Kontestasi Geopolitik Rusia, Cina, dan India di Myanmar, Perpanjang Derita Muslim Rohingya
- Cina dan Rusia melihat Myanmar sebagai partner strategis, yang melumpuhkan rasa keadilan masyarakat internasional.
- Di tenda-tenda pengungsi Muslim Rohingya makin frustrasi.
JERNIH — Genosida biasanya berlangsung singkat dan berhenti ketika terjadi pengungkapan dan masyarakat internasional bereaksi. Itu tidak terjadi bagi Muslim Rohingya.
“Hampir lima tahun sejak kampanye militer Myanmar paling brutal terhadap kami, yang membuat kami meninggalkan tanah air, kami belum mendapat keadilan,” ujar Abdur Rahim, seorang Rohingya lanjut usia yang tinggal di Kamp Kutupalang di Bangladesh kepada Anadolu Agency.
Saat peringatan Hari Keadilan Internasional 17 Juli lalu, Abdur Rahim hanya bisa berharap dan berdoa keadilan bagi Muslim Rohingya tiba, dan seluruh keluarganya kembali ke negara bagian Rakhine di Myanmar.
Rahim, seorang buru sekolah dasar, selamat dari penumpasan brutal militer Myanmar di negara bagian Rakhine. Bersama lima anaknya ia berlari ke perbatasan Bangladesh apda Agustus 2017.
Selama di pengungsian, Rahim kedatangan kelompok HAM, media internasional, perwakilan badan berpengaruh lainnya, perwakilan PBB, yang semuaya mendokumentasikan penderitaan Muslim Rohingya.
Banyak negara mengatakan apa yang dilakukan Tatmadaw, sebutan untuk tentara Myanmar, adalah genosida.
“Tapi kami belum melihatkan kemajuan yang diharapkan dalam proses peradilan,” kata Rahim. “Mengapa dunia begitu malas memastikan keadilan bagi kami, sementara gambar satelit, video kebrutalan tentara, dan dokumen, tersedia dan menyebar.”
Mengadu pada kasus genosida yang diajukan Gambia pada Desember 2019, Rahim mengatakan lebih 500 ribu Muslim Rohingya yang bertahan di Myanmar menghadapi penyiksaan. Lebih 130 ribu dari mereka menghadapi kondisi yang keras di berbagai kamp yang dikelola militer untuk pengungsi internal.
Azimullah, pengungsi lainnya, mengatakan; “Jika kami mendapatkan keadilan dan lingkungan yang damai di Myanmar, kami siap kembali.” Namun, lanjutnya, tetap saja kewarga-negaraan kami dirahasiakan dan tidak ada jaminan kami aman di Myanmar.
Menurutnya, tidak ada Rohingya di Bangladesh yang tinggal terlantar tanpa status pengungsi. Sebab, semua orang Rohingya berhak atas pendidikan tinggi dan fasilitas pendidikan dasar di kamp-kamp.
“Di sini, pendidikan terbatas dan tidak akan pernah cukup untuk kelangsungan hidup suatu bangsa,” kata Azimullah. “Jadi, kami sangat membutuhkan keadilan dan lingkungan layak untuk kembali ke tanah air.”
Keadilan yang Tertunda
Semua kekejakan Myanmar, negeri mayoritas pemeluk Buddha, terdokumentasi tapi masyarakat internasional gagal memainkan peran mengamankan keadilan bagi bangsa teraniaya.
Maung Zarni, peneliti di Pusat Dokumentasi Genosida di Kamboja, mengatakan kontes geopolitik antara Rusia, India, dan Cina di Myanmar mencegah peran internasional yang kuat.
“Bagi Rusia dan Cina, Myanmar adalah teater strategis. Itulah kendala besar dan utama mendapatkan keadilan bagi Muslim Rohingya.
Keadilan bagi Muslim Rohingya adalah akuntabilitas internasional yang tulus, repatriasi sukarela, dan restitusi mereka yang selamat dari genosida.
Menunjuk pada situasi internal Myanmar yang kacau, Zarni mengatakan; “Di dalam negeri, sama sekali tidak ada kemungkinan untuk masa depan terintegrasi kembali dengan hak kewarganegaraan penuh, selama masalah besar aturan militer dan rasisme terhadap Rohingya sebagai etnis tidak ditangani.”
Rohingya Frustrasi
Keadilan dan repatriasi yang tertunda membuat populasi Rohingya di Bangladesh frustrasi.
“Ketika saya melarikan diri ke Bangladesh tahun 2017, di tengah kampanye genosida oleh tentara Myanmar, saya adalah siswa tingkat menengah,” kata Sheikh Mubarak Ali, kini berusia 19 tahun. “Saya seharusnya sudah belajar di universitas saat ini, tapi kini saya berjejal di tenda-tenda di Bangladesh.”
Seperti Ali, banyak siswa Rohingya lainnya di distrik perbatasan Cox’s Bazar — yang menampung pengungsi terbesar di dunia — harus menghentikan pendidikan mereka dan sekarang menjalani kehidupan tidak pasti dan frustrasi.
Seorang siswa sekolah, yang tidak mau menyebut nama, mengatakan karena ketidakpastian jangka panjang seputar repatriasi akan menjadi lahan subur bagi kegiatan kriminal dan pemberontakan.
“Tolong, perlakukan kami sebagai manusia,” katanya. “Kami berhak atas keadilan. Kami ingin belajar. Kami ingin berkontribusi untuk tanah air tercinta. Kami tidak ingin menyandang identitas pengungsi.”
Bagi Zarni, jika ketidakpastian berlanjut akan mengakibatkan lebih banyak penderitaan di tengah kondisi ekstra-legal yang tidak manusiawi.