CrispyVeritas

Gerpis: Tak Satu Pun Berhak Memaafkan Resbob Atas Nama Orang Sunda

Menurut Andri, ucapan tersebut bukan sekadar ekspresi emosi personal, melainkan tindakan sadar yang menyerang identitas dasar suatu kelompok etnis. Karena itu, kata Andri, perkara ini tidak bisa diselesaikan dengan permintaan maaf sepihak di media sosial, apalagi dengan upaya mediasi yang tidak memiliki dasar hukum. “Ini bukan soal perasaan tersinggung. Ini soal penistaan terhadap SARA. Menyamakan orang Sunda dengan binatang adalah penghinaan mendasar terhadap martabat manusia,” kata Andri.

JERNIH– Ketua Gerakan Pilihan Sunda (Gerpis), Andri Perkasa Kantaprawira, mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk segera memburu, menangkap, dan memproses hukum YouTuber Adimas Firdaus alias Resbob. Desakan itu disampaikan menyusul pernyataan Resbob di ruang publik yang menyebut seluruh orang bersuku Sunda sebagai “anjing”, sebuah ucapan yang dinilai sebagai penghinaan paling kasar dan merendahkan martabat kolektif suatu suku bangsa.

Menurut Andri, ucapan tersebut bukan sekadar ekspresi emosi personal, melainkan tindakan sadar yang menyerang identitas dasar suatu kelompok etnis. Karena itu, kata Andri, perkara ini tidak bisa diselesaikan dengan permintaan maaf sepihak di media sosial, apalagi dengan upaya mediasi yang tidak memiliki dasar hukum.

“Permintaan maaf Resbob tidak memiliki impunitas hukum apa pun. Perbuatan pidana tidak gugur hanya karena pelaku meminta maaf,” ujar Andri dalam keterangannya, Selasa.

Andri menegaskan, penghinaan yang dilakukan Resbob telah melampaui batas toleransi sosial. Menyamakan manusia dengan binatang, kata dia, adalah bentuk penistaan yang paling elementer karena menyasar harkat kemanusiaan itu sendiri. Dalam konteks negara majemuk seperti Indonesia, tindakan semacam itu tidak bisa dianggap sepele.

“Ini bukan soal perasaan tersinggung. Ini soal penistaan terhadap SARA. Menyamakan orang Sunda dengan binatang adalah penghinaan mendasar terhadap martabat manusia,” kata Andri.

Tak Ada Mandat Mewakili Suku Sunda

Gerpis juga menolak keras segala bentuk klaim sepihak dari individu, tokoh, atau lembaga mana pun yang mengatasnamakan suku Sunda untuk menerima permintaan maaf Resbob. Menurut Andri, tidak ada satu pun entitas yang memiliki mandat moral maupun politik untuk mewakili seluruh orang Sunda dalam perkara pidana semacam ini.

“Tidak ada tokoh, tidak ada lembaga, yang berhak mengatasnamakan suku Sunda untuk menerima permintaan maaf pelaku, apalagi membangun mediasi dengan keluarga pelaku,” ujar Andri.

Ia menilai, upaya-upaya semacam itu justru berpotensi mengaburkan substansi persoalan dan melemahkan penegakan hukum. Dalam negara hukum, kata Andri, urusan penghinaan berbasis SARA bukan domain kompromi sosial, melainkan wilayah hukum positif yang harus ditegakkan secara tegas dan terbuka.

Menurut Andri, penerimaan permintaan maaf secara sepihak berisiko menciptakan preseden buruk. Pelaku kejahatan kebencian dapat merasa cukup meminta maaf di ruang digital, lalu bebas dari konsekuensi hukum.

“Kalau ini dibiarkan, maka siapa pun nanti bisa menghina suku, agama, atau ras apa pun, lalu cukup membuat video klarifikasi. Negara tidak boleh kalah oleh logika semacam itu,” kata dia.

