Solilokui

Thinking The Unthinkable

Dus, pencapresan Ganjar yang dianggap aset politik PDI-P untuk menghegemoni parpol lain, mungkin saja merupakan langkah yang keliru. Artinya, bisa jadi PDI-P telah masuk perangkap yang diciptakan sendiri akibat tindakan kedaruratan yang didorong pragmatisme,  oportunisme, dan tekanan oligarki, yang biasanya bekerja di luar keniscayaan sosial dan politik. Harus diingat bahwa pada akhirnya penentu akhir dari permainan yang diciptakan elite penguasa ini adalah rakyat, yang belakangan makin kritis dan militan dalam menyikapi aksi-aksi elite yang jauh dari aspirasi mereka.

Oleh    : Smith Alhadar*

JERNIH–Pada 21 April lalu, Ketua Umum PDI-P Megawati Sukarnoputri mendeklarasikan kader partainya, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, sebagai bakal calon presiden partai tersebut. Ganjar adalah salah satu dari tiga aspiran capres dengan elektabilitas tinggi.

Karena itu, wajar bila Mega berpikir Ganjar akan menjadi magnet bagi parpol lain untuk bergabung dengan PDI-P. Dalam konteks Indonesia di mana semua parpol bersikap pragmatis dan oportunistik, pemikiran Mega menemukan rasionalitas dan pembenarannya.

Tapi bagaimana bila sekonyong-konyong parpol-parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB (Golkar, PAN, PPP) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya atau KKIR (Gerindra dan PKB) berubah idealis dan menemukan platform baru untuk menjawab tantangan-tantangan bangsa pasca pemerintahan Jokowi?

Platform baru artinya parpol-parpol ini melepaskan diri dari rancang bangun kebijakan dan program pembangunan Jokowi. Pada saat bersamaan, mereka menemukan landasan berpikir baru yang visioner untuk menjawab tantangan-tantangan  yang akan ditinggalkan rezim Jokowi.

Tentu saja hal ini tak terbayangkan karena kita mengenal para ketum parpol-parpol ini miskin ide, tak berintegritas, dan telah lapuk dimakan zaman. Dan karena  bermasalah secara hukum (terlibat korupsi), sebagian dari mereka tidak dapat berbuat banyak kecuali tunduk pada kemauan penguasa — bagai kerbau dicokok hidungnya — untuk terhindar dari kemungkinan dipenjarakan.

Dus, kalau rezim menekan mereka untuk bergabung dengan PDI-P, di atas kertas mereka akan patuh. Apalagi Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), Mahkamah Konstitusi, dan Kepolisian berada dalam genggaman Jokowi. Sedangkan Mahkamah Agung dikontrol PDI-P. Mungkin hanya Ketum Gerindra, Prabowo Subianto yang bebas dari korupsi.

Kalau sekarang mereka belum bergabung dengan PDI-P,  tampaknya karena mereka diminta menunggu hasil upaya rezim menyingkirkan Anies Baswedan dari arena kontestasi Pilpres. Saat ini KPK masih bekerja mencari-cari kesalahan Anies yang dapat dipersangkakan terlibat korupsi. Di jalur lain, Peninjauan Kembali (PK) di MA yang diajukan KSP Moeldoko masih dalam proses. Baik upaya KPK maupun Moeldoko, tetap punya peluang untuk berhasil.

Dus, kalau upaya ini berhasil — misalnya, Anies dituduh terlibat korupsi atau Moeldoko diakui Kemenkumham yang dikuasai PDI-P sebagai pemimpin sah Demokrat sesuai KLB Deli Serdang — maka Anies akan tersingkir dari arena kontestasi Pilpres. Saat itulah rezim mendorong terbentuknya koalisi baru. Sebagian parpol dari KIB,  KKIR,   parpol-parpol yang tergabung Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP (Nasdem, Demokrat, PKS)  akan bergabung dengan PDI-P, dan sebagian lain bergabung dengan Gerindra.

