Landhuis Pondok Petoeng: Diselamatkan Hindia-Belanda, Dimusnahkan Indonesia

- Tahun 1929 pemerintah Hindia-Belanda memutuskan untuk merestorasi Landhuis Pondok Petoeng karena nilai arkeologisnya.
- Setelah Indonesia merdeka, rumah pedesaan itu terlupakan dan musnah ditekan rezim waktu.
JERNIH — Jika dalam foto hitam-putih tahun 1930-an Landhuis Pondok Petoeng terlihat masih cantik, indah, dan nyaris tanpa pembusukan di bagian atap dan sudut-sudutnya, itu disebabkan pemerintah Hindia-Belanda baru saja merestorasi dan menyelamatkan bangunan akhir abad ke-18 itu dari kehancuran. Restorasi, atau pemulihan, kemungkinan dimulai awal 1930 dan selesai pertengahan tahun yang sama.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 18 Juli 1929, dalam berita berjudul Restauratie Nederlandsche Oudheden atau Pemulihan Barang Antik Belanda, melaporkan setelah penelitian berbulan-bulan, pemerintah Hindia-Belanda memutuskan untuk merestorasi tiga bangunan oud-Indische stijl, yaitu Japan, Simplicitas, dan Pondok Petoeng yang relatif belum membusuk, serta satu bangunan bergaya campuran oud-Hollandsche stijl dan oud Indische stijl, yaitu Landhuis Tjimanggis.
Empat bangunan itu, masih menurut laporan koran terbitan Batavia, adalah sebagian kecil dari 75 bangunan tua yang memenuhi syarat direstorasi. Sebagian besar lainnya, yang menunggu penyelamatan pemerintah Hindia-Belanda, tertimbun semak setelah bertahun-tahun ditinggalkan pemilik atau penyewa terakhirnya. Hanya sedikit yang relatif masih terpelihara karena dihuni tuan tanah Tionghoa.
Landhuis Pondok Petoeng beruntung menjadi satu dari sedikit bangunan tua yang sempat diselamatkan, meski rezim waktu berikut memusnahkannya.
Pondok Petoeng, Pondok Betoeng
Pondok Petoeng, seperti tertera dalam Bevolkingstatistiek van Java 1867, adalah tanah partikelir di Distrik Kebayoran, Afdeeling Meester Cornelis. Membentang seluas 4.741, atau 3.508 hektar, Pondok Petoeng memiliki 24 kampung yang dihuni 4.891 jiwa; terdiri dari satu Eropa, 28 Tionghoa, dan lainnya pribumi.

Penduduk menyebut tanah partikelir ini Pondok Betoeng, atau Pondok Betung dalam ejaan baru. Namun administrasi pertanahan Belanda tak pernah mengganti Pondok Petoeng menjadi Pondok Betoeng sampai tanah partikelir berubah status menjadi landsdomein, atau tanah negara. Saat ini Pondok Betung adalah nama kelurahan di Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Propinsi Banten.
Catatan paling awal tentang Pondok Petoeng tertera dalam Geschied en Aardrijkskundig Overzigt van Java op Het Einde der Achttiende Eeuw yang ditulis Johannes Hageman, dan catatan perjalanan Andries Teisseire — sang raja gula Ommelanden.
Yang pertama menyebutkan Pondok Petong atau Poetjong adalah satu dari tiga ‘negara’ terakhir yang terletak di sepanjang Sungai Pesangrahan arah selatan. ‘Negara’ Pondok Petong atau Poetjong dimiliki Tuan Erkelens, mantan rooimeester — pejabat dinas kebersihan dan tata kota Batavia.
Kedua, dalam catatan perjalanannya, Teisseire menulis; “…di atas atau selatan, terletak land Pondok Petoeng milik Tuan Erkelens, seorang warga bebas dan mantan pejabat rooimeester. Sebuah rumah batu berukuran sedang menyediakan tempat tinggal yang cukup bagi pemiliknya. Tiga ratus sapi, beberapa petak sawah tinggi dan rendah, kebun kacang dan pohon buah-buahan, merupakan cabang pendapatan tanah ini. Situasinya hampir sama dengan tanah Simplicitas (Lebak Boeloes – red) dan negara-negara lain.
Dua catatan itu tak menyebut nama lengkap Erkelens. Terdapat kesan sang pemilik tanah bukan petinggi, atau setidaknya pejabat penting dalam struktur pemerintahan Batavia era VOC. Dua catatan itu juga menggunakan kata land, diterjemahkan menjadi negara, untuk menunjukan Pondok Petoeng adalah tanah partikelir.
Narasi pendek Teisseire lebih dari cukup untuk menyimpulkan Landhuis Pondok Petoeng dibangun Tuan Erkelens. Kalimat ‘rumah berukuran sedang’ mengindikasikan Erkelens tidak membangun landhuis, tapi huis atau het huis, atau satu bangunan tunggal berarsitektur oud-Indisch stijl.
Gaya arsitektur ini muncul antara 1790 dan 1820, yang merupakan perpaduan gaya Belanda dan pribumi (Jawa) dengan struktur satu lantai. Beranda depan dan belakang ditutupi atap tipe joglo, yang memanjang di atas beranda. Tak jarang beranda terhubung ke galeri samping untuk perlindungan dari cuaca. Referensi Barat terdapat pada kolom Tuscan neoklasikisme yang menopang atap besar yang menjorok, plus pintu dan jendela berdekorasi.
Tidak ada klokkestand, pintu gerbang tembok berdekorasi, atau bangunan lain yang melengkapi keindahan Landhuis Pondok Petoeng. Galeri belakang tampaknya dibangun pemilik dan penghuni berikut, desesuaikan dengan bangunan awal.
Dijual, Dilelang
Tidak ada catatan berapa lama Tuan Erkelens menetap di Het Huis Pondok Petoeng, atau apakah dia — seperti kebanyakan tuan tanah — hanya sesekali berkunjung dan bermalam di rumah pedesaan yang dibangunnya. Kalau pun tidak dihuni pemiliknya, Het Huis Pontok Petoeng terjaga karena pemiliknya mempekerjakan banyak centeng dan pengurus.

