Crispy

FFI 2025; Debut Emas Reza Rahadian dan Rekor Abadi Christine Hakim

Dari horor ke tema keluarga, FFI 2025 seperti mencari jalan baru. Nama Reza Rahadian dan Christine Hakim jadi sorotan utama pergelaran ke 70 kalinya ini.

JERNIH –  Panggung Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki (TIM) bergemuruh tadi malam. Sorot lampu dan riuh tepuk tangan mengiringi momen bersejarah bagi perfilman nasional. Festival Film Indonesia (FFI) 2025 baru saja usai digelar, menandai tonggak penting 70 tahun perjalanan apresiasi sinema di tanah air.

Tahun ini bukan sekadar perayaan rutin. Di usianya yang ketujuh dekade, FFI 2025 menjadi refleksi matang tentang keberagaman dan regenerasi. Mengusung tema besar “Puspawarna Sinema Indonesia”, festival tahun ini seolah ingin menegaskan wajah baru perfilman kita: beragam, berani, dan inklusif.

Pemilihan tema “Puspawarna” (beraneka warna) bukan tanpa alasan. Jika tahun-tahun sebelumnya FFI sering identik dengan narasi kebangkitan pasca-pandemi atau kritik sosial yang tajam, tahun ini fokus bergeser pada perayaan spektrum budaya dan latar belakang sosial yang semakin kaya.

Nuansa nostalgia pun terasa kental. Kembalinya acara puncak ke Taman Ismail Marzuki (TIM) memperkuat simbol “pulang ke rumah” bagi para seniman, setelah beberapa tahun terakhir acara kerap digelar di venue konvensi besar. Ini adalah penghormatan bagi sejarah FFI yang pertama kali digagas pada 1955 oleh Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik.

Namun, sorotan utama malam itu justru datang dari sosok yang biasanya berdiri di depan kamera. Reza Rahadian, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Komite FFI, tahun ini hadir dengan peran baru yang mengejutkan: seorang sutradara.

Kejutan Pangku dan Dominasi Drama Keluarga

Transisi Reza Rahadian dari aktor watak menjadi sutradara berbuah manis. Film debut penyutradaraannya, Pangku, sukses menyabet gelar paling bergengsi sebagai Film Cerita Panjang Terbaik. Narasi humanis yang kuat dalam Pangku berhasil menyingkirkan film-film blockbuster lainnya, membuktikan bahwa cerita personal yang digarap dengan hati memiliki tempat istimewa di mata juri.

FFI 2025 juga menjadi panggung bagi drama keluarga yang hangat. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang didominasi thriller (seperti era Marlina atau Penyalin Cahaya), tahun ini sinema Indonesia terasa lebih “membumi”.

Berikut daftar pemenang utama yang mencuri perhatian; Film Cerita Panjang Terbaik: Pangku (Sutradara: Reza Rahadian), Sutradara Terbaik: Yandy Laurens (Sore: Istri dari Masa Depan),  Pemeran Utama Pria Terbaik: Ringgo Agus Rahman (Panggil Aku Ayah) — Sebuah pembuktian konsistensi emosional Ringgo. Pemeran Utama Perempuan Terbaik: Sheila Dara Aisha (Sore: Istri dari Masa Depan). Sedang Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik: Christine Hakim (Pangku)

Di sisi teknis, film Pengepungan di Bukit Duri dan The Shadow Strays mendominasi kategori artistik dan sinematografi, menunjukkan standar visual film Indonesia yang kian melesat.

Beda 2025: Lebih Cair dan Membumi

Apa yang membedakan FFI tahun ini dengan tahun lalu? Jika FFI 2024 (yang dikuasai oleh Jatuh Cinta Seperti di Film-Film) banyak bereksperimen dengan format visual hitam-putih dan meta-sinema, FFI 2025 kembali ke akar.

Genre tahun ini terasa lebih cair. Tidak ada dominasi tunggal satu genre. Drama keluarga yang tenang dan reflektif seperti Pangku dan Sore menjadi primadona. Isu-isu yang diangkat pun sangat spesifik: potret pinggiran kota dan dinamika kelas menengah-bawah yang sangat relate dengan penonton urban masa kini.

Malam itu juga menjadi saksi kedigdayaan seorang legenda hidup. Christine Hakim kembali memecahkan rekor, dan uniknya, rekor itu adalah miliknya sendiri.

Lewat perannya yang memukau di film Pangku, Christine membawa pulang Piala Citra untuk kategori Pemeran Pendukung Wanita Terbaik. Kemenangan ini mengukuhkan koleksinya menjadi total 11 Piala Citra.

Sejak debutnya di Cinta Pertama (1973), Christine membuktikan bahwa relevansi seorang aktor tidak ditentukan oleh usia, melainkan oleh kedalaman rasa. Ia tetap menjadi standar emas akting di Indonesia, melintasi zaman dari era seluloid hingga era digital.

Meski Pangku menang besar, rekor kemenangan terbanyak dalam satu judul film masih dipegang oleh Penyalin Cahaya (2021) karya Wregas Bhanuteja, yang kala itu menyapu bersih 12 Piala Citra berkat keunggulan teknis dan penceritaan yang merata.(*)

BACA JUGA: AMI Awards 2025: Malam Kejayaan Baskara Putra dan Bintang Baru Prince Poetiray

Back to top button