CrispyDesportareVeritas

Jenius Matematika di Podium Juara Olimpiade Tokyo

  • Ia peraih gelar master bidang matematika dari Universitas Cambridge, dan PhD dari Polytechnic University of Catalonia.
  • Ia pemula yang dikepung para juara balap sepeda nomor road race.
  • Sepanjang balapan tak ada yang menerikan namanya, tapi dia yakin keluarganya di Austria berjingkrak saat dia berada di depan.
  • Ia masuk finish di urutan pertama, dan menangis karena tak percaya bisa menjadi juara.
  • Dia adalah Anna Keisenhofer, seorang pejuang yang kesepian.

JERNIH — Jika Anna Keisenhofer meraih medali emas Olimpiade Matematika, mungkin orang tidak akan membicarakannya. Namun yang dilakukan jenius matematika asal Austria itu adalah meraih medali emas balap sepeda nomor road race Olimpiade Tokyo dengan menenggelamkan semua nama besar.

Keisenhofer adalah pemula. Ia tak diunggulkan, tak menarik perhatian pers, dan bukan sosok yang diharapkan meraih medali bagi Austria.

Di kelompoknya terdapat nama-nama besar; juara bertahan Anna van der Breggen (Belanda), peraih medali perunggu empat tahun lalu Elisa Longo Borghini (Italia), jagoan Inggris Lizzie Deignan, Lisa Brennauer (Jerman), dan mantan juara dunia Annemiek van Vleuten (Belanda).

Keisenhofer, yang baru empat tahun menjadi pebalap profesional, tidak bingung dengan nama-nama itu. Yang ada di kepalanya hanya berjuang mengatasi terik matahari di jalur sepanjang 147 kilometer, serta melawan kelembaban tinggi yang melelahkan.

Ia tak tahu pencapaiannya adalah sejarah. Ia tak pernah tahu dirinya adalah atlet Austria pertama yang meraih medali emas balap sepeda Olimpiade.

Selalu Ada Harapan

Berbicara kepada CNN usai menerima medali, Keisenhofer mengatakan; “Selalu ada harapan bahwa saya mungkin menang. Harapan kecil.”

“Saya tahu tidak realistis saya menang di sini, di antara nama-nama besar,” lanjutnya.

Sejak kilometer pertama, Keisenhofer adalah bagian dari kelompok yang memisahkan diri. Ia mempertahankan kecepatannya agar tetap berada di kelompok itu sampai seratus kilometer.

Memasuki kilometer terakhir, Keisenhofer melepaskan diri dari kelompoknya, melaju, meningkatkan kecepatan secara perlahan, menjauh dan menjauh. Ia menjadi kuda hitam.

Keisenhofer nyaris tak melihat ke belakang, untuk tahu seberapa jauh ia berada di depan dan siapa yang mencoba mengejar. Yang ia lakukan hanya menjaga ketenangan.

Ketika bendera finish terlihat dan tak ada orang lain di sisinya, Keisenhofer mengangkat kedua tangan, terhuyung, membiarkan tubuhnya jatuh ke pelukan tim, dan menangis.

“Ini tidak realistis,” ujar pebalap usia 30 tahun itu seraya sesenggukan. “Saya tidak percaya mampu melewati batas kemampuan saya.”

Keisenhofer menyelesaikan balapan kurang dari empat jam. Van Vleuten masuk finish 75 menit di belakangnya.

Momen Siaran Langsung

Keputusan Keisenhofer melakukan solo run di 40 kilometer terakhir dipicu satu hal; kenangan akan orang-orang dicintainya menyaksikan siaran langsung setiap kali dirinya membalap di Austria.

“Saya tahu keluarga saya sedang menonton. Saya memvisualisasikannya,” kata Keisenhofer. “Saya memikirkan mereka akan bersorak ketika saya berada di depan, berteriak memberi semangat. Pelatih-pelatih saya, teman-teman, pasti menonton.”

Keisenhofer tidak dibesarkan dari keluarga penyuka olahraga bersepeda. Kedua orang tuanya tidak suka melihat Keisenhofer menekuni olahraga itu, tapi tak bisa melakukan apa-apa untuk melarang.

Pada akhirnya, yang bisa dilakukan keluarga hanya mendukung agar Keisenhofer bahagia.

“Mereka tidak tahu banyak tentang olahraga bersepeda,” kenang Keisenhofer. “Tapi saya yakin ibu saya menonton perjuangan saya di Olimpiade ini.”

Kecakapan Intelektual

Sampai 2017, Keisenhofer bukan bagian tim bersepeda profesional Austria. Ia berlatih dengan bimbingan banyak orang, tapi tidak ada yang sesuai dengan karakternya.

Keisenhofer lebih suka membuat pilihan sendiri. Ia menyusun rencana latihan sendiri, pilihan balapan yang akan diikuti, dan lainnya.

“Saya adalah pejuang yang kesepian,” kata Keisenhofer.

Orang-orang terdekatnya mengatakan Keisenhofer menyadari kekurangan fisik, tapi mengatasinya dengan kecakapan intelektual.

Keisenhofer adalah master dalam matematika. Gelar itu diperoleh dari Universitas Cambridge. Ia juga peraih gelar PhD matematika terapan dari Polytechnic University of Catalonia, Barcelona.

Ia tak punya ahli gizi, dan tak memiliki orang-orang yang memberinya pertimbangan tentang strategi balapan.

“Sebagai ahli matematika, saya terbiasa memecahkan masalah sendiri,” kata Keisenhofer. “Saya menggunakan pendekatan matematika saat berlaga.”

Pebalap sepeda profesional, kata Keisenhofer, dikelilingi orang-orang yang berperan menjadikannya juara; mulai dari pelatih, ahli gizi, perencana strategi balapan, dan lainnya.

“Saya tidak memiliki semua itu. Saya melakukannya sendiri,” kata Keisenhofer.

Back to top button