Andri juga menyinggung makna kebangsaan Indonesia yang dibangun di atas prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Ia menegaskan, keberagaman bukan sekadar fakta sosiologis, melainkan fondasi etis yang menuntut kedewasaan dan tanggung jawab setiap warga negara. “Kamangdang jeung sikap abdi mah, Indonesia salaku nagara anu Bhinneka Tunggal Ika, tan hana darma mangrwa. Beda-beda, tapi unggal jalma kudu silih lomba dina kahadéan jeung ngadegkeun bebeneran,” ujar Andri, dalam Bahasa Ibunya.

Menurutnya, membela identitas SARA adalah tindakan mulia dalam kerangka menjaga martabat dan keadilan. Namun sebaliknya, menista dan menghina SARA adalah perbuatan hina karena merusak sendi-sendi dasar kehidupan bersama. “Membela SARA itu mulia. Tapi menista dan menghina SARA seperti yang dilakukan Resbob adalah tindakan nista,” kata Andri.

Ia menambahkan, ucapan Resbob tidak bisa dipisahkan dari konteks etika publik. Media sosial, kata dia, bukan ruang bebas nilai yang membolehkan siapa pun melontarkan ujaran kebencian demi eksistensi pribadi.

“Medsos bukan tempat untuk eksistensi yang tidak berbudaya dan melanggar hukum positif,” ujar Andri.

Gerpis juga menyoroti klarifikasi Resbob yang menyebut ucapannya sebagai tindakan “tidak sadar”. Bagi Andri, pernyataan tersebut justru menunjukkan problem yang lebih serius: absennya tanggung jawab moral dan kesadaran hukum dari pelaku. “Dia menyatakan itu tindakan tidak sadar. Pertanyaannya, benar tidak sadar atau memang karakter yang kasar dan tidak tahu etika serta hukum?” ujar Andri.

Menurutnya, hanya proses hukum di pengadilan yang dapat membuktikan apakah pernyataan itu murni ketidaksadaran atau cerminan karakter pelaku. Karena itu, kata Andri, perkara ini harus dibawa sepenuhnya ke ranah hukum, bukan diselesaikan di ruang klarifikasi digital.

“Pengadilanlah yang akan membuktikan. Kalau memang harus dididik soal etika dan hukum, maka lembaga pemasyarakatan adalah tempat yang disediakan negara untuk itu, sesuai hukum yang berlaku,” kata Andri.

Ia menekankan, penegakan hukum yang tegas justru penting sebagai pembelajaran sosial agar kasus serupa tidak terus berulang di Indonesia.

Segera tangkap

Andri juga meminta aparat kepolisian bertindak cepat dan profesional, termasuk jika terdapat indikasi pelaku melarikan diri ke luar negeri. Menurutnya, status pelaku sebagai figur media sosial tidak boleh menjadi alasan pembiaran. “Kalau ada kabar dia lari ke luar negeri, Polri tetap harus segera menangkapnya. Tidak boleh ada kesan negara kalah oleh seorang YouTuber,” ujar Andri.

Ia menilai, kecepatan dan ketegasan aparat dalam menangani kasus ini akan menjadi ujian serius bagi komitmen negara dalam melindungi kebhinekaan dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

“Ini bukan hanya soal orang Sunda. Ini soal bagaimana negara melindungi setiap warganya dari penghinaan berbasis identitas,” kata Andri.

Bagi Gerpis, kasus Resbob harus menjadi penanda bahwa Indonesia tidak boleh bernegosiasi dengan ujaran kebencian. Permintaan maaf, menurut Andri, adalah urusan etika personal, tetapi proses hukum adalah kewajiban negara. “Permintaan maaf itu urusan pribadi. Tapi kejahatan terhadap martabat kolektif adalah urusan hukum,” ujar Andri.

Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa keadilan bukan hanya tentang menghukum pelaku, melainkan juga tentang menjaga ruang publik agar tetap beradab dan aman bagi semua identitas. “Kalau negara diam, maka kebencian akan merasa punya rumah. Dan itu berbahaya bagi persatuan nasional,” kata Andri. [ ]

Back to top button