Crispy

Karyono Wibowo: PDIP Tak Pernah Menang di Bumi Minangkabau

“Pernyataan tersebut menunjukkan ada kesadaran untuk mengevaluasi kinerja partai di wilayah itu, dimana PDIP tidak pernah menang di Bumi Minangkabau dalam sepanjang sejarah pemilu”

JAKARTA – Pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Sukarno Putri, yang mempertanyakan mengapa rakyat Sumatera Barat belum suka partai berlambang moncong putih itu, mencerminkan ada perhatian khusus terhadap wilayah tersebut.

“Pernyataan tersebut menunjukkan ada kesadaran untuk mengevaluasi kinerja partai di wilayah itu, dimana PDIP tidak pernah menang di Bumi Minangkabau dalam sepanjang sejarah pemilu,” ujar Direktur Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (6/9/2020).

Ia mengatakan, kesadaran mengevaluasi merupakan langkah maju. Namun, akan lebih baik, jika proses evaluasi dilakukan secara serius dan sistematis. Salah satunya yakni riset dan kajian secara holistik.

Karyono menambahkan, ada banyak pertanyaan kerap muncul terkait kekalahan partai tersebut disetiap momen pemilihan umum (pemilu). Bahkan dalam pertarungan pemilihan presiden pun tidak pernah menang.

“Kekalahan di pilpres 2019 lalu juga masih menyisakan pertanyaan. Padahal pemerintahan Joko Widodo sudah memberi perhatian cukup dengan membangun sejumlah fasilitas di wilayah ini,” katanya.

Fenomena itu, lanjut Karyono, mengafirmasi bahwa pendekatan kebijakan pembangunan fisik tidak cukup efektif menjinakkan masyarakat Sumbar. Kemungkinan disebabkan faktor geanologi politik dan ideologi masih dominan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pilihan.

Jika disimak, geanologi politik masyarakat Sumbar saat ini belum lepas dari politik aliran di masa lalu. Partai Masyumi sangat kuat di wilayah itu. Dalam konteks ideologis pengaruhnya masih kuat hingga sekarang, meskipun dalam konstalasi politik pasca Pemilu 1955 dan sejak Masyumi dibubarkan ada pergeseran.

Selain itu, salah satu faktor lemahnya dukungan PDIP di Sumbar, disebabkan karena kurang mencermati pergeseran politik yang terjadi. Misalnya, dalam konfigurasi politik lokal tidak ada tokoh lokal, PDIP tidak memiliki tokoh berpengaruh yang dapat menarik pemilih.

Padahal, kata Karyono, dalam marketing politik dibutuhkan strategi endorsements tokoh yang berpengaruh sebagai pengepul suara atau vote getter.

“Hal ini penting di tengah budaya patronase politik yang masih kuat,” ujar dia.

Tak hanya itu, kekalahan PDIP di Sumatera Barat juga tak lepas daei faktor sejarah hubungan Sukarno dengan sejumlah tokoh Sumbar, terutama dengan tokoh yang saat itu terlibat dalam PRRI/PERMESATA.

Dimana sosok Sukarno dipandang sebagai pihak yang mengerahkan militer untuk menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat sehingga kurang diterima di Bumi Minangkabau.

Namun demikian, sejak reformasi telah terjadi pergeseran kekuatan politik yang menunjukkan masyarakat Sumbar semakin cair. Hal itu dibuktikan dengan peta perolehan suara partai dalam sejumlah pemilu dimenangi partai berhaluan nasionalis yaitu Golkar (2004), Demokrat (2009), Golkar (2014), dan Gerindra (2019).

Hanya pada Pemilu 1999 yang dimenangi oleh partai yang cukup dekat dengan pemilih Islam, yakni Partai Amanat Nasional. Dalam sejarah pemilu di Sumbar memang tergolong fenomenal, yakni partai yang dekat dengan sosok Sukarno baik PNI, PDI dan PDIP tidak pernah menang.

Oleh karena itu, dengan melakukan riset secara komprehensif, maka dapat dipotret pelbagai fenomena yang ada di dalam masyarakat Sumbar. “Riset tersebut dapat menggali pelbagai informasi dan persepsi masyarakat lokal tentang partai politik, seberapa suka masyarakat Sumbar terhadap PDIP dan partai lain,” katanya.

Dari penelitian itu, tambah Karyono, menghasilkan rekomendasi yang dapat customize untuk menyusun strategi perjuangan partai ke depan. Strategi berbasis riset itulah yang digunakan agar PDIP dapat meningkatkan akseptabilitas dan elektabilitasnya di Sumbar.

“Untuk meluluhkan hati masyarakat Sumbar memerlukan pendekatan persuasif dan beradaptasi dengan budaya lokal. Tidak cukup dengan cara-cara parsial, seporadis dan instan,” kata Karyono.

Back to top button