Dengan demikian, pilpres mendatang hanya akan terdiri dari dua pasangan bakal capres-cawapres, yaitu pasangan yang didukung koalisi pimpinan PDI-P dengan Ganjar sebagai bakal capres, dan koalisi pimpinan Gerindra dengan bakal capres Prabowo Subianto. Hal ini sesuai dengan rencana awal rezim yang telah menjadi rahasia umum. Tetapi rezim akan mengatur konfigurasi koalisi sedemikian rupa sehingga koalisi yang mendukung Ganjar punya peluang menang lebih besar. Dengan kata lain, koalisi pendukung Prabowo hanya jadi penggembira demi tercapainya amanat konstitusi yang mengharuskan pilpres diikuti minimal dua pasang capres-cawapres.

Tetapi andaikan upaya rezim menyingkirkan Anies gagal dan KIB dan KKIR bertahan di koalisi besar dengan mengusung Prabowo, maka Ganjar yang hanya didukung PDI-P akan langsung tereliminasi di putaran pertama konstestasi elektoral. Dus, dalam konteks ini, sesungguhnya Mega mengambil risiko besar ketika mencapreskan Ganjar tanpa terlebih dahulu membangun koalisi dengan parpol lain. Nampaknya, ia sangat percaya diri bahwa pencapresan Ganjar akan menarik sebagian besar parpol bergabung dengan PDI-P.

Kendati hal ini nyaris mustahil akan terjadi, dalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Politik adalah membuat hal tidak mungkin menjadi mungkin. Siapa tahu diam-diam Jokowi  mendorong koalisi besar (KIB +KKIR)  yang diinisiasinya meresmikan koalisi mereka dengan Prabowo sebagai bakal capres. Ini sebagai bentuk balas dendam Jokowi kepada PDI-P yang menolak wacana perpanjangan masa jabatan  presiden dan merendahkan dirinya, serta sikap Ganjar yang menolak timnas Israel sehingga ajang Piala Dunia U-20 gagal dilaksanakan di Indonesia.

Atau, menurut hasil survei internal parpol-parpol di KIB dan KKIR menunjukkan sesungguhnya elektabilitas Ganjar tak setinggi sebagaimana dilaporkan Lembaga-lembaga survei selama ini.  Elektabilitas Prabowo dan Anies jauh lebih tinggi daripada Ganjar. Menurut Rocky Gerung, sebelum  Ganjar dicapreskan, para oligarki, lembaga survei, dan menteri utama rutin melakukan rapat di Istana, di sebuah ruang yang disebut “war room”, setiap pukul 4.20 pagi. Katanya, ini merupakan kegiatan fabrikasi untuk menekan Mega agar segera mencapreskan Ganjar yang dilihat para oligarki sebagai proksi mereka.

Atau ada tekanan dari luar agar menjauhi Ganjar yang pro-Cina, tak punya gagasan tentang Indonesia ke depan dalam konteks persaingan Cina-AS di kawasan,  pandangan ekonominya yang ekstraktif atau copy paste dari paradigma pembangunan Orde Baru, tak punya komitmen pada perlindungan lingkungan hidup yang merupakan bagian dari komitmen pada perubahan iklim, nirprestasi yang terlihat dari kegagalannya meningkatkan taraf hidup rakyat Jateng (Jateng merupakan provinsi termiskin di Pulau Jawa), integritasnya yang meragukan terkait dengan tuduhan keterlibatannya dalam kasus mega korupsi e-KTP, dan juga keraguan atas komitmennya pd penegakan hukum serta sistem demokrasi sebagaimana terlihat dari kasus kekerasan atas penduduk Desa Wadas di mana Ganjar mengirim aparat untuk mengintimidasi warga desa itu yang menolak menjual tanahnya untuk dijadikan tambang batu andesit milik oligarki.

