CrispyVeritas

FKMPS Dukung Penulisan Ulang Sejarah yang Dikerjakan dengan Penuh Kehati-hatian

“Menulis ulang sejarah adalah pekerjaan besar yang menyangkut masa depan bangsa,” ujar Prof. Yuddy Chrisnandi, Guru Besar Universitas Nasional, dalam keterangan kepada wartawan. Ia menyambut baik semangat Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk meluruskan sejarah, namun mengingatkan bahwa target penyelesaian naskah sejarah pada Agustus 2025 terlalu terburu-buru dan berisiko menimbulkan distorsi baru.

JERNIH– Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS) menyatakan dukungan terhadap rencana pemerintah menulis ulang sejarah nasional Indonesia, namun dengan satu syarat penting: proses itu harus dilakukan secara hati-hati, jujur, dan melibatkan publik secara luas.

Hal ini disampaikan dalam konferensi pers FKMPS yang digelar Selasa, 8 Juli 2025, di Balimuda Center, Jakarta, bertajuk “Sejarah Kebangsaan Indonesia adalah Warisan Para Pendiri Bangsa dan Negara Indonesia untuk Membangun Bangsa dan Jati Diri Bangsa”. Dalam forum tersebut, para tokoh yang tergabung dalam FKMPS menyampaikan sikap resmi mereka mengenai rencana besar pemerintah yang saat ini ditangani langsung oleh Kementerian Kebudayaan RI.

“Menulis ulang sejarah adalah pekerjaan besar yang menyangkut masa depan bangsa. Oleh karena itu, tidak bisa dikerjakan dengan tergesa-gesa,” ujar Prof. Yuddy Chrisnandi, Guru Besar Universitas Nasional, dalam keterangan kepada wartawan. Ia menyambut baik semangat Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk meluruskan sejarah, namun mengingatkan bahwa target penyelesaian naskah sejarah pada Agustus 2025 terlalu terburu-buru dan berisiko menimbulkan distorsi baru.

Yuddy juga meminta pemerintah memberi ruang partisipasi seluas mungkin bagi masyarakat, akademisi, pelaku sejarah, dan saksi peristiwa. “Kami berharap ada pelibatan semua pihak yang mengetahui kebenaran sejarah. Sejarah tak boleh dibentuk hanya oleh suara dominan, melainkan harus terbuka terhadap banyak kebenaran,” katanya.

Nada serupa disampaikan Bambang Wiwoho, tokoh senior yang juga tergabung dalam FKMPS. Ia menekankan pentingnya sistem kerja yang inklusif, akuntabel, dan berbasis pada sumber asli yang kredibel. “Yang ditulis ini adalah sejarah Indonesia. Maka masyarakat Indonesia harus dilibatkan, tidak hanya sebagai penonton tapi sebagai bagian dari proses,” ujarnya.

FKMPS menilai rencana penulisan ulang sejarah adalah langkah monumental dan momentum strategis untuk membangun narasi kebangsaan yang lebih otentik dan berpijak pada nilai perjuangan rakyat Indonesia sendiri. Mereka juga menggarisbawahi bahwa sejarah adalah warisan pendiri bangsa, bukan komoditas politik sesaat.

Dalam pernyataan resminya, FKMPS yang didirikan pada 4 Desember 2016 menyebut, selama ini narasi sejarah Indonesia kerap ditulis dengan sudut pandang asing atau berdasarkan kepentingan rezim tertentu. Akibatnya, banyak bagian penting dalam sejarah rakyat dan bangsa ini yang terpinggirkan, disederhanakan, bahkan dihapuskan dari ingatan kolektif.

“Sejarah tidak boleh ditulis dengan tergesa-gesa. Ia harus disusun oleh mereka yang memahami makna bangsa dan mampu melihat dengan mata hati serta kebijaksanaan,” kata Laksamana (Purn.) Tedjo Edhie Pudjiatno, pendiri FKMPS yang juga pernah menjabat sebagai Menko Polhukam.

Pertemuan internal FKMPS pada 1 Juli lalu telah menghasilkan sikap bersama bahwa penulisan sejarah tidak boleh dimonopoli oleh birokrasi, apalagi dibatasi oleh target waktu politik. Forum ini juga menyatakan kesiapannya untuk menjadi mitra strategis pemerintah dalam memastikan integritas dan objektivitas proses penulisan ulang sejarah tersebut.

Forum ini diisi oleh sejumlah tokoh terkemuka seperti Batara Hutagalung, DR (HC) Heppy Trenggono, Prof. Taufik Abdullah, Prof. Makarim Wibisono, DR. Mufti Mubarok, Prof. Lily Wasitova, dan Laksda (Purn.) Surya Wiranto.

“Penulisan ulang sejarah jangan menjadi ladang legitimasi kekuasaan baru. Ia harus menjadi cermin kejujuran bangsa, dan jembatan menuju pemulihan memori kolektif yang lama diabaikan,” ujar Bambang Wiwoho.

FKMPS mengingatkan: bangsa yang besar bukanlah bangsa yang paling cepat menulis sejarahnya, melainkan yang paling jujur dan berani menghadapi kenyataan masa lalunya. []

Back to top button