Ketika Orang Belanda di Batavia Nggak Tahu Meester Cornelis

- Ternyata, orang Belanda juga sempat abai dengan sejarah dan dibuat bingung saat terjadi banyak versi soal Meester Cornelis.
- Kini, giliran kita yang tidak peduli dengan masa lalu apa pun yang ada di sekitar kita karena dianggap tak penting.
JERNIH — Tahun 1904, Algemeen Handelsblad edisi 3 Februari menurunkan artikel menarik tentang Meester Cornelis. Isi artikel itu bukan tentang sejarah nama Meester Cornelis, tapi ketidak-tahuan mayoritas orang Belanda di Batavia dan upaya mencari kebenaran sejarah nama yang menurut kebanyakan kulit putih terdengar asing.
Alkisah, menurut penulis artikel itu, orang Belanda di Batavia terlanjur percaya pada tulisan Clockener Brousson yang dimuat di majalah-majalah kecil bahwa Meester Cornelis — yang menjadi nama wilayah itu — berasal dari nama seorang arsitek militer era Herman Willem Daendels yang membangun kamp tahun 1810.
Sebelum artikel Brousson muncul, orang-orang Belanda di Batavia mempercayai cerita versi lain tentang asal-usul Meester Cornelis. Mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Meijer (1866-1872), mengutip karya terkenal mantan Gubernur Jenderal Jean Chrétien Baud (1833-1836), menulis Meester Cornelis adalah nama sebuah benteng batu dengan menara bintang yang dibangun akhir abad ke-18. Benteng itu digunakan untuk mempertahankan Batavia dari serangan pribumi dari arah selatan.
Terjadi perdebatan mana yang benar dari dua versi itu. Singkat cerita, perdebatan terhenti setelah tulisan lama Dr Frederick de Haan, yang dipublikasikan di majalah tahun 1899, dimunculkan kembali di beberapa surat kabar. De Haan, dilengkapi fakta berupa arsip VOC, menjelaskan bagaimana nama Meester Cornelis muncul dan abadi.
Cornelis Senen, Meester Cornelis
Kisah Guru Cornelis seolah terlupakan selama 150 tahun, terhitung sejak dia meninggal dunia dan hutan yang dibukanya dijual VOC dengan harga 215 rijksdalder tahun 1672. Cornelis Senen, menurut De Haan dalam Oud Batavaia Gedenkboek 1919, juga tidak pernah dicatat sebagai pelopor industri penebangan kayu dan pembukaan perkebunan.
Benteng bambu berduri (pagger) di tepian tinggi Sungai Ciliwung, yang dibangun Cornelis Senen untuk melindungi industri kayu-nya, masih tertera dalam peta 1689. Tahun 1734, ketika benteng bambu berduri itu dirobohkan dan diganti benteng batu mata, kenangan Cornelis Senen seolah hilang. Padahal, Meester Cornelis pada nama benteng itu mengacu pada Cornelis Senen.
Cornelis Senen tiba di Batavia sebagai orang buangan setelah VOC menaklukan Kepulauan Banda, membantai penduduk Pulau Run, untuk mendapatkan semua rempah-rempah. Ia keturunan Portugis dan berasal Lontor, Pulau Banda Besar. Di kapal yang membawanya ke Batavia, Cornelis Senen tak sendiri, tapi bersama sejumlah orang Banda yang dianggap bermasalah dan harus diasingkan.
Di Batavia, orang-orang Banda dikonsentrasikan di sebuah kampung yang kini bernama Kampung Bandan dengan Cornelis Senen sebagai pemimpinnya. Cornelis Senen mempelajari Bahasa Melayu untuk kepentingan penyebaran agama Kristen di kalangan penduduk pribumi. Tahun 1635, Cornelis Senen membuka sekolah di permukiman orang-orang Banda dengan dua bahasa pengantar; Portugis dan Melayu.