Tidak ada catatan soal Pondok Petoeng selama paruh pertama abad ke-19. Tahun 1866, informasi land Pondok Petoeng muncul dalam bentuk iklan di Java Bode edisi 15 Desember. Pondok Petoeng, dengan dua huizen (rumah) di atasnya, dijual. Peminat hubungi J.A Ungerer.
Penjualan itu gagal. Tahun 1869, seperti tertera dalam iklan di Java-bode 22 Mei, Pondok Petoeng dilelang. Dalam iklan tertera; Atas nama P Ungerer yang menikah dengan G Ingram. Sejumlah anggota Keluarga Ingram juga tertera dalam iklan itu. Keluarga Ingram membuka harga 200 ribu gulden, dan lelang ditutup dengan penawaran tertinggi 220 ribu gulden. Pondok Petoeng jatuh ke tangan landheer Arab; Said Aloewi bin Abdullah (SABA) al Alatas.
Namun kepengurusan balik nama yang bertele-tele dan lama menyebabkan Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1870 masih menyebut Pondok Petoeng dimiliki Erven (Pewaris) Keluarga Ingram, dengan Heijbloom sebagai pengelola.
SABA al Alatas tidak menunjuk huurder, atau pengelola. Ia mengusahakan sendiri Pondok Petoeng sebagai penghasil padi, kacang-kacangan dan kelapa. Tuan tanah Arab ini juga mengembangkan peternakan sapi perah dan membudidayakan tanaman lain.
Tahun 1890, seperti tertera dalam iklan di Bataviaasch handelsblad edisi 16 Agustus, SABA al Alatas, menjual Pondok Petoeng dengan semua yang terdapat di atasnya; dua bangunan dan peternakan sapi. Ia tidak menyebut harga yang diminta, tapi berharap ada penawar tertinggi.
SABA al Alatas mungkin harus menunggu lama sampai pembeli muncul. Tahun 1898, Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie mencatat Pondok Petoeng dimiliki Said Omar bin Alwi Alatas. Pondok Petoeng saat itu adalah rumah bagi 5.895 jiwa pribumi, yang bekerja di perkebunan kopi, kelapa, dan mengelola sawah.
Landhuis Tanpa Tuan
Pondok Petoeng kali terakhir tercatat di Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie tahun 1919. Pemiliknya masih sama, yaitu Said Omar bin Alwi Alatas. Bedanya, sebagai akibat politik etis di bidang kesehatan, jumlah penduduk Pondok Petoeng bertambah dua kali lipat menjadi 10.532 jiwa, dengan hanya dua komoditi andalan; padi dan kelapa.

Muncul pertanyaan apakah tuan kulit putih terakhir dan dua landheer Arab menghuni Landhuis Pondok Petoeng selama memiliki dan mengelola tanah partikelir itu? Tidak ada indikasi ke arah itu. Sebuah rumah akan terpelihara jika dihuni. Jika tidak dihuni, meski mungkin dijaga dan diurus sejumlah orang, rumah tidak akan terpelihara.
Kriminalitas yang tinggi di sekujur pinggir Batavia, seperti dinarasikan Margreet van Till dalam Batavia Kala Malam, adalah alasan para tuan tanah — kulit putih, Tionghoa, Arab — tidak berani tinggal di rumah pedesaan. Mereka lebih suka berkumpul di seputar Weltevreden atau permukiman lain di tengah kota.
Tidak ada informasi bagaimana kondisi Landhuis Pondok Petoeng sebelum 1930, atau sebelum direnovasi pemerintah Hindia-Belanda. Mungkin nyaris membusuk, tapi strukturnya masih kokoh, sehingga perbaikan tidak butuh banyak biaya dan waktu.