K-Pop Tamu tak Diinginkan Pemerintah Cina
- Bukan kali pertama Cina melakukan pelarangan besa terhadap industri budaya asing.
- Mao Zedong pernah lakukannya dengan Gerakan Pembersihan Yan’an 1942.
- Cina ingin memurnikan industri hiburannya, dengan menghapus pemujaan terhadap artis dari luar.
- K-Pop bukan tamu yang diinginkan, ketika Cina ingin memperkuat kontrol terhadap kehidupan rakyatnya.
JERNIH –– Tahun 2010-an, Cina adalah pasar yang belum dimanfaatkan industri K-Pop. Sejumlah girl band dan boy band menyerbu, menciptakan basis penggemar, dan meraup keuntungan mengejutkan dari pasar Cina.
EXO, dengan empat anggota berasal dari Cina, megawali dengan konser di sejumlah kota, muncul di program TV populer bersama selebriti lokal terkemuka. Selanjutnya, bintang-bintang K-Pop pemula dengan cepat mendapat tempat di kalangan publik Cina.
Semua itu terjadi tak lama. Tahun 2016, pemerintah Korea Selatan (Korsel) memutuskan menggelar Terminal Hight Altitude Area Defense (THAAD). Beijing marah. Sejak itu penyanyi Korsel dilarang tampil di Cina, dan label besar K-op kehilangan salah satu pasar paling menguntungkan.
Menurut Kiwoom Securities, pasar Cina menyumbang 20 persen total penjualan K-Pop sepanjang 2016. Namun Korea Times tidak menyebut nilai uang yang hilang akibat THAAD.
Baru-baru ini industri K-Pop menghadapi tantangan lain. Otoritas Cina memperkuat peraturan di sektor hiburan, dengan bintang K-Pop sebagai target.
Platform media sosial Weibo awal bulan ini memberlakukan penangguhan 60 hari pada akun penggemar yang didedikasikan untuk Jimin, anggota raksasa K-Pop BTS. Penangguhan dilakukan setelah penggemar Jimin mengumpulkan 490 juta won, atau hampir Rp 5 miliar, untuk perayaan ulang tahun sang idola yang jatuh pada 13 Oktober.
Uang sebanyak itu akan digunakan untuk menutupi badan pesawat terbang dengan gambar Jimin. Weibo bertindak setelah foto pesawat dengan foto Jimin di sekujur badan viral sedemikian rupa.
Menurut Weibo, akun itu terlibat penggalan dana gelap, dan memutuskan menangguhkan akun itu satu bulan. Bukan hanya satu akun, tapi 20 akun penggemar K-Pop juga ikutan ditangguhkan karena perilaku memuja bintang adalah perbuatan tidak rasional.
Larangan itu muncul beberapa hari setelah Badan Ruang Siber Cina (CAC) mengeluarkan pernyataan pada 27 Agustus akan mengambil tindakan tegas untuk menangani fandom mafia.
Cina, menurut pernyataan CAC, tidak hanya melarang fandom mengumpulkan uang untuk mendukung bintang mereka tapi juga melarang semua penggemar berdebat atau memaki secara online.
Motif Tersembunyi, Tamu tak Diinginkan
Beberapa mengklaim kegaduhan terakhir yang melibatkan selebriti mendorong Partai Komunis Cina (PKC) ‘memurnikan’ industri hiburannya. Kris Wu, mantan anggota EXO keturunan Tionghoa-Kanada, ditangkap atas tuduhan memperkosa gadis di bawah umur.
Mei lalu, beberapa penggemar Cina mendapat kecaman karena membuang 270 ribu botol susu setelah menggeunakan QR code pada botol untuk memilih pesaing favorit mereka dalam program audisi. Beberapa bintang lokal juga tertangkap menghindari pajak.
Lim Dae-gun, seorang profesor dari Ingenium College of Convergence Studies di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), mengatakan peraturan Beijing kemungkinan bagian upaya PKC menopang sistem politiknya.
“Setelah menjadi presiden tahun 2013, Xi Jinping mempererat cengkeramannya atas sektor publik. Ia menyingkirkan Bao Xilai, musuh besarnya yang mantan sekretaris PKC Kotamadya Chongqing,” kata Lim.
