CrispyVeritas

Forum Guru Besar ITB Deklarasikan Manifesto Pendidikan: Jalan Keluar dari Krisis Bangsa

Deklarasi tersebut lahir dari kegelisahan para akademisi terhadap situasi bangsa yang dinilai semakin jauh dari cita-cita pendiri republik. Mereka menyoroti maraknya “tabiat menerabas” atau kebiasaan mencari jalan pintas yang kini dianggap lumrah, dari praktik korupsi, pelanggaran hukum, hingga kecurangan akademik.

JERNIH– Forum Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) resmi mendeklarasikan Manifesto Pendidikan, sebuah seruan moral untuk mengembalikan arah peradaban bangsa melalui jalan pendidikan. Naskah ini ditetapkan dalam Rapat Pleno pada 15 Agustus 2025 dan dibacakan secara resmi pada 1 September 2025.

Deklarasi tersebut lahir dari kegelisahan para akademisi terhadap situasi bangsa yang dinilai semakin jauh dari cita-cita pendiri republik. Mereka menyoroti maraknya “tabiat menerabas” atau kebiasaan mencari jalan pintas yang kini dianggap lumrah, dari praktik korupsi, pelanggaran hukum, hingga kecurangan akademik.

“Tabiat menerabas merupakan penghinaan terhadap nalar dan ancaman serius bagi keberlanjutan peradaban. Lebih parah, perilaku buruk itu kini malah dianggap kewajaran, bahkan dipelajari sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi,” demikian salah satu butir manifesto

Panggilan Sejarah

Manifesto tersebut tidak berdiri di ruang hampa. Para guru besar ITB menempatkan naskah ini dalam bingkai perjalanan panjang bangsa Indonesia. Sejak Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, hingga reformasi 1998, sejarah republik selalu ditandai tonggak besar yang menguji keteguhan bangsa.

Pada 1908, lahir Boedi Oetomo yang menandai munculnya kesadaran politik nasional. Dua puluh tahun kemudian, Kongres Pemuda II melahirkan ikrar satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. “Sejak 1928 itu, kita sepakat menjadikan nalar sebagai kompas penentu arah bangsa,” tulis manifesto.

Proklamasi 1945 melahirkan republik berlandaskan Pancasila. Deklarasi Djuanda 1957 memperluas wilayah Indonesia secara sah di mata dunia, bukan dengan senjata, tetapi dengan kecerdikan diplomasi. Namun, peristiwa 1965, diikuti krisis multidimensi 1998, menunjukkan rapuhnya peradaban bangsa jika tidak disangga kecakapan nalar.

Kini, pada 2025, Forum Guru Besar ITB menyebut situasi bangsa kembali memasuki fase genting. Perubahan iklim, krisis pangan, perpecahan sosial, serta banjir informasi palsu membuat republik membutuhkan arah baru.

Lima Pokok Gagasan

Manifesto Pendidikan merumuskan lima pokok pikiran sebagai pijakan perbaikan:

-Pendidikan bermutu dan terjangkau untuk memajukan peradaban.

-Pendidikan berlandaskan nilai kemanusiaan.

-Kebebasan bernalar dan keluhuran akal budi sebagai dasar pendidikan.

-Gairah belajar sepanjang hayat dipupuk di setiap jenjang.

-Pendidikan berpayung kebinekaan budaya bahari dan kepulauan.

Forum Guru Besar ITB menekankan, hanya melalui pendidikan yang kokoh, bangsa dapat membangun peradaban berkelanjutan. Mereka menolak glorifikasi hasil instan dan menyerukan kembalinya kenikmatan belajar sebagai proses luhur.

Kritik terhadap Budaya Jalan Pintas

Para guru besar juga mengingatkan, penyakit bangsa saat ini justru lahir dari dunia pendidikan itu sendiri. Fenomena menyontek, plagiarisme, hingga manipulasi akademik dianggap telah menormalisasi tabiat menerabas.

Alih-alih menjadi benteng moral, lembaga pendidikan kerap ikut menyuburkan praktik ini. “Tidak ada jalan pintas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jalan keluar hanya mungkin melalui pendidikan yang menghargai proses,” tulis manifesto.

Naskah manifesto ini disusun oleh 20 guru besar lintas fakultas ITB. Mereka di antaranya: Prof. N. Harijono A. Tjokronegoro (FTI), Prof. Saswinadi Sasmojo (FTI), Prof. Djoko Suharto (FTMD), Prof. Imam Buchori Zainuddin (FSRD), Prof. B.S. Kusbiantoro (SAPPK), Prof. Dwiwahju Sasongko (FTI), Prof. Mindriany Syafila (FTSL, Ketua Forum Guru Besar ITB), Prof. A. Nanang T. Puspito (FTTM, Sekretaris Forum), Prof. Yasraf Amir Piliang (FSRD), Prof. Iwan Pranoto (FMIPA), serta sejumlah nama lainnya.

Selain mereka, lebih dari 40 guru besar aktif maupun purnabakti tercatat menghadiri Rapat Pleno, baik secara luring maupun daring. Dukungan luas ini menandakan manifesto bukan sekadar wacana kelompok kecil, melainkan sikap akademik bersama.

Seruan Moral untuk Bangsa

Deklarasi ditutup dengan seruan moral agar seluruh elemen bangsa bergotong royong membangun sistem pendidikan yang kuat, berakar pada Pancasila, dan setia pada cita-cita kemerdekaan.

“Sebagai anak-anak peradaban yang lahir dari rahim para pejuang bangsa, kami berdiri di depan untuk menindaklanjuti manifesto ini. Mari kita merapat dan bersama mengayuh bahtera bangsa serta memohon restu Tuhan untuk kemuliaan Indonesia sekarang dan esok,” demikian seruan penutup naskah tersebut. [ ]

Back to top button