De Haan menulis, semula Cornelis Senen hanya menggunakan satu bahasa pengantar, yaitu Melayu. Tahun-tahun berikut dia menggunakan Bahasa Portugis sebagai pengantar. Penyebabnya sederhana, Bahasa Portugis dan campungan Portugis-Melayu atau Creole, adalah lingua franca di jalur perdagangan rempah.
Sebelum sekolah Cornelis Senen hadir, Batavia tahun 1629 telah punya dua sekolah. Pertama, sekolah yang terhubung ke Almhouse di bawah kepemimpinan Isaac Minne. Kedua, sekolah di kawasan permukiman Malabaar. Tahun 1643 lima sekolah muncul. Salah satunya sekolah untuk anak-anak pribumi. Dari semua sekolah itu, sekolah Cornelis Senen yang paling terkenal dengan jumlah siswa 230. Dari sini sebutan Meester Cornelis, sebagai panggilan hormat untuk Cornelis Senen, lahir.
Sekolah-sekolah itu menggunakan Bahasa Portugis dan Melayu sebagai pengantar. Bahasa Belanda hanya digunakan di sekolah rumah orang terlantar dan panti asuhan. Situasi inilah yang membuat Gubernur Jenderal Antonio van Diemen, menurut Kees Groeneboer dalam Het Nederlands in het Indië van de VOC di situs dbnl.org, mendirikan Latijn School, atau sekolah Latin, tahun 1642. Latijn School adalah cara Van Diemen mempromosikan Bahasa Belanda, dan bentuk kebencian kepada Portugis. Van Diemen adalah orang Belanda yang paling banyak memerangi Portugis di jalur perdagangan rempah di Asia.
Meester Cornelisland, Meester Cornelis eilandt
Cornelis Senen menjamah wilayah sepanjang aliran Sungai Ciliwung dan Cipinang ketika Perang VOC-Banten masih berkecamuk, dan Ommelanden bukan kawasan yang aman. Saat itu, menurut De Haan, tidak ada yang berani bergerak jauh dari tembok kota. Kalau ada yang berani melakukannya, haruslah sekelompok besar tentara yang dipandu pribumi.
Di semenanjung tikungan Sungai Ciliwung, menurut J.H.W. Veenstra dalam Het herenzoontje van meester Cornelis di situs dbnl.org, Cornelis Senen mulai menebang, membangun rumah-rumah untuk para penebang, dan membangun titik keberangkatan kayu gelondongan ke Batavia. Titik pemberangkatan kayu-kayu ini kali pertama diberi nama Meester Cornelisland.
Itu terjadi tahun 1656, atau tiga tahun sebelum VOC-Banten menandatangani perjanjian damai. Tahun 1661, setelah susah payah mengajukan permohonan mendapatkan sertifikat pengelolaan, Cornelis Senen memperoleh izin secara gratis. Plot tanah yang diberikan membentang antara Sungai Ciliwung dan Sungai Cipinang seluas lima kilometer persegi, atau 500 hektar.
Plot seluas 500 hektar itu tidak besar. Jika mengacu Kaart van de Residentie Batavia & Afdeeling Buitenzorg 1837, tanah Meester Cornelis menjangkau hampir semua lekukan Singai Ciliwung tapi tak membentang sampai ke tepi Sungai Cipinang. Meester Cornelis berada di antara Kampong Melajoe, Kampong Makassar, Slemba, Pondok Kelapa, Cakung, dan Weltevreden.
Sang pendeta tidak hanya membangun satu titik pemberangkatan kayu, tapi beberapa dan di setiap tikungan sungai. Titik-titik pemberangkatan itu, menurut De Haan, disebut Meester Cornelis Eilandt atau Semenanjung Meester Cornelis. Lambat laun kata eijlandt hilang dan yang ada hanya Meester Cornelis.
Cornelis Senen tidak membangun huis atau landuis di hutan yang telah dibabat. Alasannya mungkin bisa bermacam-macam, salah satunya soal keamanan. Namun, fakta yang tersedia menunjukan Cornelis Senen meninggal dunia pada tahun yang sama ia menerima sertifikat pengelolaan atas luas hutan yang dibabatnya. Artinya, ia tidak sempat membuat perencanaan atas tanahnya.
