
Saat tetesan hujan membasahi jalanan Jakarta, bisa jadi membawa tamu tak terlihat — partikel plastik halus yang terangkat dari kota dan kini mendarat bersama air. Apakah ini sekadar polusi biasa, atau kita tengah menyambut bencana lingkungan baru yang tersembunyi?
JERNIH – Ketika hujan turun di Jakarta, banyak orang merasa lega: udara terasa lebih segar, debu jalanan mereda, dan panas kota sedikit berkurang. Tapi penelitian terbaru mengungkapkan sisi lain dari hujan itu — bahwa bersama setiap tetesnya, ikut turun partikel-partikel plastik mikro yang tak terlihat oleh mata manusia.
Fenomena ini bukan fiksi ilmiah. Laporan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa hujan di pesisir Jakarta mengandung sekitar 15 partikel mikroplastik per meter persegi setiap harinya. Jumlah yang tampak kecil, namun cukup menjadi alarm: langit kini ikut menjadi jalur sirkulasi sampah plastik.
Apa Itu Mikroplastik?
Mikroplastik adalah serpihan plastik berukuran sangat kecil — kurang dari lima milimeter, bahkan banyak yang jauh lebih kecil dari debu. Fragmen ini bisa berbentuk serat halus dari pakaian sintetis, butiran kecil dari industri, atau pecahan plastik yang terurai oleh panas dan sinar matahari.

Plastik-plastik kecil ini berasal dari kehidupan sehari-hari: dari sabun dan deterjen, dari serat pakaian yang luruh saat dicuci, dari keausan ban kendaraan di jalan, dari bungkus makanan yang terbuang dan perlahan terurai di udara panas Jakarta. Semuanya berakhir di tanah, air, dan kini — di udara.
Bagaimana Plastik Bisa “Turun” Bersama Hujan?
Prosesnya rumit, tapi logis. Mikroplastik yang ringan dan berukuran sangat kecil mudah terangkat ke udara oleh angin, aktivitas kendaraan, atau pembakaran sampah. Fragmen ini melayang-layang di atmosfer, bercampur dengan debu dan polutan lain.
Ketika udara lembap dan awan terbentuk, partikel plastik dapat menempel pada butiran air di udara atau bahkan menjadi inti kondensasi tempat uap air menempel. Begitu awan cukup berat, hujan turun — dan mikroplastik ikut terbawa jatuh bersama tetes air.
Dengan kata lain, hujan kini menjadi kendaraan baru bagi partikel buatan manusia. Siklus air yang dulu hanya memindahkan uap, kini juga memindahkan limbah.
Fenomena “hujan plastik” bukan hal baru di dunia. Pada tahun 2019, para peneliti di Pegunungan Pyrenees, Prancis, menemukan bahwa sekitar 365 partikel mikroplastik per meter persegi per hari jatuh di daerah terpencil — jauh dari kota besar. Di London, penelitian menunjukkan lebih dari 500 hingga 1.000 partikel per meter persegi per hari.

Di Tiongkok dan India, laju deposisi di wilayah perkotaan bahkan bisa mencapai ribuan partikel per hari. Artinya, partikel plastik dapat berpindah jarak jauh, melintasi laut dan pegunungan, dibawa oleh angin seperti debu global baru.
Angka Jakarta memang lebih rendah, tetapi fakta bahwa mikroplastik sudah terdeteksi dalam hujan di ibu kota Indonesia adalah sinyal kuat bahwa polusi plastik telah masuk ke atmosfer tropis perkotaan — sesuatu yang dulunya hanya diamati di negara industri.
Krisis yang Tak Kasatmata
Tidak ada sirene berbunyi ketika mikroplastik turun dari langit. Tidak ada genangan plastik di jalan. Tapi justru di situlah bahayanya — mereka tak terlihat, tak terasa, tapi ada di mana-mana.
Setelah hujan, partikel ini mengendap di tanah, terserap ke sistem air tanah, terbawa aliran drainase ke sungai, lalu ke laut. Siklusnya berputar tanpa henti: dari darat ke udara, dari udara ke air, dan kembali lagi ke darat.
Para ahli lingkungan menyebut ini sebagai “krisis kronis” — bencana yang datang perlahan, tapi terus-menerus. Mikroplastik bisa mengikat logam berat dan bahan kimia berbahaya, kemudian masuk ke tubuh manusia lewat udara, makanan, atau air. Efek kesehatannya masih diteliti, namun indikasi awal menunjukkan potensi gangguan paru, inflamasi, dan akumulasi jangka panjang.
Peneliti BRIN, Muhammad Reza Cordova, mengatakan, “Partikel mikroplastik masuk melalui deposisi atmosferik — plastik-plastik yang terangkat di udara bercampur dengan siklus air lalu turun bersama hujan.”
Pernyataan ini menegaskan sesuatu yang lebih besar dari sekadar temuan ilmiah: kita sedang menyaksikan plastik menjadi bagian dari cuaca.

Dulu, hujan membawa kesegaran. Kini, hujan membawa jejak aktivitas manusia — partikel sintetis dari baju yang kita kenakan, kendaraan yang kita kendarai, dan sampah yang kita abaikan.
Tentu saja fenomena ini dapat berubah menjadi bencana lingkungan. Mikroplastik dalam hujan menandakan polusi yang telah menembus batas sistem alam. Ia tak lagi hanya masalah sampah di permukaan tanah, melainkan masalah di atmosfer — sistem yang mengatur kehidupan seluruh planet.
Jika tidak segera dikendalikan, partikel ini akan terus berputar dalam siklus air, masuk ke tanaman, hewan, dan tubuh manusia. Inilah bentuk bencana tanpa suara, tanpa tanggal pasti, tapi dampaknya akan terasa lama.
Kini, manusia menghadapi kenyataan bahwa plastik tidak saja mencemari tanah dan air seperti yang selama ini terjadi. Bahkan kini di alam yang lebih bebas dan terbuka, yakni angkasa raya.(*)
BACA JUGA: Cermati Plastik Galon Isi Ulang Agar Tak Rugikan Kesehatan