CrispyVeritas

Greg Poulgrain: Indonesia Harus Keluar dari Jerat Perang Dingin yang Tak Pernah Usai

“Kutukan sumber daya alam bukan mitos,” kata Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr Syahganda Nainggolan, mengingatkan konstatasi dari Richard M. Auty, ekonom asal Inggris yang dikenal sebagai pencetus konsep “curse of natural resources”. “Ia nyata, dan terus menghantui bangsa ini. Tapi kalau ada kepemimpinan nasionalis, keberanian politik, dan ketegasan strategi, kutukan itu bisa kita balikkan jadi rahmat,” kata Syahganda.

JERNIH– Focus Group Discussion (FGD) di Great Institute, Jakarta Selatan, Senin (5/5/ 2025), tak sekadar mengulas masa lalu. Forum ini seperti membongkar luka lama yang belum sembuh: tentang Papua, tentang emas, tentang kekuasaan yang dipertukarkan dalam meja rahasia Perang Dingin.

Dr. Greg Poulgrain, sejarawan asal Australia yang dikenal tajam membaca geopolitik Asia Tenggara, kembali mengingatkan bahwa Indonesia tak pernah benar-benar merdeka dari jerat intervensi asing. “Indonesia adalah produsen emas nomor satu di dunia. Ini bukan asumsi. Ini fakta. Dan cadangan emasnya bisa ditambang selama dua abad ke depan,” kata Greg, nyaris tanpa jeda.

Freeport kembali disebut. Tapi kali ini bukan hanya soal tambang, melainkan sebagai lambang dari kerakusan global yang memanfaatkan kelemahan elite nasional. “Mereka bilang hanya ada satu gram emas per ton material. Tapi saya dengar langsung dari seorang Sekjen NATO—itu bohong besar,” ujar Poulgrain. “Saya sudah dua kali mewawancarai Jean Jacques Dozy. Versi dia sangat berbeda dari dokumen resmi Freeport. Ini bukan sekadar perbedaan teknis. Ini rekayasa.”

Tapi Greg tidak berhenti pada teknis pertambangan. Papua, baginya, adalah medan moral. “Ketidakpuasan rakyat Papua itu bukan soal ideologi. Tapi karena kesejahteraan tak pernah sampai ke tangan mereka. Ini bukan sekadar kegagalan administratif. Ini kegagalan etis.”

Sebelumnya, Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan, membuka forum dengan catatan serius: “Kutukan sumber daya alam bukan mitos,” kata Syahganda mengingatkan semua akan konstatasi dari Richard M. Auty, ekonom asal Inggris yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “resource curse” atau “kutukan sumber daya alam” (curse of natural resources). Istilah ini mulai populer setelah ia menerbitkan tulisannya pada tahun 1993, terutama dalam bukunya, “Sustaining Development in Mineral Economies: The Resource Curse Thesis”.

“Ia nyata, dan terus menghantui bangsa ini. Tapi kalau ada kepemimpinan nasionalis, keberanian politik, dan ketegasan strategi, kutukan itu bisa kita balikkan jadi rahmat,” kata Syahganda.

Pandangan itu diamini Dr. Sidratatha Muchtar yang menyebut bahwa program hilirisasi di era sebelumnya gagal total. “Hanya menguntungkan asing. Yang disebut hilirisasi itu sesungguhnya hanya mengganti bentuk kolonialisme,” katanya. Ia yakin Presiden Prabowo memahami hal itu. “Ia tidak inward looking. Ia paham geopolitik. Sekarang saatnya redefinisi. Dan kita harus berhenti menyamakan ‘bebas aktif’ dengan ‘diam’. Indonesia harus bicara di ASEAN. Harus jadi jangkar. Bukan sekadar peserta.”

Dalam soal Freeport Poulgrain memang pernah menyingkap tabir sejarah yang lebih kelam. Bahwa pembunuhan Presiden John F. Kennedy bukan semata tragedi Amerika, tapi titik balik geopolitik Asia Tenggara. “Kennedy mendukung kemerdekaan negara Dunia Ketiga. Ia ingin mengaudit Freeport. Ia tak suka pendekatan intelijen dan korporasi. Dan setelah ia mati, semuanya berubah. Dulles menang. CIA menang. Freeport masuk,” kata dia.

Pernyataan ini, menurutnya, bukan teori konspirasi. Ia mengaku menelusuri dokumen yang dulu diklasifikasikan, mewawancarai pelaku sejarah, dan mencocokkannya dengan agenda rahasia pasca-Perang Dunia II. “Apa yang terjadi di Indonesia adalah hasil dari jaringan korporasi, bukan sekadar urusan diplomasi.”

Dr. Indra Kusuma Wardhana menambahkan dimensi mutakhir: perang dagang AS–Tiongkok adalah bab baru dari dominasi lama. “Kita harus bisa navigasi. Kalau tidak, kita akan jadi Vietnam yang dikapitalisasi, atau Myanmar yang didikte,” ujarnya. “Indonesia harus memilih: mau jadi panggung atau sutradara?”

Indra, pengajar di Universitas Pertamina, menyatakan Indonesia harus cermat memainkan peran di tengah perang dagang Amerika dan Tiongkok. “Kita tidak boleh hanya jadi pion. Kita harus menjadi aktor. Kita harus bisa menavigasi semua tekanan itu dengan sikap berdiri di atas kaki sendiri,” katanya.

Dr. Teguh Santosa menutup sesi dengan refleksi keras: “Selama distribusi kekayaan tidak adil, konflik akan selalu menemukan bentuk barunya. Dan tugas kita bukan hanya membaca sejarah, tapi merebut kendali atas masa depan.”

Forum ditutup tanpa tepuk tangan. Hanya diam. Tapi diam yang padat. Diam yang terasa seperti janji tak terucap: bahwa negeri ini harus berhenti jadi panggung dagang darah dan emas. []

Back to top button