Keluarga Malcolm X Gugat CIA, FBI, dan NYPD atas Pembunuhan 1965
- Dalam berkas dakwaan disebutkan CIA, FBI, dan NYPD, tahu rencana pembunuhan Malcolm X.
- Tiga lembaga penegak hukum AS itu menyembunyikan dan memfasilitasi pembunuh Malcolm X.
JERNIH — Tiga putri Malcolm X menggugat Badan Intelejen AS (CIA), Biro Investigasi Federal (FBI), dan Departemen Kepolisian New York (NYPD), dengan tuduhan terlibat dalam pembunuhan aktivis kulit hitam militan dan pendakwah Islam itu.
“Kami yakin ketiganya bersekongkol membunuh Malcolm X, salah satu pemimpin pemikiran terhebat abad ke-20,” kata Ben Crump, pengacara hak sipil yang mewakili keluarga Malcolm X dalam konferensi pers, Jumat lalu.
Gugatan diajukan ke pengadilan Manhattan, Jumat 15 November. Dalam berkas gugatan disebutkan CIA, FBI, dan NYPD mengetahui rencana pembunuhan Malcolm X tapi tdiak bertindak menghentikannya.
NYPD, menurut gugatan itu, menangkap petugas keamanan beberapa hari sebelum pembunuhan. Petugas FBI dan CIA yang menyamar, yang hadir pada malam penembakan, berdiri diam saat Malcolm X diberondong senapan.
Jadi, masih menurut keluarga Malcolm X, ada hubungan korup, melanggar hukum, dan tidak konstitusional antara ketiga badan itu yang menyebabkan pembunuh kejam secara aktif disembunyikan, dimaafkan, dilindungi, dan difasilitasi oleh agen pemerintah.
“Ketiga lembaga ini menutupi keterlibatan mereka dalam pembunuhan selama beberapa dekade, menghalangi akses Keluarga Shabazz — demikian keluarga Malcolm X disebut — terhadap kebenaran dan hak mereka mengejar keadilan,” kata Crump.
el-Hajj Malik el Shabazz
Malcolm X menjadi terkenal sebagai juru bicara Nation of Islam (NOI), kelompok Muslim kulit hitam yang menganggap kulit putih sebagai iblis dan menganjurkan segregasi rasial.
Setelah menunaikan ibadah haji dan mengunjungi beberapa negara di Timur Tengah, Malcolm X mengubah namanya menjadi el-Hajj Malik el-Shabazz. Saat itu, Malcolm X bukan lagi pengikuti Elijah Muhammad dan NOI tapi orang yang tercerahkan dan tahu bagaimana ajaran Islam sesungguhnya.
Sepanjang paruh pertama 1960-an, Malcolm X menjadi aktivis militan. Ia menyita perhatian banyak orang, terutama kulit hitam, karena dakwahnya menekankan eksistensi kulit hitam dalam negara AS.
Di sebuah gedung dansa di New York tahun 1965, Malcolm X — saat bersiap menyampaikan pidato — ditembak mati di sebuah balkon. Tiga anggota NOI; Abdul Aziz, Khalil Islam, dan Thomas Hagan, didakwa, diadili dan dihukum atas pembunuhan itu.
Setelah menghabiskan 20 tahun di penjara, pada November 2021 Abdul Azis dan Khalil Islam dibebaskan, dinyatakan tak bersalah, dan diberi kompensasi masing-masing 36 juta dolar atas pengadilan sesat dan dakwaan yang salah.
Itu terjadi setelah kantor kejaksaan distrik Manhattan menemukan bahwa jaksa penuntut dan FBI menyembunyikan bukti penting, yang seharusnya membebaskan keduanya
Berbeda dengan Martin Luther King, yang berkampanye untuk integrasi ras, Malcolm X menganjurkan segregasi kulit hitam dan kulit putih. Menurutnya, kulit hitam berhak mendapatkan ganti rugi berupa wilayah sendiri yang merdeka di selatan AS.
Malcolm X disebut-sebut menganjurkan kekerasan utuk mencapai tujuan, meski di saat-saat terakhirnya sang aktivis memperhalus retorikanya dan bekerja sama dengan organisasi hak-hak sipil lain.