CrispyVeritas

GREAT Institute Bahas Prabowonomics di Tengah Ancaman Perang Global

Syahganda juga menyebut langkah Presiden Prabowo yang lebih memilih menghadiri undangan Presiden Rusia Vladimir Putin daripada G-20 sebagai sinyal keberpihakan baru dalam geopolitik global. Menurutnya, sikap tegas terhadap arus global diperlukan agar cita-cita bangsa tetap sejalan dengan kehendak rakyat. “Kalau semua kondisi ini tidak memaksa Indonesia menentukan sikap tegas,” ujarnya, “maka kita jelas sedang menuju kehancuran.”

JERNIH—Lembaga pemikiran independen GREAT Institute menggelar seri diskusi GREAT Lecture pada Jumat (20/6/2025) siang, dengan menghadirkan mantan Menteri Keuangan yang juga Komisaris Utama MIND.ID, Fuad Bawazier, sebagai pembicara utama. Diskusi kali ini mengangkat tema “Prabowonomics dan Tantangan Terbesar di Era Perang Global.”

Acara berlangsung di kantor pusat GREAT Institute, Jakarta Selatan, dan dihadiri sejumlah tokoh nasional, kalangan akademisi dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia, Universitas Pancasila, dan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Selain peserta daring melalui siaran langsung, hadir di lokasi nama-nama seperti Rauf Purnama (komisaris utama PT Antam), mantan wartawan ABC Dian Islamiati Fatwa, mantan Duta Besar Helmy Fauzi, Hatta Taliwang, Adhie Massardi, serta Rizal Dharma Putra dari LESPERSI.

Dalam pembukaan diskusi, Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Syahganda Nainggolan, menyampaikan bahwa diskusi ini merupakan bagian dari komitmen lembaga untuk menghadirkan gagasan strategis dari tokoh-tokoh nasional yang memiliki kedalaman pemikiran dan keberpihakan pada rakyat. GREAT Lecture sebelumnya telah menghadirkan Indonesianis Greg Poulgrain dari Australia, dan teknolog dari Oxford University, Utkarsh Saxena.

Syahganda menyoroti fakta bahwa Presiden Prabowo Subianto menerima amanah di tengah kondisi global yang penuh tekanan. Ia menyebut eskalasi konflik dunia yang terjadi secara bersamaan di berbagai kawasan—Gaza, Laut Cina Selatan, India-Pakistan, hingga Iran-Israel—telah mengubah konstelasi global menjadi arena pertarungan terbuka antarblok kekuatan. “Pasokan energi dan pangan potensial terganggu, dan harga-harga kemungkinan besar naik,” katanya.

Syahganda juga menyebut langkah Presiden Prabowo yang lebih memilih menghadiri undangan Presiden Rusia Vladimir Putin daripada G-20 sebagai sinyal keberpihakan baru dalam geopolitik global. Menurutnya, sikap tegas terhadap arus global diperlukan agar cita-cita bangsa tetap sejalan dengan kehendak rakyat. “Kalau semua kondisi ini tidak memaksa Indonesia menentukan sikap tegas,” ujarnya, “maka kita jelas sedang menuju kehancuran.”

Dalam paparan utama, Fuad Bawazier menegaskan bahwa Prabowonomics berakar kuat pada Pasal 33 UUD 1945. Ia menyampaikan bahwa pengelolaan sumber daya alam Indonesia mengalami kerusakan serius pasca-reformasi, terutama dalam satu dekade terakhir. “Kalau Pasal 33 tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, lebih baik dihapus saja agar kita tidak menjadi bangsa hipokrit,” ujarnya.

Fuad mengulas sejarah kebijakan pengelolaan migas pada era Soekarno dan Soeharto yang mengacu pada UU No. 44/1960 dan UU No. 8/1971 tentang Pertamina. Ia mengingatkan bahwa sumber daya alam lainnya, selain migas, belum memiliki payung hukum turunan yang jelas. Ia juga menyinggung pentingnya praktik pertambangan yang bertanggung jawab, dan mencontohkan Vale Indonesia sebagai perusahaan yang menjalankan reklamasi dan menggunakan energi terbarukan.

Menanggapi pemaparan Fuad, Bursah Zarnubi, ketua APKASI, menilai bahwa Prabowonomics merupakan kelanjutan dari Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang pernah dijalankan Indonesia di era awal kemerdekaan. Bursah menekankan pentingnya kembali pada ekonomi komando yang terarah dan mengedepankan kepemilikan rakyat melalui koperasi. “PT adalah produk kapitalisme. Kita harus beralih ke koperasi, yang dimiliki dan dijalankan bersama,” katanya.

Musa Rajekshah, anggota DPR RI, menyampaikan bahwa komitmen Presiden Prabowo terhadap rakyat telah ditunjukkan melalui penerbitan sembilan Instruksi Presiden hingga pertengahan tahun ini, termasuk yang menyangkut swasembada pangan dan efisiensi birokrasi. Musa juga menekankan agar pemerintah tidak lagi mengeluarkan izin tambang baru, dan fokus memperbaiki serta mengontrol tambang yang sudah ada.

Sementara itu, Ketua Umum KSPSI Moh Jumhur Hidayat mengingatkan bahwa Indonesia kini menghadapi ancaman bencana demografi. Ia menilai, arah ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam Prabowonomics harus dijaga agar tidak tergelincir seperti ekonomi di era sebelumnya. “Kita butuh UU Sistem Perekonomian Nasional yang menegaskan peran koperasi, BUMN, dan swasta,” ujar Jumhur.

Peneliti GREAT Institute, Adhamaski Pangeran, menyoroti konsep efisiensi yang selama ini disalahpahami dalam pengelolaan anggaran negara. Ia menyebut efisiensi seharusnya menyangkut rasionalisasi struktur dan proses, bukan sekadar penambahan atau pengurangan mata anggaran.

Sementara itu, Adhie Massardi mengkritik absennya peta jalan ekonomi nasional yang jelas, termasuk tidak adanya alokasi dana tetap bagi pertanian, pendidikan, dan penciptaan lapangan kerja sebelum masuk ke dalam APBN. Ia juga menyoroti lemahnya implementasi Pasal 33 yang selama ini hanya dijadikan jargon.

GREAT Lecture ditutup dengan pernyataan bahwa Prabowonomics bukan semata kebijakan ekonomi jangka pendek, melainkan upaya membangun sistem ekonomi yang tahan guncangan, berdaulat, dan mampu menjaga kelangsungan hidup bangsa di tengah ketidakpastian global. [ ]

Back to top button