Jadikan Agama sebagai Pedoman Perdamaian dan Anti Kekerasan
”Sebagai orang yang beragama, tentunya harus cinta kepada kedamaian dan menjauhkan dari segala macam hal-hal yang bisa mendatangkan kepada pertikaian perpecahan dan sebagainya”
SURAKARTA – Kecamuk perang dan konflik yang terjadi di berbagai negara hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia, tentang mahalnya harga sebuah perdamaian. Sebagai bangsa relijius yang menjunjung tinggi nilai agama, sudah sepatutnya agama dijadikan sumber inspirasi menyemai perdamaian, bukan dipolitisir untuk menghalalkan kekerasan.
Dosen Pascasarjana bidang Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam dari Universitas Nahdatul Ulama (UNU) Surakarta, Amir Mahmud, mengatakan bagaimana seharusnya agama berperan menjadi sumber inspirasi bagi perdamaian dan anti terhadap kekerasan di tengah bangsa Indonesia yang beragam.
”Sebagai orang yang beragama, tentunya harus cinta kepada kedamaian dan menjauhkan dari segala macam hal-hal yang bisa mendatangkan kepada pertikaian perpecahan dan sebagainya,” ujarnya di Surakarta, Rabu (2/3).
Semua agama yang ada di dunia, kata Amir, membawa pesan perdamaian dan anti-kekerasan, sehingga sudah semestinya masyakat Indonesia yang beragama dan relijius menjadikan agama sebagai pedoman perdamaian.
“Semua agama yang ada di dunia ini memiliki pesan perdamaian dan anti terhadap kekerasan,” kata Amir.
Sebagai orang yang pernah hidup di daerah konflik yaitu di Afghanistan, Amir Mahmud yang juga lulusan Akademi Militer Afghanistan ini membagikan pengalaman berharganya tentang betapa berharganya hidup di tengah bangsa yang damai.
Baca Juga: Ukraina: Yang Tidak Mungkin Tiba-tiba Menjadi Mungkin
Menurutnya, konflik-konflik yang menyeruak di berbagai negara banyak dipicu oleh kepentingan politis dan kurangnya rasa menghargai terhadap perbedaan. Kondisi itulah yang seringkali berujung pada kehancuran dan kerugian bagi diri sendiri dan masyarakat luas.
Di era post-truth dan media sosial saat ini, ia menilai masyarakat cenderung sering terlibat kepada perselisihan dan praktik intoleransi, yang kerap menimbulkan kegaduhan masyarakat.
“Persoalan bangsa kita, mereka ini saling menghujat, saling mengklaim hingga di media massa dan media sosial. Tentunya ini adalah satu sikap bujur dari kepentingan kelompok lebih utama daripada kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.
Untuk itu, perlu ada cara efektif menyadarkan masyarakat, betapa berbahayanya merawat egoisme demi kepentingan kelompok maupun politis agar tidak mudah terprovokasi, maupun diadu domba oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Disamping itu juga, pentingnya peran aparat negara dan penegak hukum untuk memberikan tindakan tegas kepada oknum yang dinilai kerap melakukan provokasi di masyarakat.
Amir menilai, tanggungjawab menciptakan perdamaian merupakan tanggungjawab semua pihak, terutama para tokoh agama dan tokoh masyarakat sebagai ujung tombak kekuatan.
Pasalnya, di tengah kondisi sosial masyarakat yang plural, perbedaan doktrin, ibadah, dan simbol keagamaan idealnya tidak dipahami sebagai tembok pemisah, apalagi alat untuk mendeskreditkan kelompok agama lain.
”Negara ini bisa hancur kalau para tokohnya tidak bisa memberikan pengertian kepada masyarakat, bahwa segala macam perbedaan yang ada merupakan sunnatullah atau keniscayaan,” ujar dia.