak stasiun televisi nasional. Semua akibat demand keingintahuan publik yang besar, yang pada akhirnya kemudian disederhanakan industri tv sebagai urusan rating.

Mungkinkah hal serupa akan terjadi pada kasus Ferdy Sambo (FS)? Sangat boleh jadi. Paling tidak bila melihat banyaknya kesamaan pada kedua kasus: kasus kopi sianida dan kasus pembunuhan yang melibatkan FS.

Kasus kopi sianida yang telah membuat Jessica Kumala Wongso divonis 20 tahun penjara  adalah kasus yang banyak menyita perhatian publik. Kasus Duren Tiga yang melibatkan FS, seorang jenderal polisi yang penuh kuasa dan moncer secara karier, sama membetot keingintahuan publiknya, bahkan bisa jadi lebih besar.

Bila kasus kopi sianida disebut-sebut sebuah harian terkemuka nasional sebagai penuh drama, hingga pengadilannya ditayangkan bak drama sinetron oleh beberapa stasiun televisi nasional, kasus Duren Tiga pun tidak kurang-kurang dramanya. Bahkan kasus yang tengah hits itu punya kelebihan karena jelas-jelas melibatkan adanya scenario, lain dari sengkarut kopi sianida. Belum lagi sampai ada undangan yang membuat Kompolnas secara khusus datang ke ruang kerja FS, hanya untuk mendengarkan FS menangis, mengaku teraniaya. Konon, menurut pengakuan Menko Polhukam Mahfud MD di depan Deddy Corbuzier, hal itu dilakukan hingga dua kali.

“Yang dari Kompolnas, Mbak Poengky pulang, nggak ngerti apa-apa, terus Kompolnas kembali dipanggil, nangis-nangis lagi, ceritanya sama,”kata Mahfud kepada Deddy. “…Kan nggak pernah ada jenderal nangis, nah ini jenderal nangis kan  (bisa dianggap) beneran.”

Itu hanya dua hal saja yang bisa kita elaborasi dari sekian banyak persamaan keduanya.

Sebagaimana kasus Jessica, memang ada pula kalangan yang menguatirkan terjadinya semacam ‘trial by the press’—perhatikan dua tanda petik yang saya tulis—dalam kasus FS ini. Dalam kasus Jessica, sorotan dan tekanan public yang berlebihan terhadap kasus ini sempat menuai protes dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan sejumlah pengamat.

KPI saat itu bahkan sempat mengirimkan surat peringatan kepada tiga stasiun televisi, yakni TVOne, Kompas TV, dan I-NewsTV, karena dalam pandangan lembaga tersebut telah memberi porsi berlebihan terhadap penayangan sidang kasus itu. Tidak berimbangnya porsi yang diberikan kepada keluarga korban yang bersaksi di persidangan, dianggap KPI berpotensi menggiring opini publik serta mengenyampingkan prinsip praduga tidak bersalah. Belum lagi sekian banyak hal yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan kasus pembunuhan, disiarkan berulang-ulang, hingga menurut seorang pengamat televisi dari lembaga Remotivi,”.. diulang-ulang dan didramatisasi.”

Ketika akhirnya setelah 32 kali persidangan, majelis hakim memutuskan Jessica bersalah, Kompas.com menulis, banyak pandangan menyatakan putusan dijatuhkan meski tanpa bukti yang benar-benar konkret. Misalnya, tidak ada saksi yang melihat Jessica memasukkan sianida ke dalam kopi yang diminum Mirna. Belum lagi celana yang dipakai Jessica saat pembunuhan terjadi—yang mungkin kena ceceran sianida, tak ditemukan hingga kini. Jessica pun tak pernah mengakui dirinya melakukan pembunuhan tersebut.

Tetapi siapa pun yang mencermati kasus ini sulit untuk mengabaikan peran kepo-nya public. Tanpa antusiasme, dibarengi desakan kuat dari public, sangat mungkin kasus ini menyublim hilang, laiknya kamper di lemari pakaian. Baunya ada, tapi wujudnya telah hilang entah kemana. Ingat saja kasus km 50 Tol Cikampek yang hingga kini sekadar jadi bisik-bisik warga? Semua tampaknya karena keberatan publik pun hanya berhenti sebatas bisik-bisik, tak lebih dari itu.

Terbongkarnya satu demi satu kepingan teka-teki terbunuhnya Brigadir Yosua terjadi karena tak hanya pertanyaan kencang keluarga korban jauh di Jambi, melainkan pula karena bergunungnya kepo public. Kepo publiklah yang menjadi pendorong warga untuk terus mempertanyakan, menyoalnya di medsos, menjadikannya trending topic di Twitter, sekaligus akhirnya memotivasi Polisi untuk membongkar tuntas kasus ini.

