Crispy

Ini Nich di Balik Pernyataan PM Rutte Mengakui Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945

  • GroenLinks, partai sayap kiri Belanda, memulai perdebatan tentang Perang Kemerdekaan Indonesia.
  • Corinne Ellemeet, anggota parlemen Belanda, meminta PM Rutte membicarakan soal pengakuan Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

JERNIH — PM Mark Rutte baru saja bikin sumringah sebagian orang dengan pernyataannya bahwa Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Disebut ‘sebagian orang Indonesia’, karena sebagian lagi — terutama yang memahami sejarah — mungkin mencibir dan menganggap pernyataan PM Rutte itu hanya gimik moral politik. Sebab, bukan dia yang seharusnya menyatakan pengakuan, tapi kepala negara Kerajaan Belanda yaitu Raja Willem Alexander.

Saat PM Rutte mengeluarkan pernyataan itu di Jakarta, di parlemen terjadi perdebatan bersejarah tentang Perang Kemerdekaan Indonesia. Frak Vermeulen, dalam tulisannya di situs javapost.nl, mengatakan selain banyak hal yang menjadi pokok bahasan, perilaku tentara Belanda di Indonesia antara 1945-1950 juga dibicarakan.

Meski pembahasan terfokus pada sejarah, pertanyaan tentang kondisi saat ini juga menarik. Misalnya, pertanyaan tentang bagaimana citra Belanda sebagai pembela HAM di dunia. Bisakah Belanda melakukan upaya kredibel jika dia sendiri melanggar hak asasi manusia skala besar di masa lalu, terutama di Indonesia, tapi tetap diam?

Pertanyaan semacam itu memenuhi pidato Corinne Ellemeet, anggota parlemen dari GroenLinks — fusi empat partai sayap kiri yang dibentuk 1 Maret 1989. Sjoerd Sjoerdsma, anggota parlemen dari partai sosialis liberal D66, ikut meningkahi.

Tujuh tahun lalu, Sjoerdsma — bersama mantan koleganya Harry van Bommel dari Partai Sosialis (SP) — membujuk kabinet Rute II menyubsidi investigasi besar-besaran atas kekerasan struktural yang dilakukan Belanda.

Pertanyaan lain adalah apa pendapat politik dari tindakan bersejarah ini terhadap konsekuensi bagi personel militer yang dikerahkan Belanda setelah tahun 1950, dan yang masih ditempatkan di misi luar negeri hari ini.

Salah satu hasil penelitian besar oleh Royal Institute for Language, Land and Ethnology (KITLV), Netherlands Institute for Military History (NIMH) dan Institute for War, Holocaust and Genocide Studies (NIOD), adalah militer Belanda, otoritas yudisial, administratif dan politik, menutupi perilaku personel militer lintas batas.

Sebagai tanggapan pertama atas penyelidikan Februari 2022 itu, PM Belanda Mark Rutte — dari partai liberal konservatif VVD — meminta maaf kepada Indonesia dan kepada tentara yang dikerahkan. PM Rutte menerima kesimpulan investigasi secara penuh, dan kabinet mendukung kesimpulan itu.

“Kita harus menghadapi fakta memalukan,” ujar Rutte saat itu.

Pertanyaan berikut adalah sejauh mana Belanda belajar dari sejarah?

Posisi Belanda

Reaksi PM Rutte adalah menarik kembali sikap resmi pemerintah Belanda sebelumnya tentang aksi militer di Indonesia. Tahun 1969, kabinet PM De Jong melakukan penyelidikan resmi atas tindakan tentaranya di Hindia-Belanda setelah veteran Joop Hueting berbicara di TV tentang kejahatan perang Belanda.

Excesses Memoradum, demikian hasil investigasi itu disebut, menyimpulkan bahwa terlepas dari serangkaian ekses, AB Belanda secara keseluruhan berperilaku baik di Indonesia. Rutte menjauhkan diri dari kesimpulan itu selama 54 tahun.

Pertanyaannya, apakah parlemen Belanda akan mendukung kabinet dalam debat ini? Dalam diskusi meja bundar tahun lalu di parlemen, yang melibatkan organsiasi dan kelompok masyarakat sipil — salah satunya Platform Veteran — beberapa partai; PVV, FVD, BBB, dan fraksi SGP — tidak setuju dengan pendapat pemerintah.

Simone Kerseboom, anggota parlemen dari FVD, mengatakan tidak berbagi keprihatinan Platform Veteram tentang keberpihakan penelitian. Menurutnya, kesimpulan penelitian ditulis dari perspektif antikolonial kontemporer.

Sebab, terjadi genosida terhadap orang-orang Belanda dan indo-Belanda dan pemerintah hanya memiliki hak dan kewajiban mengirimpasukan untuk melindungi.

Yang juga menjadi perdebatan adalah tentang pilihan terminologi kekerasan ekstrem, bukan kejahatan perang. Studi baru yang disusun dalam laporan bertajuk Over The Border — yang diedit Gert Oostindie, Ben Schoenmaker, dan Frank van Vree — tidak mengacu pada kejahatan perang

Dalam surat kedua kepada parlemen Desember 2022, kabinet menulis bahwa sebelum Konvensi Jenewa 1949, hukum pidana dan hukum internasional tidak tidak menyebut pelanggaran hukum humaniter internasional sebagai kejahatan perang selama konflik non-internasional.

Artinya, pemerintah Belanda melihat perang di Indonesia — yang oleh Indoneisa disebut perang kemerdekaan — adalah konflik domestik, atau non-internasional. Selain itu ada diskusi 75 tahun antara Belanda dan Indonesia tentang pembentukan negara terakhir.

Indonesia memproklamasikan diri 17 Agustus 1945, sedangkan Belanda menyerahkan kedaulatan pada 27 Desember 1949.

Menlu Belanda Bernard Bot tahun 2005 menyatakan baha Belanda secara politik dan moral mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari Republik Indonesia didirikan.

Juru bicara GroenLinks Corinne Ellemeet percaya bahwa pengakuan hukum ini diperlukan untuk hubungan yang matang antara kedua negara. “Saya akan meminta Rutte membicarakan hal ini dengan Presiden RI Joko Widodo.

Back to top button