Dua Hal Ini yang Perlu Disoroti RUU TPKS

Memang, sepanjang perjalanan pembuatannya sejak tahun 2016, RUU TPKS banyak mengalami perubahan seperti penghapusan sejumlah kategori kekerasan seksual. Namun Kompaks masih mendorong pembahasan selanjutnya agar masuk ke wilayah yang lebih substansial lagi.
JERNIH- Minimnya aturan mengenai pemenuhan hak korban kekerasan seksual terkait pemulihan dalam draft RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi sorotan. Padahal, itu yang sangat krusial.
Makanya, korban kekerasan seksual dan pegiat perlindungan perempuan, meminta RUU TPKS yang sudah didesak pengesahannnya oleh Presiden Jokowi mendetilkan bagaimana negara menyokong pemulihan korban dan kategori kekerasan seksual dalam substansinya.
Meli, seperti diberitakan BBC News yang bukan nama sebenarnya, pernah menjadi korban kekerasan seksual saat masih kecil. Hingga usianya menginjak 40 tahun, dia masih mengalami trauma.
Dia bilang, tak mudah mencapai titik benar-benar pulih dan trauma. Dia menilai, tak akan pernah pulih dan trauma sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Meli bilang, sudah menghabiskan cukup banyak uang untuk memulihkan traumanya itu. Beruntung dia masih sanggup membayarnya sendiri. Makanya, dia mendorong pemerintah melalu RUU TPKS bisa mengakomodasi pelayanan pemulihan para korban.
Sementara itu, anggota Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) Naila Rizqi, mempertanyakan minimnya aturan terkait proses pemulihan korban yang tak banyak dibahas dalam draft RUU TPKS. Padahal, korban juga menjadi salah satu isyu krusial dalam kasus tersebut.
“Percuma kalau kita punya RUU TPKS tapi pembahasan soal ketersediaan layanannya sangat minim. Padahal itu yang sebenarnya krusial di dalam pemenuhan hak-hak korban,” kata Naila.
Memang, sepanjang perjalanan pembuatannya sejak tahun 2016, RUU TPKS banyak mengalami perubahan seperti penghapusan sejumlah kategori kekerasan seksual. Namun Kompaks masih mendorong pembahasan selanjutnya agar masuk ke wilayah yang lebih substansial lagi.
Di lain pihak, Ketua Panitia Kerja RUU TPK DPR RI Willy Aditya mengatakan, kesempatan merevisi dengan menambahkan substansi masih mungkin dilakukan. Namun hal itu tergantung keputusan dari pemerintah sebagai pihak yang menyusun Daftar Inventaris Masalah.
Sementara itu, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak Ratna Susianawati bilang, soal pemulihan korban nantinya bisa diatur dalam peraturan pelasana. Sebab tidak semua harus ditampung pasal dam Undang-Undang.
“Tidak semua itu harus ditampung dalam pasal dalam undang-undang. Yang sifatnya besar-besar, sifatnya kebijakan itu baru. Tapi kalau sudah teknis, akan ditindak lanjuti dalam peraturan turunannya,” kata Ratna.
Dalam draft RUU TPKS per tanggal 8 Desember 2021, hak soal pemulihan korban diatur dalam pasal 51 berupa pemulihan fisik, psikis, ekonomi, sosial dan budaya, serta ganti rugi sebelum, selama dan setelah proses peradilan. Ratna bilang, pihaknya tentu mengakomodir masukan dari masyarakat agar RUU ini mampu menjadi payung hukum komprehensif dalam memberi perlindungan terhadap korban.
RUU TPKS juga nampaknya perlu menyoroti praktek kawin tangkap yang pernah dialami Citra (bukan nama sebenarnya), di Kabupaten Sumba Tengah pada 2017 lalu. Ketika sedang bekerja, dia diculik dan dibawa ke rumah pelaku. Meski sudah memberontak dan melawan, Citra tetap dipaksa menikah.
“Di situ saya protes, saya menangis, saya banting diri, kunci (motor) yang saya pegang saya tikam di perut saya sampai memar. Saya hantam kepala saya di tiang-tiang besar rumah, maksudnya supaya mereka kasihan dan mereka tahu saya tidak mau,” kata Citra saat diwawancara BBC News pada 2020 lalu.
Pemaksaan perkawinan yang dialami Citra, perlu menjadi salah satu substansi yang dihilangkan dalam draft RUU TPKS. Padahal sebelumnya, hal ini juga termasuk kategori kekerasan seksual dan tentu bisa dijerat pidana.
“Pemaksaan perkawinan itu ditolak karena katanya, ‘Masa mau mempidana orang tua?’ Padahal korbannya juga mengalami kekerasan seksual karena berarti hubungan seksual dalam perkawinan juga perkosaan, pemaksaan,” kata Naila.
Awalnya, draft RUU TPKS memuat sembilan jenis kekerasan seksual yakni, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual. Namun, dalam draft per tanggal 8 Desember 2021, hanya menyisakan tiga jenis kekerasan saja yakni, pelecehan dan eksploitasi seksual, serta pemaksaan kontrasepsi.[]