Akan halnya persamaan antara kasus FS dengan kasus kopi sianida, saya sendiri sangat percaya, setiap kasus, laiknya hukum Darwin 1, selalu unik dan tak persis sama dengan kasus lain. Apalagi, dalam kasus FS telah muncul temuan terbaru dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), berupa pengakuan Bharada E atau Richard Eliezer bahwa FS merupakan  penembak pertama dalam kasus tewasnya Brigadir Yosua Hutabarat (Brigadir J). Pengakuan itu didapatkan LPSK ketika melakukan pemeriksaan terhadap Bharada E, Jumat (12/8) lalu. “Iya (Bharada E mengaku Ferdy Sambo selaku eksekutor pertama Brigadir J),” kata Juru Bicara LPSK, Rully Novian, kepada Inilah.com di Jakarta, Ahad (14/8).

Menurut Rully, atas dasar keterangan tersebutlah Bharada E akhirnya mendapat perlindungan darurat dari LPSK sebagai justice collaborator (JC).

Pengakuan Bharada E yang mengonfirmasi bahwa FS merupakan eksekutor atau penembak pertama Brigadir J di rumah dinasnya di Kompleks Polri Duren Tiga, itu persis dengan informasi yang diterima Inilah.com sebelumnya, sekitar pekan lalu.

Saat itu sumber Inilah mengatakan, setelah pemeriksaan marathon dua kali 24 jam, pada Sabtu (6/8) lalu Bharada E kembali menjalani pemeriksaan selama tujuh jam, didampingi pengacaranya saat itu, Muhammad Burhanuddin dan Deolipa Yumara. Pemeriksaan dikatakan baru berakhir pada pukul 4, Ahad (7/8) dini hari. Pengakuan itu terekam dalam BAP yang memuat 66 pertanyaan dan jawaban Bharada E,  termasuk pengakuan kronologis yang ditulis tangan dan dicap jempol oleh Bharada E sendiri.

Terhadap informasi tersebut sejak pekan lalu Inilah.com telah mencoba melakukan konfirmasi. Tidak hanya kepada Irjen FS yang saat itu telah diamankan di Mako Brimob Kelapa Dua, juga kepada pengacara keluarga FS, Patra M Zen dan Arman Hanis. Namun tak satu pun dari mereka merespons.

Nomor kontak FS, yakni 0811959XXX bahkan tak bisa ditelepon maupun dikirimi pesan WhatsApp (WA). Profil WA di selular FS bahkan berubah sejak Sabtu (6/8) lalu. Sebelumnya FS memasang foto diri dalam pakaian polisi lengkap, bersama sang istri yang berbusana seragam Bhayangkari berwarna merah jambu. Pekan lalu, tampilan nomor WA tersebut sudah kosong tanpa foto.

Kepada tim kuasa hukum keluarga FS, Inilah.com pun melayangkan panggilan telepon dan pesan WA. Namun tampaknya, Patra M Zen, salah seorang kuasa hukum keluarga FS, terkesan enggan merespons dan memberikan keterangan.

Senin (8/8) siang, beberapa kali Inilah.com menghubungi Patra melalui WA bernomor 08164825XXX untuk meminta kesediaan dan waktu untuk diwawancarai. Namun, hingga 14.32 WIB hari itu, Patra belum merespons permintaan tersebut, meski WA Patra terlihat dalam keadaan online. Sejumlah pertanyaan langsung Inilah.com kepadanya yang dirimkan melalui WA pun tidak berbalas.

Inilah.com kembali berusaha meneleponnya pada pukul 14.40 WIB, kendati tetap tak kunjung dijawab. Baru dua menit kemudian, Patra Patra membalas pesan tanpa menjawab substansi pertanyaan yang diajukan. Patra beralasan dirinya tengah menghadiri acara wisuda anaknya.  “Izin Bang, saya lagi graduation anak,” ujar Patra, saat itu.  

Anggota kuasa hukum keluarga FS lainnya, Arman Hanis juga tak kunjung memberikan respons. Sebagaimana kepada Patra, pada pukul 14.33 WIB Senin pekan lalu, Inilah.com mengirimkan pesan permohonan wawancara melalui WhatsApp kepada Arman Hanis pada nomor 0818933XXX. Meski dalam keadaan online, Arman tak kunjung menjawab pesan yang dikirimkan. Daftar pertanyaan yang sama sebagaimana dikirimkan kepada Patra, juga tidak mendapatkan respons. Begitu pula manakala Inilah.com kembali menghubungi Arman melalui panggilan telepon.

Pada sebuah cerpennya, pengarang terkemuka Rusia, Anton Chekov, membubuhkan judul “Diam Adalah Emas”.  Namun belum tentu bungkamnya FS dan para pengacaranya saat ini juga merupakan hal yang ema situ. [ Inilah.com]

Back to top button