Di dalam tembok kota Batavia, Cornelis Senen memiliki rumah di Tijgersgrach, atau Parit Macan. Dari rumah ini Cornelis Senen melakukan banyak pekerjaan penerjemahan teologis. Sayangnya, menurut De Haan, ia harus menghadapi keengganan petinggi VOC di Batavia untuk mengizinkan orang kulit berwarna duduk dalam pertemuan gereja.
Lambat laut keinginannya terus belajar memudar. Ketika tahun 1657 diterima untuk ikut ujian, Cornelis Senen sekali lagi menghadapi kenyataan pahit;ditolak masuk ke dalam ruang ujian. Cornelis Senen tidak pernah diangkat menjadi pejabat gereja, meski jasanya sebagai penerjemah sedemikian besar. Ia adalah satu dari dua pendeta yang pernah melayani jemaan dalam dua bahasa, satu lainnya adalah Pendeta J Mauritz Mohr.
Meester Cornelis, Jatinegara
Meester Cornelisland atau Meester Cornelis eilandt, yang kemudian menjadi Benteng Meester Cornelis, adalah satu-satunya jejak Cornelis Senen. Tahun 1746, atau enam tahun setelah Pemberontakan Cina yang diakhiri pembantaian, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff membangun perkemahan dan tempat latihan tentara di dekat Benteng Meester Cornelis.
Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) memerintahkan pembangunan retranchement, atau kamp tentara yang diperkuat, secara besar-besaran di Meester Cornelis pada 26 Agustus. Setelah Pulau Jawa kembali ke pangakuan Belanda, benteng Meester Cornelis didesain ulang menjadi penjara militer, setelah itu menjadi penjara wanita.
Tahun 1990, penjara wanita itu ditutup. Dalam peta modern Jakarta, benteng Meester Cornelis — dan tempat Cornelis Senen kali pertama mambuka hutan — terletak di timur laut jembatan Sungai Ciliwung di Kelurahan Kampung Melayu, Jatinegara.
Menggunakan tulisan De Haan yang menyebut lokasi thuin Cornelis Senen terletak di ketinggian, Meester Cornelis diperkirakan berada di utara Kebon Nanas. Asumsinya, Topogarphische Kaart der Residentie Batavia Opgenomen 1869-1879 menyebutkan lokasi itu satu-satunya yang berada di ketinggian 20 meter di atas permukaan laut.
Meester Cornelis saat itu adalah regentschap yang membentang sedemikian luas, dengan Jatinegara sebagai satu di antara puluhan tanah partikelir. Sebagai tanah partikelir, Jatinegara terletak jauh di sebelah timur Meester Cornelis. Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1903 mencatat Meester Cornelis adalah hamparan puluhan bidang tanah partikelir dari Groote Maroenda sampai sampai Pembilangan — tanah terujung Keluarga Ament.
Tahun 1929, Meester Cornelis bukan lagi regenschap tapi district di Residentie Batavia, dan tanah partikelir Jatinegara lenyap. Setelah terjadi pemecahan tanah-tanah partikelir, sempat muncul tanah partikelir Pangkalan Jatinegara, tapi itu tak berlangsung lama.
Sebagai permukiman, nama Jatinegara diyakini banyak penulis sejarah telah ada sebelum kedatangan VOC. Bukti sejarahnya adalah makam keluarga Kesultanan Banten yang terletak di Kelurahan Jatinegara Kaum. Kata ‘kaum’ merujuk pada asal-usul penduduk kawasan itu yang mengklaim diri sebagai keturunan orang-orang Banten.
Jatinegara sebagai nama yang menggantikan Meester Cornelis terjadai tahun 1942. Tentara Jepang menganggap nama Meester Cornelis terlalu Belanda. Kabupaten Jatinegara meliputi wilayah yang di era Belanda menjadi bagian district Meester Cornelis.