“Bo dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas tuduhan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Setelah itu Xi Jinping mengalihkan perhatian ke pebinis seperti Jack Ma, mantan CEO Alibaba Group, dan kini tiba waktunya ia merambah dunia budaya dan hiburan,” lanjut Lim.
Menurut Lim, peraturan Cina baru-baru ini adalah deja vu Gerakan Perbaikan Yan’an 1942, yaitu pembersihan ideologis di kota Yan’an, Propinsi Shaanxi. Geraan yang dipimpin Mao Zedong diketahui sangat membantunya mengkonsolidasikan kekuasaan dan penyebarna komunisme lebih jauh di antara penduduk Tiongkok.
“Pada 1942, target utama PKC adalah orang-orang seni dan sastra, yang jiwanya bebas dan memanfaatkan kreativitas mereka,” kata Lim. “Pemerintah menganggap atribut khas para seniman menghambat pengendalian negara terhadap masyarakat dan penyebaran ideologi.”
Bagi Beijing, yang ingin meraih kembali kejayaan masa lalunya, K-Pop adalah tamu tak diinginkan. “K-Pop pada dasarnya adalah produk kapitalisme,” kata Lee Gyu-tag, profesor antropologi budaya Universitas George Mason kepada Korea Times.
Sebagai produk kapitalis, K-Pop menghargai kebebasan berpikir dan berekspresi. Ini bertentangan dengan nilai-nilai sosialis PKC, yang menjadikan negara sebagai pemuat genre.
Dampak Bagi Industri K-Pop
Penjualan album K-Pop pasti mengalami penurunan, karena Cina melarang penggemar membeli lebih dari satu salinan album fisik secara online.
Namun banyak orang percara aturan itu tidak akan memberikan pukulan fatal bagi K-Pop. Sebab, K-Pop punya pasar kuati di AS, Jepang, dan negara-negara lain.
Khusus Jepang dan Cina, kedua negara ini adalah dua pasar musik rekaman terbesar. Faktanya, Korea Gaon — pelacak penjualan album K-Pop memperkirakan 50 juta CD K-Pop akan terjual di seluruh duni sepanjang tahun ini, meski penjualan di Cina turun sampai 50 persen.
Setelah konflik THAAD, label Korsel menurunkan ketergantungan teradap pasar cina, dan mencoa mendiversifikasi portofolio mereka.
Lim dan Lee menunjukan bukti lain bahwa peraturan itu akan memiliki efek jangka panjang yang tidak dapat diabaikan.
“Album itu bukan sekedar kompilasi lagu,” kata Lee. “Ini adalah alat penting mempromosikan penyanyi Tiongkok, karena platform YouTube dan Facebook tidak dapat diakses bebas di Cina.
Jadi, menurut Lee, Korsel harus mengawasi situasi politik Tiongkok, serta mengubah diri menjadi sesuai dengan selera negara Cina. Lainnya, Korsel perlu fokus ke pasar Asia Tenggara, AS, Eropa, dan belahan dunia lain.
Lim mengatakan pembatasan kemungkinan akan memicu antipati Korea terhadap Cina, yang mungkin merusak hubungan kedua negara di tingkat sipil.
“Sayangnya, tidak banyak yang bisa dilakukan Korsel dan industri K-Pop,” katanya. “Sampai sekarang, Korsel sepertinya membutuhkan lebih banyak platform tempat kedua negara membicarakan masalah budaya dan mencari cara untuk saling menguntungkan.”
Sejujurnya, K-Pop di Cina — juga di belahan dunia mana pun, termasuk Indonesia — hanya menguntungkan Korsel dalam hal budaya dan ekonomi. Lewat kepopuleran artis K-Pop, Korsel bisa menjual produk industri lain, hanya dengan menampilkan sang artis sebagai model iklan.
Sebagai bangsa pemilik peradaban besar di dunia, Cina menjadi rendah diri di hadapan Korsel dalam urusan industri K-Pop. Tidak aneh jika Cina mengeluarkan pengekangan terhadap K-Pop.