Crispy

BNPT : Intoleransi, Awal Radikal Terorisme

JAKARTA – Pencegahan terhadap paparan radikal terorisme harus terus dilakukan. Terlebih kepada generasi muda dan kaum perempuan, yang kerap menjadi korban, bahkan pelaku terorisme. 

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Hamli, mengatakan dari hasil penelitian, penyebaran radikal terorisme banyak mengenai kaum muda dan para perempuan. Karena itu diperlukan perhatian semua pihak. 

“Sekarang yang banyak itu adalah pemuda dan juga kaum perempuan, untuk saat ini kerentanannya cukup signifikan. Untuk itu hal seperti itu harus menjadi perhatian kita semua,” ujarnya saat menjadi narasumber pada kegiatan Crime Prevention, Day, Making Indonesia 4.0 yang diselenggaraklan Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI), di Jakarta, Minggu (23/2/2020).

Aksi terorisme, kata Hamli, dimulai dari sifat manusia yang menunjukkan gejala pemikiran radikal negatif, berupa intoleransi. Karenanya memberikan sosialisai pemikiran awal terkait hal tersebut. 

“Ini adalah langkah awal supaya masyarakat bisa mengetahui secara jelas. Kalau sudah memahami, maka masyarakat juga ikut membantu pemerintah mencegah kejahatan itu, terutama kejahatan terorisme,” katanya.

Aksi terorisme, lanjut Hamli, ibarat gunung es, yang mana di puncaknya adalah terorisme, lalu gunung es yang dibawah merupakan intoleransi. “Jadi intoleransi dulu, baru radikalisme menuju terorisme, lalu setelah itu baru terorisme,” kata dia. 

Menurut Hamli, orang yang memiliki pemahaman radikal negatif, awalnya bersifat intoleran. Dimana orang tersebut tidak mau bekerjasama dengan yang berbeda, sebab dianggap sebagai musuh. 

Bagi Hamli, ada beberapa ciri seseorang terpapar pemikiran radikal negatif. Pertama, bersikap intoleransi, kedua anti Pancasila, ketiga, anti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan keempat suka mengkafir-kafirkan orang lain dengan menyebarkan paham takfiri atau suka menyalahkan orang lain..

“Mengkafirkan orang lain itu tidak diperbolehkan di dalam suatu agama. Agama apapun bisa terjadi. Jadi marillah kita semua meyakini agama anda masing-masing,” katanya.

“Tapi anda juga meyakini dan menghormati agama orang lain yang menurut pemeluknya masing-masing adalah benar,” Hamli melanjutkan.

Apabila seseorang menjadi radikal menuju teror, kata Hamli, jika tidak dibina dengan baik, maka orang tersebut bisa menjadi pelaku teror. Semisal aksi bom bunuh diri di Sibolga, Polretasbes Medan, Hotel JW Marriot 1 dan 2, kedubes Filipina maupun bom malam Natal yang pernah terjadi di decade awal tahun 2000 an.

“Kalau sudah seperti itu yang melaksanakan bukan  pencegahan lagi, tetapi melakukan peneggakan hukum terhadap pelaku,” ujarnya.

Oleh karena itu, Hamli berharap, crime prevention (LCKI) bisa bekerjasama dengan BNPT, dengan cara memberikan informasi-informasi baik  secara online maupun ofline kepada masyarakat.

“Kita tahu bahwa crime prevention memiliki sumber daya yang cukup lumayan, terutama di bidang Teknologi Informasi dan bidang-bidang yang lain,” katanya. [Fan]

Back to top button