CrispyVeritas

Forum Tanah Air Kritik Komite Reformasi Polri, Nilai Komposisi Tak Cerminkan Supremasi Sipil

FTA juga secara tegas meminta tiga mantan Kapolri—Jenderal (Purn.) Tito Karnavian, Jenderal (Purn.) Idham Azis, dan Jenderal (Purn.) Listyo Sigit Prabowo—tidak dimasukkan dalam struktur Komite. Ketiganya, menurut FTA, menjadi figur sentral kepemimpinan Polri selama satu dekade terakhir, periode yang ditandai meningkatnya politisasi kepolisian, kriminalisasi warga sipil, dan menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi tersebut. FTA membandingkan model Korea Selatan—yang melibatkan aktivis HAM dan akademisi independen—dengan Filipina, yang gagal karena komite didominasi mantan pejabat kepolisian.

JERNIH—Forum Tanah Air (FTA), jaringan tokoh Indonesia di 22 negara dan 38 provinsi, menyampaikan keprihatinan mendalam atas pembentukan Komite Reformasi Kepolisian Republik Indonesia. Dalam pernyataan sikap tertanggal 11 November 2025 yang diterima redaksi Jernih, FTA menilai komposisi komite tidak mencerminkan supremasi sipil dan tidak melibatkan suara publik yang seharusnya menjadi dasar agenda reformasi kepolisian.

Menurut FTA, dari sepuluh anggota komite, lima di antaranya adalah jenderal aktif maupun purnawirawan Polri, dan lima berlatar belakang hukum. Tidak ada unsur akademisi, ilmuwan politik, tokoh agama, masyarakat sipil, maupun perwakilan TNI. FTA menyebut komposisi itu terlalu homogen dan tidak mencerminkan kebutuhan koreksi struktural yang objektif. FTA menilai kecenderungan komposisi semacam ini tidak hanya menghambat upaya reformasi, tetapi juga berpotensi menjadikan proses tersebut sebatas formalitas birokratik tanpa perubahan mendasar. Dalam dokumen mereka, FTA menekankan bahwa reformasi Polri adalah agenda strategis bangsa dan tidak boleh ditempatkan dalam ruang tertutup.

FTA juga secara tegas meminta tiga mantan Kapolri—Jenderal (Purn.) Tito Karnavian, Jenderal (Purn.) Idham Azis, dan Jenderal (Purn.) Listyo Sigit Prabowo—tidak dimasukkan dalam struktur Komite. Ketiganya, menurut FTA, menjadi figur sentral kepemimpinan Polri selama satu dekade terakhir, periode yang ditandai meningkatnya politisasi kepolisian, kriminalisasi warga sipil, dan menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi tersebut. FTA menilai penempatan para mantan Kapolri dalam komite semacam ini bertentangan dengan prinsip independensi reformasi, karena mereka dianggap memiliki konflik kepentingan terhadap struktur yang tengah dikritik.

Sehari setelah pernyataan publik itu dirilis, pada 12 November 2025, FTA juga mengirimkan argumentasi akademis resmi kepada Ketua Komite Reformasi Polri, Prof. Dr. Jimly Asshidiqie. Dokumen tersebut disusun oleh Komite Kajian Ilmiah FTA yang dipimpin Radhar Tribaskoro, dan mengutip sejumlah literatur internasional terkait reformasi kepolisian, civilian oversight, dan teori perubahan kelembagaan. FTA menunjukkan bahwa pengalaman berbagai negara menegaskan keberhasilan reformasi justru terjadi ketika aktor eksternal—bukan pejabat internal—yang memimpin penyusunan arah perubahan.

FTA menyatakan reformasi tidak dapat dijalankan oleh aktor yang selama ini menjadi bagian dari struktur yang hendak diubah. Mereka mengutip pemikiran Douglas North, Mahoney–Thelen, hingga Pierson, dan menyandingkan contoh Korea Selatan serta Georgia sebagai preseden reformasi efektif. Sebaliknya, FTA menyebut kegagalan reformasi di Filipina karena komite didominasi mantan pejabat kepolisian yang mempertahankan pola lama. Dalam argumentasinya, FTA juga mengutip pengalaman Afrika Selatan, Kanada, Brazil, hingga Estonia dan Latvia, sebagai contoh relasi antara desain institusional kepolisian dan efektivitas demokrasi.

Tekanan untuk Transparansi dan Agenda Substantif Reformasi

FTA menuntut proses deliberasi Komite Reformasi Polri dilakukan secara terbuka kepada publik. Mereka meminta agenda pembahasan, daftar isu pokok, serta argumentasi setiap keputusan dapat diakses masyarakat luas. Menurut FTA, transparansi adalah syarat legitimasi deliberatif sebagaimana ditegaskan dalam gagasan Jürgen Habermas mengenai communicative rationality. FTA menyebut bahwa tanpa keterbukaan, komite hanya akan menjadi forum administratif, bukan ruang koreksi institusional yang sesungguhnya.

Sejumlah isu strategis yang diminta FTA untuk dibahas secara transparan meliputi posisi Polri—apakah tetap berada langsung di bawah Presiden atau dinaungi badan pengawas independen—desentralisasi fungsi kepolisian, reformasi kepangkatan agar tidak menyerupai struktur militer, pembagian fungsi antara kepolisian nasional dan daerah, serta pemindahan penanganan terorisme, narkoba, dan korupsi ke lembaga yang benar-benar independen dari Polri. FTA mengingatkan bahwa penanganan tiga isu terakhir secara internal berpotensi menimbulkan mission creep yang menumpuk kekuasaan Polri secara berlebihan.

FTA menegaskan bahwa reformasi tidak boleh berhenti pada pergantian struktur atau simbol. Reformasi harus menyentuh akar hubungan kepolisian dengan kekuasaan politik serta mengembalikan Polri pada hakikatnya sebagai pelindung rakyat. “Profesionalisme kepolisian selalu berbanding lurus dengan kualitas demokrasi sebuah bangsa,” demikian salah satu argumentasi akademis FTA. Mereka menambahkan bahwa kualitas demokrasi tidak akan pernah stabil tanpa kepolisian yang transparan, independen, dan akuntabel secara publik.

Penanggung Jawab, Penandatangan, dan Lingkup Distribusi Dokumen

Pernyataan sikap FTA ditandatangani oleh Tata Kesantra sebagai ketua umum Forum Tanah Air, dan Donny Handricahyono, ketua harian. Sementara argumentasi akademis yang disampaikan kepada Komite Reformasi Polri disusun oleh Ketua Komite Kajian Ilmiah FTA, Radhar Tribaskoro dengan dukungan penuh dari Dewan Pakar FTA, Tim Ahli FTA, serta perwakilan diaspora FTA di lima benua.

Selain itu, dokumen pernyataan itu pun ditembuskan kepada banyak pihak, antara lain, Ketua MPR RI, Ketua DPR RI, Ketua DPD RI, Komisi III DPR RI, BAM DPR RI, para ketua umum partai politik di DPR, pimpinan MUI, NU, dan Muhammadiyah, para rektor perguruan tinggi negeri dan swasta, ormas kepemudaan, seluruh BEM se-Indonesia, media-media mainstream nasional, baik televisi, cetak, maupun daring.

FTA menegaskan bahwa langkah ini dilakukan karena reformasi kepolisian bukan hanya urusan internal Polri, melainkan agenda publik yang menyangkut masa depan demokrasi Indonesia. [rls]

Back to top button