Atau sekonyong-konyong Gerindra bergabung dengan KPP dengan kesediaan Prabowo untuk tidak menjadi apa-apa atau menjadi bakal cawapres Anies setelah menyadari PKB akan bergabung dengan PDI-P. Kalau ini terjadi, KIB akan goyah karena dua hal. Pertama, elite tiga parpol ini akan ditekan konstituen mereka untuk bergabung dengan KPP. Kedua, peluang Anies memenangkan Pilpres kian membesar. Toh, mereka tahu bahwa, sesuai hasil survei, mayoritas pemilih PAN dan PPP akan mencoblos untuk Anies. Sementara paling tidak setengah dari pemilih Golkar merupakan pendukung Anies.

Pembicaraan koalisi masih dinamis. Ini menunjukkan parpol-parpol di KIB dan KKIR belum dapat diyakinkan bahwa Ganjar merupakan penjamin kemenangan. Ini, setelah Ganjar dideklarasikan sebagai bakal capres PDI-P, timbul pro-kontra di medsos. Kendati banyak yang mendukung, tak sedikit juga yang menentangnya sambil mengungkap sisi-sisi negatifnya. Lalu, publik mulai membanding-bandingkan Ganjar dengan Anies, di mana terlihat Anies jauh lebih unggul di semua aspek. Sebelum Ganjar dipastikan sebagai kompetitor Anies, publik hanya berimajinasi tentang kualitas masing-masing secara terpisah. Begitu mereka dihadap-hadapkan, terlihat Anies punya kepemimpinan konseptual yang operasional, berintegritas, punya rekam jejak yang kinclong, dan capaian-capaian gemilang ketika memimpin Jakarta yang tak sebanding dengan capaian-capaian Ganjar.

Dus, Ganjar kini terlihat tidak sehebat dari yang dibayangkan sebelumnya. Tapi PDI-P sudah berada di point of no return, titik yang tidak memungkinkannya lagi untuk mundur. Dengan demikian, tindakan Mega memungut kembali Ganjar dari ‘tempat sampah — sebelumnya, atas perintah Mega, pengurus teras PDI-P mendiskreditkan Ganjar sebagai tokoh pencitraan tanpa prestasi–sangat bersifat spekulatif, pragmatis, dan oportunistik menghadapi realitas politik yang tidak menguntungkannya.

Kini Mega bergantung pada belas kasih Jokowi dan Prabowo, yang apabila mereka berniat menyingkirkan Ganjar dari arena pilpres, yang juga berarti menyingkirkan PDI-P dari pemerintahan mendatang, hal itu mudah saja dilakukan dengan cara menghalangi KIB dan KKIR bergabung dengan PDI-P. Kalau itu terjadi, PDI-P tak akan pernah lagi menjadi partai terbesar. Kalaupun ia masih eksis pasca Pilpres, itu karena dua hal. Pertama, terjadi perpecahan di internal partai di mana wibawa Mega sebagai pemimpin partai akan runtuh. Kedua, kemungkinan trah Soekarno tak lg berperan pd pilpres 2029 ketika saat itu usia Mega sudah sangat uzur (82 tahun).

Kendati yang dipaparkan ini merupakan “the unthinkable“, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa hal-hal yang tadinya tidak terbayangkan akan terjadi, ternyata bisa terjadi dengan mudah. Sebelum tragedi G30S, tidak ada orang Indonesia yang berpikir Soekarno, tokoh besar yang disegani, dapat dijatuhkan. Sebelum krisis moneter 1997, juga tidak ada orang Indonesia yang berpikir strong man Soeharto bisa dilengserkan. Dus, pencapresan Ganjar yang dianggap aset politik PDI-P untuk menghegemoni parpol lain, mungkin saja merupakan langkah yang keliru. Artinya, bisa jadi PDI-P telah masuk perangkap yang diciptakan sendiri akibat tindakan kedaruratan yang didorong pragmatisme,  oportunisme, dan tekanan oligarki, yang biasanya bekerja di luar keniscayaan sosial dan politik. Harus diingat bahwa pada akhirnya penentu akhir dari permainan yang diciptakan elite penguasa ini adalah rakyat, yang belakangan makin kritis dan militan dalam menyikapi aksi-aksi elite yang jauh dari aspirasi mereka. Kita tunggu saja apakah the unthinkable terjadi. [  ]

*Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

**Tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Back to top button