Giorgio Armani: Warisan Keabadian Sang Maestro Mode

JERNIH – Pada usia 90 tahun, Giorgio Armani masih terlihat berdiri tegak di panggung dunia mode. Energinya tak pernah benar-benar padam, meski tubuhnya mulai menua. Hingga menghembuskan napas terakhir pada 4 September 2025 di usia 91 tahun, Armani tetap hadir di ruang-ruang kerja, mengawasi detail rancangan, menimbang strategi perusahaan, dan memastikan setiap koleksi lahir sesuai dengan visinya.
Dalam wawancara, ia pernah mengaku bahwa pekerjaan adalah denyut hidupnya. Meski begitu, terselip nada penyesalan karena terlalu lama menaruh cinta pada dunia mode, hingga waktu pribadi kerap terpinggirkan. Namun, barangkali justru itulah takdir: seorang maestro yang mengabdikan hidup sepenuhnya pada karya.
Dari Luka Perang ke Panggung Mode
Armani lahir pada 11 Juli 1934 di Piacenza, Italia, dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang akuntan, ibunya seorang ibu rumah tangga. Masa kecilnya diwarnai trauma perang. Ia pernah terluka akibat ledakan peluru artileri yang tak sengaja terinjak saat bermain. Luka fisik dan emosional itu menorehkan jejak dalam hidupnya, seakan mengajarkan sejak dini arti rapuhnya kehidupan—dan mungkin, kelak, mengasah kepekaannya terhadap keindahan.

Awalnya ia bercita-cita menjadi dokter, terinspirasi dari novel The Citadel karya A.J. Cronin. Namun setelah tiga tahun menempuh studi kedokteran, ia memilih jalan lain. Di Angkatan Darat Italia, ketika bertugas di rumah sakit militer Verona, ia tersentuh oleh dunia hiburan dan mulai melirik panggung kreatif. Takdir kemudian menuntunnya ke Milan, ke etalase-etalase mode, dan dari sanalah segalanya bermula.
Membangun Kerajaan Elegansi
Karir Armani dimulai dari La Rinascente sebagai penata jendela. Lalu, di bawah bimbingan Nino Cerruti, ia belajar seni mendesain pakaian pria. Perjumpaannya dengan Sergio Galeotti pada 1973 menjadi titik balik. Bersama, mereka mendirikan Giorgio Armani S.p.A. dan meluncurkan koleksi yang kelak merevolusi mode modern.
Armani memperkenalkan estetika minimalis dengan siluet longgar dan power suit yang memberi bahasa baru bagi keanggunan, terutama bagi perempuan pekerja. Dunia menyebutnya “Raja Mode Italia.” Dari Emporio Armani hingga AX Armani Exchange, dari parfum hingga hotel mewah, kerajaan Armani menjelma sebagai simbol global dari gaya hidup elegan.

Ia pun menorehkan jejak di layar perak. Kostum untuk American Gigolo (1980) dan The Untouchables (1987) mempertegas hubungan intim antara mode dan sinema. Hollywood jatuh hati, begitu pula dunia.
Cinta, Kehilangan, dan Kesendirian
Di balik kejayaan, Armani dikenal sebagai pribadi yang tertutup. Ia pernah mengakui mencintai pria dan wanita, namun cinta terbesarnya adalah Sergio Galeotti. Kematian Galeotti akibat AIDS pada 1985 menjadi luka terdalamnya—sebuah kehilangan yang selalu ia sebut sebagai kegagalan terbesarnya, karena tak bisa mencegahnya. Hingga akhir hayat, ia kerap membawa foto Galeotti, seolah cinta itu tak pernah pudar.
Armani bukan hanya tentang estetika, tetapi juga tentang sikap. Pada 2007, ia menjadi desainer pertama yang melarang model dengan BMI di bawah 18, sebuah langkah etis setelah meninggalnya Ana Carolina Reston. Ia pun turut mendorong mode berkelanjutan, salah satunya lewat Green Carpet Challenge.
Bagi Armani, mode bukan sekadar pakaian—ia adalah bahasa yang mampu memerdekakan, memperhalus, dan bahkan menyembuhkan.
Gelombang Duka, Samudra Penghormatan
Kabar kepergiannya mengguncang dunia. Donatella Versace dan Victoria Beckham menyebutnya pelopor. Julia Roberts mengenangnya sebagai “pionir keanggunan,” sementara Leonardo DiCaprio menuturkan tentang “energi dan kebaikannya yang tak tergantikan.” Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni menyebutnya “simbol terbaik Italia.”

Pameran tunggalnya di Guggenheim Museum tahun 2000, yang dikunjungi puluhan ribu orang setiap pekan, menjadi bukti bahwa karya Armani telah melewati batas fungsi, memasuki wilayah seni. The New York Times menjulukinya “Master of the Power Suit,” sementara Vogue mengabadikannya sebagai desainer Italia paling sukses sepanjang masa.
Warisan yang Abadi
Dengan kekayaan bersih lebih dari 12 miliar dolar dan lebih dari 2.000 toko di seluruh dunia, Armani meninggalkan kerajaan bisnis yang masih tegak berdiri. Pada 2017, omzet tahunan perusahaan mencapai 1,6 miliar dolar, dan kekayaan pribadinya saat itu sudah 8,1 miliar dolar. Armani mempertahankan kendali penuh atas perusahaannya, menjadikannya salah satu miliarder fashion terkaya di dunia.
Namun, warisan sejatinya bukan hanya angka, melainkan gaya hidup yang ia abadikan: sederhana namun berwibawa, halus namun penuh kuasa, elegan tanpa harus berteriak.

Giorgio Armani telah pergi. Namun jejaknya akan selalu hadir, setiap kali seseorang mengenakan jas dengan potongan rapi, setiap kali dunia mode merayakan keanggunan yang lahir dari kesederhanaan. Ia telah menutup matanya, tetapi dunia masih akan lama menatap cahayanya.
Namanya menggaung, terutama di kalangan generasi X dan sebelumnya. Genasi milenial maupun Gen Z mungkin sudah tak terlalu akrab. Tetapi ketika mendengar nama “Armani” maka kesan Anda pasti ke jenama papan atas dunia.(*)
BACA JUGA: Intip Kombinasi Warna Furniture yang Menarik, Bikin Interior Makin Modern